Mohon tunggu...
Zaenal Eko
Zaenal Eko Mohon Tunggu... Dosen - Pernah jurnalis

Isu sosial, humaniora dan sedikit politik. Konsultan KTI. Pendidik Jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pulo Geulis, Pluralitas dan Tantangan Pengembangan Kawasan

6 September 2022   10:51 Diperbarui: 6 September 2022   13:19 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diberitakan, Kampus Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) mengadakan kerjasama dengan Pemerintah Kota Bogor dan Panorama Group untuk merevitalisasi klenteng atau wihara bersamaan juga penataan Kawasan Kampung Pulo Geulis, Kota Bogor (Kompas.com, 08/05/2019).

Bagi kalangan pemerhati pengembangan masyarakat berbasis komunitas, tentu berita tersebut menggembirakan di tengah gencarnya sorotan belakangan tentang kebijakan publik yang minim melibatkan akademisi.

Dengan begitu, akademisi tidak lagi bertahta di menara gading saja dan menjadi membaur dengan masyarakatnya. Berita ini juga menjadi pembeda di tengah terjangan berita pemilu yang belum juga mereda hingga kini.

Kolaborasi antara pelaku usaha (market) dan pemerintahan (state) dengan alternatif tawaran inovasi perguruan tinggi (PNJ) tentu menjadi impian bersama. Setidaknya membuncah kesadaran bahwa masing-masing ketiga elemen itu tidak bisa berdiri sendiri, dan ketiganya mempunyai kemampuan yang berbeda-beda yang jika disatukan akan mampu menghasilkan inovasi pembangunan masyarakat berbasis komunitas yang luar biasa.

PNJ mempunyai kekuatan menyediakan SDM berpengetahuan dan terampil di industri, adapun Pemkot Bogor seperti diketahui memiliki banyak masalah mulai dari penataan transportasi dan aneka problem perkotaan lain namun dipimpin walikota yang muda dan enerjik yang menggamit PhD-nya dari Australian National University (ANU) dan petensi kotanya sebagai penyangga Jakarta serta Panorama Grup yang telah dikenal lama menggeluti bidang industri MICE dan traveling.

Menarik untuk diamati, komunitas Polo Geulis yang ternyata memang plural dari sisi etnis dan agama. Penduduk keturunan Tionghoa hampir mendominasi demografi penduduk kampung dan anehnya Bahasa Sunda menjadi bahasa pengantar komunikasi sehari-hari. 

Pluralitas yang terhampar di kampung itu pun bukan semata bentangan keragaman, namun juga telah jauh membentuk apa yang dalam teori sosial disebut civic engagement, keberlilitan kepentingan bersama. 

Pemanfaatan klenteng atau wihara misalnya, yang di situ dilakukan doa, pemujaan dan ritual beragam agama, mulai dari Islam, Buddha dan Khonghucu menjadi lembaran testimonial betapa pluralitas telah berkembang menjadi pluralisme yang tumbuh dengan sendirinya.

Artinya, faktor kondisi ketersediaan lahan yang barangkali menjadi penyebab terjadinya pluralisme alamiah tersebut, ketimbang meributkan klaim keabsahan berdasarkan sudut pandang masing-masing agama.  

Selain itu, faktor kesamaan bahasa (Sunda) juga dimungkinkan sanggup menghancurkan sekat-sekat perbedaan yang ada. Impian akan kejayaan klan, fam, ataupun marga di kalangan keturunan Tionghoa di kawasan ini sepertinya tidak lagi menguat. 

Faktor kesamaan kategori sebagai kelompok peranakan, jika meminjam sejarawan Leo Suryadinata untuk membedakannya dengan kelompok totok, menyebabkan mereka tidak lagi disibukkan untuk membangun imperium klan dan mencari-cari telatah asal kakek moyang mereka di Tiongkok. 

Bayangan akan kemegahan klan itu tampaknya telah tergantikan dengan kebanggan pada tugu kujang dan juga ketokohan Prabu Siliwangi serta Suryakencana dengan beragam penafsirannya. Artinya mereka telah menjadi subkultur Sunda dan kemegahan Pajajaran di masa lampau. 

Di sinilah pluralitas yang ada itu ternyata hidup dan menjadi pluralisme sipil yang mampu bertahan sekian lama. Hal ini tentu saja amat kontras dengan penilaian sebagian kalangan bahwa Bogor adalah kota intoleran. Hanya ekspresi-ekspresi sesaat massa atas ketidaksukaannya pada anasir kelompok lain, tidaklah layak untuk menggeneralisir bahwa entitas pluralisme di Bogor telah dialihkan menjadi kota intoleran.

Pada kondisi masyarakat seperti ini, menjadi menarik untuk melihat sejauh mana lahan pengembangan masyarakat yang efektif dilakukan.

