Siang itu saat Rabby baru pulang dari rumah orang tuanya. Tanpa sengaja dia bertemu dengan Alziyan di sebuah minimarket, saat membeli kebutuhan untuk Wigi. Sebuah pertemuan yang tak disangka-sangka. Sebagai dua orang yang pernah bersahabat, mereka pun memutuskan untuk singgah di salah satu tempat makan untuk sekadar menanyakan kabar. Tak banyak yang berubah dari Alziyan di mata Rabby. Dia masih lelaki dengan senyuman yang mampu membuat hatinya bergetar. Tapi semua sudah berbeda. Mungkin dia tetaplah Alziyan yang dulu, tapi perbedaan itu ada pada dirinya. Dia bukan lagi Rabby yang bisa mencintainya dengan bebas. Karena saat ini dia telah bersuami.
Pertemuan itu berakhir saat ada telepon dari ibunya Rabby yang mengabarkan bahwa Wigi tiba-tiba demam. Setelah meninggalkan nomor telepon pada Alziyan, Rabby-pun pamit untuk pulang.
Sudah dua hari Wigi dirawat di rumah sakit. Bocah yang satu bulan lagi berumur tiga tahun itu terkena demam berdarah. Berulang kali Rabby berusaha menghubungi Dirwan. Tapi nomornya selalu sibuk. Bahkan pesan-pesan yang Rabby kirim kepada suaminya, tak satu pun yang terbalas. Di saat itulah, Alziyan menjadi satu-satunya orang yang selalu berada di samping Rabby.
    Keadaan Wigi semakin memburuk. Di hari kelima, Wigi tiba-tiba demam tinggi. Dari tubuhnya yang kurus, mulai keluar bintik-bintik merah, merata. Bukan itu saja, bahkan bocah yang menyukai balon itu sering muntah bercampur darah. Dan yang paling membuat Rabby khawatir, tubuh putri semata wayangnya tidak dapat menerima cairan infus lagi. Wigi kecil terkulai tak berdaya di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat pasi, sinar matanya perlahan mulai meredup. Rabby menangis, sebuah tangisan yang tak dapat didengar oleh siapapun. Dia menjerit sekuat tenaga di dalam hatinya. Menahan perih, menahan ngilu yang merajam pertahanannya menyaksikan Wigi, bocah yang seharusnya bisa bermain dan tertawa lepas itu... menghembuskan napas terakhirnya.Â
    Tepat di saat Rabby mendekap tubuh Wigi yang sudah tak bernyawa, Dirwan tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Langkahnya terhenti saat menyadari Wigi sudah pergi. Dia melangkah berat menghampiri jasad putrinya. Menatap tak percaya, lalu memeluk tubuh Wigi dan menciumi kedua pipinya.Â
Bagai sebuah hantaman badai yang kedua. Saat belum habis masa berkabung Rabby atas kepergian Wigi. Seorang perempuan muda datang ke rumah menemui Rabby. Perempuan itu mengaku telah hamil anak dari Dirwan. Rabby tak bisa berkata apa-apa lagi. Malamnya saat dia mendapat kebenaran serta pengakuan dari suaminya. Rabby meminta bercerai.Â
    Satu minggu setelah Rabby pulang ke rumah orang tuanya. Rabby menerima sebuah undangan pernikahan dari Alziyan. Kini hari-hari yang Rabby lewati hanyalah untuk menemani putrinya. Setiap hari dia akan datang ke makam Wigi; membacakan dongeng, bercerita apa saja, tertawa, lalu menangis di saat yang bersamaan. Bahkan tak jarang, Rabby akan tertidur sepanjang hari di makam Wigi sambil memeluk batu nisannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H