"Boleh ngobrol sebentar?"
"Boleh. Sebentar saya bilang dulu, ya." Aku kembali masuk, sebagai karyawan aku berkewajiban izin lebih dahulu jika berkaitan dengan masalah pribadi. Mas Tresno mengizinkan.
Mas Walid mengajakku berjalan sedikit menjauh dari warung. Setelah memastikan sepi, Mas Walid menghela napas panjang.
"Kamu mendengar ibuku saat di rumah sakit, ya?"
"Yang mana, Mas?"
"Yang beliau marah-marah, lalu kamu kabur, kan?" Wajah tampan Mas Walid ditekuk. Seperti menjadi tersangka saja.
"Enggak pa-pa, kok, Mas. Aku hanya tak mau merepotkan orang lain. Maaf ya, Mas aku harus segera kerja lagi. Kalau tidak ada yang mau dibicarakan saya pamit." Aku tahu diri, berusaha menahan rasa yang ada di hati untuk Mas Walid. Tak mungkin Mas Walid membalas rasa ini. Menurutku lebih baik segera menghindar daripada nantinya membekas kecewa oleh penolakan.
"Tunggu! Aku menyuruhmu di rumah sakit bukan hanya rasa bersalahku. Tapi ...."
Aku yang sudah setengah berjalan pun balik badan. "Tapi apa, Mas?"
"Aku ... aku suka kamu." Tatapannya tajam. Wajahnya penuh harap. Sebenarnya ini adalah titik terang bagiku. Namun, aku harus fokus dengan Aisyah dulu.
"Tapi saya janda, Mas. Saya punya anak."