(KOMPAS.com / RAMDHAN TRIYADI BEMPAH)
(KOMPAS.com / RAMDHAN TRIYADI BEMPAH)

Dalam panggung sejarah Nusantara, tercatat bahwa komunitas Tionghoa rata-rata merupakan kelompok mandiri dari sisi ekonomi dari sejak mula kedatangan mereka. 

Hal ini paling tidak dapat dilacak dari tulisan Picard dan Salmon (1987) maupun Peter Carey (2004) yang menyebut kekuatan kaum Tionghoa dalam hal perniagaan dan pembentukan kelas menengah pedagang di perkotaan.

Data itu tampaknya belum berubah hingga sekarang. Dalam kasus penduduk Pulo Geulis, sangat dimungkinkan semangat kemandirian itu masih ada.

Namun begitu tidaklah dapat dipastikan keberadaannya mengingat perubahan demi perubahan terjadi, tidak terkecuali komunitas Tionghoa mutakhir.

Beberapa studi menyebut karena mereka dibatasi terlibat dalam pemerintahan, mereka kemudian secara alamiah memilih jalur perniagaan. Namun sekarang ini, tidak semua komunitas Tionghoa menjadi peniaga handal. 

Di Polo Geulis mungkin akan sama problemnya dengan komunitas Tionghoa di Tengerang, ataupun di Singkawang, yaitu mereka tidak semuanya peniaga handal dan malah menggantungkan hidup pada lapangan kerja informal.

Aspek inilah yang harus dilihat, antara lapangan kerja informal dan kemandirian. Karena itu perlu dicari intervensi serta inovasi pegembangan masyarakat yang tepat bagi masyarakat dengan karakter seperti ini.

Akan halnya artefak fisik secara gamblang adalah keberadaan klenteng atau wihara yang disebut salah satu tertua di Bogor. Dilihat dari penyebutan dua istilah itu saja mengundang pertanyaan, mana yang tepat sebetulnya, apakah klenteng ataukah vihara (kalangan Buddhis jarang menuliskan wihara). 

Bagi kalangan pengkaji Tionghoa di Indonesia akan tidak kaget bahwa penentuan penyebutan Chinese temple itu dalam Bahasa Indonesia ternyata membeberkan episode ketegangan internal di kalangan Tionghoa pada masanya.

Kira-kira demikian, bahwa klenteng itu sebutan awal yang dikembangkan dari dialek hokian sampai akhirnya muncul perselisihan di antara kalangan Tionghoa penganut sam kaw hwee (Buddhisme, Tao dan Khonghucu) yang sekarang disematkan pada kelompok Buddha Tridharma, dengan kalangan yang memisahkan diri menjadi umat Khonghucu saja, kong kaw hwee. 

Polemik di era kolonial itu berlanjut di era awal Orde Baru dengan kuatnya sentimen anti China di kalangan pejabat pemerintah. 

Episode ini lalu membawa perubahan pada nama klenteng menjadi vihara, agar lebih jelas anasir ke-Buddhaan-nya ketimbang Ke-Chinaan-nya.

Di saat itu, secara serentak terjadi penggantian istilah dan papan nama dari klenteng menjadi vihara. Polemik ini di era Reformasi sekarang telah menginjak ke meja hijau, yang lagi-lagi memperhadapkan antarsesama komunitas Tionghoa yaitu kelompok Khonghucu dan kelompok Buddha Tridharma.

Narasi polemik tersebut mungkin tidak tepat untuk kasus Pulo Geulis karena memang faktanya berbeda, namun bukanlah sesuatu yang tabu untuk diwaspadai. Hal ini menjadi amat berdampak tentu dalam hal penekanan pada konservasi klenteng atau vihara itu sendiri. 

Penulis juga maklum, banyak kota di dunia memoles heritage bangunan menjadi tujuan wisata akhir-akhir ini. Paket-paket tour pun menempatkan kunjungan tempat-tempat dan bangunan bersejarah, termasuk rumah ibadah, sebagai paket yang banyak diminati. Di Jakarta misalnya untuk kepentingan kalangan Muslim, revitalisasi dilakukan terhadap Makam Mbah Priok dan Makam Luar Batang yang rutin dibanjiri peziarah. 

Namun pemahaman terhadap aspek karakteristik masyarakat kelompok yang akan dikembangkan dan potensi-potensi hambatan terpendam tetaplah harus diantisipasi.

Akhirnya, selamat kepada PNJ, khususnya Bidang Kerjasama dan P3M yang telah memprakarsai proyek revitalisasi pluralisme ini. Wallaahu 'Alam bisshowaab.  

*) Salah satu peminat kajian multikulturalisme di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), opini ini bersifat pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun