Diberitakan, Kampus Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) mengadakan kerjasama dengan Pemerintah Kota Bogor dan Panorama Group untuk merevitalisasi klenteng atau wihara bersamaan juga penataan Kawasan Kampung Pulo Geulis, Kota Bogor (Kompas.com, 08/05/2019).
Bagi kalangan pemerhati pengembangan masyarakat berbasis komunitas, tentu berita tersebut menggembirakan di tengah gencarnya sorotan belakangan tentang kebijakan publik yang minim melibatkan akademisi.
Dengan begitu, akademisi tidak lagi bertahta di menara gading saja dan menjadi membaur dengan masyarakatnya. Berita ini juga menjadi pembeda di tengah terjangan berita pemilu yang belum juga mereda hingga kini.
Kolaborasi antara pelaku usaha (market) dan pemerintahan (state) dengan alternatif tawaran inovasi perguruan tinggi (PNJ) tentu menjadi impian bersama. Setidaknya membuncah kesadaran bahwa masing-masing ketiga elemen itu tidak bisa berdiri sendiri, dan ketiganya mempunyai kemampuan yang berbeda-beda yang jika disatukan akan mampu menghasilkan inovasi pembangunan masyarakat berbasis komunitas yang luar biasa.
PNJ mempunyai kekuatan menyediakan SDM berpengetahuan dan terampil di industri, adapun Pemkot Bogor seperti diketahui memiliki banyak masalah mulai dari penataan transportasi dan aneka problem perkotaan lain namun dipimpin walikota yang muda dan enerjik yang menggamit PhD-nya dari Australian National University (ANU) dan petensi kotanya sebagai penyangga Jakarta serta Panorama Grup yang telah dikenal lama menggeluti bidang industri MICE dan traveling.
Menarik untuk diamati, komunitas Polo Geulis yang ternyata memang plural dari sisi etnis dan agama. Penduduk keturunan Tionghoa hampir mendominasi demografi penduduk kampung dan anehnya Bahasa Sunda menjadi bahasa pengantar komunikasi sehari-hari.Â
Pluralitas yang terhampar di kampung itu pun bukan semata bentangan keragaman, namun juga telah jauh membentuk apa yang dalam teori sosial disebut civic engagement, keberlilitan kepentingan bersama.Â
Pemanfaatan klenteng atau wihara misalnya, yang di situ dilakukan doa, pemujaan dan ritual beragam agama, mulai dari Islam, Buddha dan Khonghucu menjadi lembaran testimonial betapa pluralitas telah berkembang menjadi pluralisme yang tumbuh dengan sendirinya.
Artinya, faktor kondisi ketersediaan lahan yang barangkali menjadi penyebab terjadinya pluralisme alamiah tersebut, ketimbang meributkan klaim keabsahan berdasarkan sudut pandang masing-masing agama. Â
Selain itu, faktor kesamaan bahasa (Sunda) juga dimungkinkan sanggup menghancurkan sekat-sekat perbedaan yang ada. Impian akan kejayaan klan, fam, ataupun marga di kalangan keturunan Tionghoa di kawasan ini sepertinya tidak lagi menguat.Â