Mohon tunggu...
Zaenal Eko
Zaenal Eko Mohon Tunggu... Dosen - Pernah jurnalis

Isu sosial, humaniora dan sedikit politik. Konsultan KTI. Pendidik Jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jurnal Discontinued: Produk Digital yang Dibenci Sekaligus Dirindukan

17 November 2022   17:27 Diperbarui: 17 November 2022   19:41 2517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perlahan ingatan ini mengarah pada Mark Zuckerberg, sosok penting dibalik berfungsinya algoritma dan filter bubble lewat perusahaan media sosialnya. Tentu harus fair mengatakan, berfungsinya algoritma dan filter bubble itu bukan semata pada grup Facebook milik Zuckerberg. 

Pola ini juga menyusup pada mesin pencari yang tersedia. Namun siapa Zuckerberg? Ia begitu kontroversial, tidak disenangi kalangan konvensional yang gemar menyembunyikan aktivitas dan identitas diri. Di sisi lain, ia dipuja para pengagum demokrasi dan transparansi. Beberapa kali diundang  Senat Amerika. Berdebat.

Lalu bagaimana juga sejarah Elsevier? Berbeda dengan facebook dengan Zuckerberg memang. Elsevier lebih menonjolkan sosok company-nya ketimbang person-nya. Awalnya sebuah rumah penerbit di Belanda berdiri 1880. Seiring perkembangan digital, Elsevier mendirikan Scopus tahun 2004. 

Di awal dunia digital itu, Scopus hanya menerbitkan dan mengindeks jurnal eksakta dan kesehatan. Lalu, belakangan menyusul ilmu sosial humaniora. Jurnal dari Indonesia yang terindeks Scopus pertama skup-nya agama. Sekarang masih paling tinggi peringkatnya, dibandingkan jurnal dari penerbit Indonesia umumnya.

Jargon di logonya menarik, Non Solus (not alone). Praktiknya memang demikian. Dengan menggandeng ilmuwan hebat dari berbagai negara, Elsevier menjadikan mereka para punggawa di Scopus. Istilahnya, Content Selection and Advisory Board (CSAB). Jadi di tangan merekalah Elsevier dengan Scopus-nya bersandar.

Dus, tidak ada individu yang menonjol pada Elsevier dan Scopus, walaupun jajaran direksinya bisa dilacak pada laman website-nya. Mereka tampaknya orang-orang kalem saja. Banyak penerbit malah berharap masuk terindeks oleh company orang-orang ini.

Pendeknya, Mark Zuckerberg mungkin lebih bersinar ketimbang lainnya di perusahannya. Namun di Elsevier, belum terdengar sosok tunggal. Rasanya, Ridwan dan Budapest-nya boleh jadi terinspirasi jejak individu dan entitas hebat itu. Garis hidup ketiganya hampir sama, menangguk kapital dari dunia pop intelektual berjangkar digital.

Tidak terbantahkan, era kekinian sekali. Ridwan pun sudah terlanjur jadi milyarder, setidaknya hitungan kasar dari biaya APC dikalikan artikel yang telah diterbitkannya, walaupun jurnalnya sedang di"karantina" Dikti.

ZE, pengamat masyarakat digital

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun