Mohon tunggu...
Zaenal Arifin
Zaenal Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kawula Alit

Guru matematika SMP di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedang masa belajar menulis. Menulis apa saja. Apa saja ditulis. Siap menerima kritikan. Email: zaenal.math@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aku "Putra" Nabi

12 Agustus 2020   04:11 Diperbarui: 12 Agustus 2020   20:54 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: gramho.com

Aku: Orang bilang, aku bukan turunan kiai atau wali?

Saya: Benar.

Aku: Tapi hakikatnya, jika diturut-turut, aku tidak sekadar keturunan wali. Aku 'putra' nabi, bahkan rasul. Nabi Adam as.

Saya: Ehm, iya juga sih. Berarti secara nasab, setiap manusia tiada bedanya?

Aku: Mestinya begitu. Semua keturunan Nabi Adam as. Tidak perlu keturunan Si A, Si C, dan seterusnya, dijadikan 'kebanggaan diri'. Senang (bersyukur) boleh, 'bangga' jangan. Kita kan tidak bisa memilih ingin jadi anak siapa?

Saya: Iya, ya. Berarti, nasab itu nasib?

Aku: Harusnya disadari seperti itu. Seseorang (bayi), tidak bisa meminta lahir dari rahim siapa. Bapaknya siapa pun tak berhak memilih. Jika ada kehendak memilih, setiap orang tentu minta menjadi anak orang terhebat. Misalnya aku, tentu ingin lahir sebagai anak 'Nabi Muhammad saw'.

Saya: Inggih. Berarti harus diterima sepenuh hati (disyukuri) menjadi putra siapapun?

Aku: Tentunya begitu lebih baik. Semua ditakdirkan oleh Tuhan. Ketidakterimaan akan nasib yang ditetapkan Tuhan sebagian dari ingkar. Dalam bahasa agama, 'kafir'. Agama Islam menerangkan tentang rukun iman. Salah satunya, "Beriman kepada qada dan kadar". Apapun bentuk dan jenisnya, baik atau buruk.

Saya: Berarti 'bangga' akan nasabnya dan memandang 'jelek' nasab orang lain bagian dari tidak ber-iman atau kafir?

Aku: Ya jangan terlalu ekstrim. Kita kategorikan saja misalnya, "Belum memahami rukun iman". Atau kita kelompokkan dalam golongan, "Belum sampai pada hakikat iman". Terutama pokok bahasan 'nasib nasab'.

Saya: Lalu apa manfaatnya, menjadi keturunan Si A, Si B, atau Si C?

Aku: Manfaat utama, 'status'.

Saya: Status?

Aku: Iya. Kurang lebih seperti identitas diri. Biar mudah kita memanggil, misalnya. Mempermudah urusan kependudukan.

Saya: Saya kok belum faham?

Aku: Kamu memanggil namaku biar mudah. Status kepemilikan tanah, biar jelas. Status istri atau suami siapa. Status anak dan sebagainya. Bisa difahami sebagai urusan 'administrasi' di dunia. Kira-kira seperti itu.

Saya: Apa tidak ada hubungannya dengan akhirat?

Aku: Tentu ada. Semua yang ada di dunia, selalu berkoneksi dengan akhirat. Dunia sebagai tempat bercocok tanam, akhirat tempat memanen. Nasib, takdir apapun, menjadi anak dari orang terjelek sekalipun adalah sarana ber-'cocok tanam'. Status di dunia, sebagai bahan ujian dari Tuhan. Sehingga akan terpilih, mana hamba Tuhan yang terbaik perilaku atau amal perbuatannya. 

Saya: Ooo.... Saya faham. Manfaat yang lain apa?

Aku: Politis.

Saya: Politis? Ah ngacau.

Aku: Iya, benar. Coba Anda pikir, orang kalau sudah terkenal anak dari Si A. Si A orang terpandang di daerah tersebut, 'urusan'-nya semakin mudah dan gampang. Padahal yang bersangkutan belum melakukan apapun. Sebaliknya pun demikian, belum berkontribusi apapun dianggap tidak becus.

Saya: Iya, ya. Makanya ada istilah "sugih tujuh turunan". Pun ada istilah "dosa waris". Anak tidak bertindak apapun kena efeknya. Terutama di 'mata sesama manusia'. Tetapi kan memang anak tidak jauh dari karakter bapak/ ibunya?

Aku: 'Kelihatan'-nya itu benar. Sebenarnya di kitab suci agama tidak demikian. Begitu pun di alam nyata. Melalui kitab suci Alquran, misalnya. Tuhan menceritakan tentang orang-orang terdahulu. Para nabi dan rasul, orang saleh, orang kafir, raja-raja, dan lain sebagainya. Bahkan, makhluk tak tampak mata yang termasuk golongan baik dan buruk pun difirmankan-Nya.

Saya: Itu kan kitab suci? Hanya untuk dibaca.

Aku: Hush! Anda ini bagaimana? Kitab suci itu pedoman hidup di dunia. Ibaratnya sebagai user manual book. Agar setiap manusia tidak salah langkah.

Saya: Inggih, maaf.

Aku: Iya sudah, kita lanjutkan lain kali. Intinya percakapan kita malam ini, "Nasab itu nasib". Bagian dari qada dan kadar Tuhan. Mutlak wajib diterima, apapun bentuknya. Sebagai sarana beribadah pada Tuhan. Agar kita menjadi hamba pilihan Tuhan. Bukan untuk dijadikan 'bangga-banggaan'. Tanpa melakukan kebaikan apapun.

Saya: Apa Jenengan marah pada saya?

Aku: Tidak. Sama sekali tidak marah. Sudah hampir Subuh, kita teruskan 'refleksi diri' berikutnya.

Saya: Inggih, siap. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun