Aku: Iya, benar. Coba Anda pikir, orang kalau sudah terkenal anak dari Si A. Si A orang terpandang di daerah tersebut, 'urusan'-nya semakin mudah dan gampang. Padahal yang bersangkutan belum melakukan apapun. Sebaliknya pun demikian, belum berkontribusi apapun dianggap tidak becus.
Saya: Iya, ya. Makanya ada istilah "sugih tujuh turunan". Pun ada istilah "dosa waris". Anak tidak bertindak apapun kena efeknya. Terutama di 'mata sesama manusia'. Tetapi kan memang anak tidak jauh dari karakter bapak/ ibunya?
Aku: 'Kelihatan'-nya itu benar. Sebenarnya di kitab suci agama tidak demikian. Begitu pun di alam nyata. Melalui kitab suci Alquran, misalnya. Tuhan menceritakan tentang orang-orang terdahulu. Para nabi dan rasul, orang saleh, orang kafir, raja-raja, dan lain sebagainya. Bahkan, makhluk tak tampak mata yang termasuk golongan baik dan buruk pun difirmankan-Nya.
Saya: Itu kan kitab suci? Hanya untuk dibaca.
Aku: Hush! Anda ini bagaimana? Kitab suci itu pedoman hidup di dunia. Ibaratnya sebagai user manual book. Agar setiap manusia tidak salah langkah.
Saya: Inggih, maaf.
Aku: Iya sudah, kita lanjutkan lain kali. Intinya percakapan kita malam ini, "Nasab itu nasib". Bagian dari qada dan kadar Tuhan. Mutlak wajib diterima, apapun bentuknya. Sebagai sarana beribadah pada Tuhan. Agar kita menjadi hamba pilihan Tuhan. Bukan untuk dijadikan 'bangga-banggaan'. Tanpa melakukan kebaikan apapun.
Saya: Apa Jenengan marah pada saya?
Aku: Tidak. Sama sekali tidak marah. Sudah hampir Subuh, kita teruskan 'refleksi diri' berikutnya.
Saya: Inggih, siap. (*)