Mohon tunggu...
Zaenal Eko
Zaenal Eko Mohon Tunggu... Dosen - Pernah jurnalis

Isu sosial, humaniora dan sedikit politik. Konsultan KTI. Pendidik Jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jurnal Discontinued: Produk Digital yang Dibenci Sekaligus Dirindukan

17 November 2022   17:27 Diperbarui: 17 November 2022   19:41 2517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih ingat jurnal Budapest dan Jurnal Konfrontasi yang terakhir di-discontinued oleh Dikti akhir September 2022 lalu? Mengapa Dikti menanggalkan status akreditasi kedua jurnal itu, tentu semua tahu dan alasan Dikti juga sangat masuk akal, walaupun tidak tertera secara eksplisit pada Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Nomor 138/E/KPT/2022.

 Salah satu rumor yang paling membekas yaitu tata kelola jurnal dengan jumlah artikel sebanyak itu tidak sebanding dengan jumlah personalia yang ada, sehingga patut dicurigai keseriusan proses seleksi naskah jelang penerbitannya. Masyarakat per-jurnalan ilmiah pasti paham dengan keputusan Dirjen Dikti tersebut.

Akan tetapi rasanya masih ada yang mengganjal. Sebenarnya siapakah sosok di balik jurnal Budapest International Research and Critics Institute (Birci) dan Konfrontasi itu? Sampai-sampai Dirjen Dikti mengeluarkan SK khusus tentang pencabutan akreditasi jurnal itu. 

Ranking Sinta pun juga belum maksimal. Budapest rangking 3, sementara Konfrontasi Sinta 5. Menakjubkannya, kedua jurnal tersebut ternyata masih satu payung, di bawah Bircu publisher. Tentu yang paling mengherankan, bagaimana bisa kedua jurnal itu menarik ribuan artikel yang penulisnya tak lain kebanyakan para insan perguruan tinggi itu? Luar biasa bukan?!

Ternyata sosok di baliknya, setidaknya menurut penulis, ia orang biasa saja seperti kebanyakan intelektual muda negeri ini yang sangat kreatif, yang mendirikan sebuah publishing house dengan alamat di Deli Serdang. 

Ya, dialah Muhammad Ridwan. Konon masih menempuh S-3 UIN Sumatra Utara. Birci/Bircu bukan hanya membuat jurnal. Proceeding konferensi dan buku pun ditawarkan. Hebatnya lagi, tampaknya ia seorang diri mampu meyakinkan kalangan intelektual kampus dari berbagai belahan bumi untuk menjadi mitra bestarinya. Luar biasa!

Memang sih nekadnya agak keterlaluan. Kebetulan ada nama Hisanori Kato sebagai salah satu reviewer. Ia memang orang Jepang ahli Indonesia, fasih Bahasa Indonesia dan banyak orang Indonesia mengenalnya, termasuk penulis. Setidaknya dua bukunya pernah diterbitkan grup Kompas.

 Salah satunya yang cukup menyita perhatian publik, buku berjudul, Indonesia Di mata Orang Jepang. Akan tetapi setelah diperhatikan, nama yang sama muncul dua kali dengan orang dan keahlian berbeda. Satunya ini ahli biologi.

Entah bagaimana ceritanya bisa menggaet nama sama, tapi orangnya beda itu. Hanya Ridwan yang tahu. Atas keputusan Dikti itu pun, Ridwan memiliki jawaban, bisa dicek di link berikut, https://tintajabar.com/management-birci-journal-akan-somasi-dikti-atas-pencabutan-akreditasi-yang-diduga-tidak-sesuai/

Menariknya, belum terdengar kasus itu masuk ke ranah hukum. Belum ada gugatan setidaknya yang penulis amati. Website jurnalnya masih bisa diakses. Artinya tidak ada perubahan drastis pada "dapur" usaha penerbit tersebut. Sayup-sayup, yang ada malah suara lirih simpati pada sosok pendiri "Budapest" ini. 

Banyak dosen tertolong, terutama yang diburu mendesaknya waktu pengajuan angka kredit. Keren, nama jurnalnya juga meng-Internasional banget. Siapa kira kalau yang bikin ternyata orang Indonesia, bukan makhluk hidup dari Ibu kota Hungaria itu. Bukan lembaga kampus lagi.

Perlahan ingatan ini mengarah pada Mark Zuckerberg, sosok penting dibalik berfungsinya algoritma dan filter bubble lewat perusahaan media sosialnya. Tentu harus fair mengatakan, berfungsinya algoritma dan filter bubble itu bukan semata pada grup Facebook milik Zuckerberg. 

Pola ini juga menyusup pada mesin pencari yang tersedia. Namun siapa Zuckerberg? Ia begitu kontroversial, tidak disenangi kalangan konvensional yang gemar menyembunyikan aktivitas dan identitas diri. Di sisi lain, ia dipuja para pengagum demokrasi dan transparansi. Beberapa kali diundang  Senat Amerika. Berdebat.

Lalu bagaimana juga sejarah Elsevier? Berbeda dengan facebook dengan Zuckerberg memang. Elsevier lebih menonjolkan sosok company-nya ketimbang person-nya. Awalnya sebuah rumah penerbit di Belanda berdiri 1880. Seiring perkembangan digital, Elsevier mendirikan Scopus tahun 2004. 

Di awal dunia digital itu, Scopus hanya menerbitkan dan mengindeks jurnal eksakta dan kesehatan. Lalu, belakangan menyusul ilmu sosial humaniora. Jurnal dari Indonesia yang terindeks Scopus pertama skup-nya agama. Sekarang masih paling tinggi peringkatnya, dibandingkan jurnal dari penerbit Indonesia umumnya.

Jargon di logonya menarik, Non Solus (not alone). Praktiknya memang demikian. Dengan menggandeng ilmuwan hebat dari berbagai negara, Elsevier menjadikan mereka para punggawa di Scopus. Istilahnya, Content Selection and Advisory Board (CSAB). Jadi di tangan merekalah Elsevier dengan Scopus-nya bersandar.

Dus, tidak ada individu yang menonjol pada Elsevier dan Scopus, walaupun jajaran direksinya bisa dilacak pada laman website-nya. Mereka tampaknya orang-orang kalem saja. Banyak penerbit malah berharap masuk terindeks oleh company orang-orang ini.

Pendeknya, Mark Zuckerberg mungkin lebih bersinar ketimbang lainnya di perusahannya. Namun di Elsevier, belum terdengar sosok tunggal. Rasanya, Ridwan dan Budapest-nya boleh jadi terinspirasi jejak individu dan entitas hebat itu. Garis hidup ketiganya hampir sama, menangguk kapital dari dunia pop intelektual berjangkar digital.

Tidak terbantahkan, era kekinian sekali. Ridwan pun sudah terlanjur jadi milyarder, setidaknya hitungan kasar dari biaya APC dikalikan artikel yang telah diterbitkannya, walaupun jurnalnya sedang di"karantina" Dikti.

ZE, pengamat masyarakat digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun