Mohon tunggu...
Zainal Hidayat
Zainal Hidayat Mohon Tunggu... lainnya -

penggemar aplikasi rangkuman buku best seller pimtar.id

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Apa Rasanya Gajian Setahun Sekali?

25 Mei 2018   08:34 Diperbarui: 25 Mei 2018   21:06 2833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika engkau ingin tahu betapa panjangnya menanti, tanyakan pada banyak keluarga di Karangan, sebuah kampung paling ujung, yang menjadi titik awal pendakian Gunung Latimojong, di Sulawesi Selatan.

Di kampung tersebut tak banyak aktivitas bisa dilakukan. Tak ada sawah, tak terlihat ladang. Ketinggian memaksa penduduk hanya berkebun kopi.

Dan tahukah engkau kopi yang diseruput tiap pagi itu panennya cuma setahun sekali?

Ya, setahun yang 365 hari lamanya itu.

Padahal, engkau yang tiap bulan gajian saja pasti tahu betapa pedihnya menanti.

Dusun Karangan bisa dicapai dua jam perjalanan naik jip tua dari kota kecamatan terdekat. Bukan jaraknya yang kelewat jauh, tapi medannya yang berat.

Hidup di desa tak berarti lebih sedikit pengeluaran. Kalau kebetulan warga perlu ke dokter saja, ongkos ojek ke kota Rp 150.000 sekali jalan. Belum lagi kalau anak-anak harus sekolah lanjutan yang tidak tersedia di dekat kampung.

Kalau pun ada kemewahan, satu-satunya yang bisa dinikmati seluruh warga Karangan, hanyalah listrik yang bisa mereka bayar kapan saja. Itu pun kalau ada duitnya.

Kebaikan alam memberi mereka sumber air yang berlimpah. Dan perusahaan setrum negara sudah membangun pembangkit mikro hidro sehingga warga bisa nonton televesi dengan bantuan parabola sampai pagi.

Sementara di kota, listrik menjelma kebutuhan dasar yang kini tidak lagi murah harganya. Air bersih langka dan sebagian harus beli. Apalagi jika ingin udara yang sejuk, perlu perangkat elektronik tambahan di tiap ruangan.

Orang kota memang lebih banyak pilihan mata pencaharian. Bahkan mereka bisa mematok tarif, negosiasi gaji. Tapi itu semua bukan berarti minus kompetisi.

Cari kerjanya rebutan dengan jutaan orang lainnya. Berangkat kerja desak-desakan di jalanan. Dan terkadang terpaksa pulang larut malam hingga tak sempat mengantar anak-anak mendekap mimpi mereka.

Bagi orang kota gajian setahun sekali itu mustahil. Tak masuk akal. Transferan tiap bulan saja sering tak cukup menggenapi kebutuhan selama 30 hari.

Gaji telat sehari, langsung bikin status di medsos berbaris-baris. Upah naiknya kerendahan, demonya berhari-hari.

Bagaimana kalau gajiannya cuma setahun sekali seperti petani kopi di Latimojong?

Ya, hidup akan terus bergulir. Tapi bukan tentang seberapa sering gajian dan seberapa besar penghasilan diterima. Melainkan seberapa banyak rasa syukur di dada.

Di manapun kita --seperti pesan kiai dari mimbar puasa-- yang penting jangan pernah engkau lelah untuk bersyukur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun