Temanku SMA pasti tahu. Terutama para Bantara. Saat akan menempuh tingkat penegak tersebut, kami harus berjalan kaki ke Kalibaru. Tepatnya, dari SMAN 1 Gambiran, Banyuwangi hingga bumi perkemahan Jatirono, Kalibaru. Jika tidak salah, jarak tempuhnya lebih kurang 30 km. Ini khusus anggota ambalan putra.
Anggota putri, persyaratannya memasak untuk para "kakak pembina", selama di bumi perkemahan. Tentu dibantu kakak pembina dari para ibu guru. Maksud "kakak pembina", kakak pembina (bapak/ ibu guru), pendamping kelas 3 (sekarang kelas XII), dan kami calon Bantara (kelas 2 atau kelas XI). Sebab ini bersamaan dengan penerimaan anggota ambalan baru (kelas 1).
Kami para anggota ambalan putra, "Budi, Zaenal, Mulyadi, Nasib, Ahmad, Siswanto, Rikin, Puji, Huda, . . . ." Aku agak lupa ingatan, siapa saja yang ikut serta. Semoga teman yang membaca cerita ini, bersedia melengkapi. Atau jika ada foto kala itu, berkenan share. Penting, sebagai kenangan. Agar menjadi jangkar syukur atas karunia Tuhan yang tiada terkira.
Singkat cerita, kami dilepas oleh Kamabigus. Kala itu Bapak Suparlan. Tulus ikhlas kupanjatkan doa untuk beliau yang telah mendahului kami. Menghadap Ilahi.
Bertindak sebagai pembina pramuka waktu itu Pak Eko. Sedang Ka.Ur. Kesiswaan, Pak Komsadi. Semoga tidak salah, andaikan salah tiada masalah. Pasalnya kedua guru tersebut yang mendampingi pramuka di SMAN 1 Gambiran, saat itu.
Oo iya, ada seorang guru lagi, Pak Abdul Hamid. Guru PKn asal kota Batu, Malang. Kami menyebutnya "Pak Komar". Bisa ditebak, face beliau yang seperti personil grup lawak kenamaan "4 Sekawan" penyebabnya. "Maaf ya Pak, murid Panjenengan nakal-nakal, hehehe . . . ." Kami tahu dan yakin, beliau tidak bakal marah. Beliau sangat agamais dan toleran.
Pernah suatu ketika, saat kami kelas 3. Di awal pertemuan tri wulan 1, beliau menawarkan kesepakatan. "Siapa yang telat masuk kelas lebih dari 10 menit, tidak boleh masuk ruangan kelas." Deal! Ini bertujuan meningkatkan kedisiplinan para siswa. Syahdan, pernah suatu ketika, sekali beliau telat, lebih dari 10 menit. Konsisten, beliau tidak masuk ruang kelas. Tepatnya hanya cek kehadiran siswa lalu ke kantor. Tetapi tetap saja, ada tugas yang harus diselesaikan dari beliau.
Perjalanan berseragam pramuka lengkap, tas punggung berisi bekal di perjalanan, bendera bunga melati dan tunas kelapa, serta buku catatan kegiatan selama berhenti di pos-pos tertentu.
Jalur utama, dari SMAN 1 Gambiran berjalan ke utara menuju jalan nasional provinsi. Lanjut ke barat, arah kecamatan Kalibaru. Pos pertama, di balai desa Setail. Setelah menemui petugas, kami langsung beraksi. Membersihkan pelataran, mencabut rumput, menyapu, dan membuang kotoran ke tempat pembuangan akhir. Kami pun pamit menuruskan perjalanan, setelah dinilai cukup oleh petugas.
Pos kedua di masjid Wadung Pal. Saat ini terkenal dengan masjid Kubah Emas. Posisinya, sebelah timur Tempat Pemakaman Umum (TPU) Wadung Pal, Desa Tulungrejo, Glenmore. Sekalian beristirahat, makan siang, dan salat Zuhur. Kami bertemu marbot masjid.Â
Jika tidak salah, namanya Pak Toha. Setelah salat Zuhur, kami mencabuti rumput yang tidak banyak tumbuh di halaman masjid. Merasa sudah cukup istirahat, kami melanjutkan misi suci. Menuju ke barat, tapi maaf, tidak mencari kitab suci. Hahaha . . . .
Perjalanan Wadung Pal ke Kalibaru lumayan panas. Maklum sudah melewati tengah hari. Kami pun memutuskan melalui jalur jalan setapak. Di dalam area perkebunan PTPN XII. Sepanjang perjalanan kami bernyanyi lagu tren saat itu, "Gerimis Mengundang." Dengan bergantian memanggul cassete tape player, kami mengulang-ulang lagu grup musik Malaysia tersebut. Habis, geser lagi. Habis, geser lagi. Hingga pita kasetnya molor.
"Kusangkakan panas berpanjangan . . . .
Bukan sekejap denganmu
Bukan mainan hasratku
Engkau pun tahu niatku
Tulus dan suci . . . ."
Begitulah, mungkin jika Slam mendengar bisa marah. Sebab nada-nada lagunya sudah tidak sesuai dengan yang diciptakan. Apalagi suara para calon Bantara, "asbun" alias asal bunyi, hehehe . . . . Biarlah, yang penting bahagia, perjalanan ke barat tidak terasa lelah.
Pos ketiga, balai desa Kalibaru Wetan. Waktu sudah hampir sore, kantor sudah tutup. Kami dianjurkan silaturahmi ke rumah Pak Tinggi atau Bapak Kepala Desa. Heran, kami disuruh mencabuti rumput dan membersihkan halaman rumah beliau. Seharusnya tidak, hanya di fasilitas umum atau instansi pemerintah saja. Aku curiga, ini pekerjaan kakak pembina. Beberapa hari sebelumnya tentu mereka mengurusi izin dan survei lokasi. Pasti sudah janjian dengan Pak Tinggi.
Alhamdulillah, setelah terlihat selesai, Bapak Kepala Desa menyuruh kami makan. Menu lumayan, namanya juga Pak Tinggi. Pasca menerima tanda tangan, bukti kehadiran kami, perjalanan ke bumi perkemahan semakin ringan. Tinggal beberapa menit menuju jalan Raung.
Sampai di bumi perkemahan Jatirono, rombongan yang mengendarai truk sudah stand by. Adik kelas sibuk mendirikan tenda. Kami disambut dengan tepuk tangan meriah oleh mereka. Selamat, selamat, selamat menjadi Bantara!
Satu Kali Tepuk Pramuka!
Salam Pramuka! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H