Jika tidak salah, namanya Pak Toha. Setelah salat Zuhur, kami mencabuti rumput yang tidak banyak tumbuh di halaman masjid. Merasa sudah cukup istirahat, kami melanjutkan misi suci. Menuju ke barat, tapi maaf, tidak mencari kitab suci. Hahaha . . . .
Perjalanan Wadung Pal ke Kalibaru lumayan panas. Maklum sudah melewati tengah hari. Kami pun memutuskan melalui jalur jalan setapak. Di dalam area perkebunan PTPN XII. Sepanjang perjalanan kami bernyanyi lagu tren saat itu, "Gerimis Mengundang." Dengan bergantian memanggul cassete tape player, kami mengulang-ulang lagu grup musik Malaysia tersebut. Habis, geser lagi. Habis, geser lagi. Hingga pita kasetnya molor.
"Kusangkakan panas berpanjangan . . . .
Bukan sekejap denganmu
Bukan mainan hasratku
Engkau pun tahu niatku
Tulus dan suci . . . ."
Begitulah, mungkin jika Slam mendengar bisa marah. Sebab nada-nada lagunya sudah tidak sesuai dengan yang diciptakan. Apalagi suara para calon Bantara, "asbun" alias asal bunyi, hehehe . . . . Biarlah, yang penting bahagia, perjalanan ke barat tidak terasa lelah.
Pos ketiga, balai desa Kalibaru Wetan. Waktu sudah hampir sore, kantor sudah tutup. Kami dianjurkan silaturahmi ke rumah Pak Tinggi atau Bapak Kepala Desa. Heran, kami disuruh mencabuti rumput dan membersihkan halaman rumah beliau. Seharusnya tidak, hanya di fasilitas umum atau instansi pemerintah saja. Aku curiga, ini pekerjaan kakak pembina. Beberapa hari sebelumnya tentu mereka mengurusi izin dan survei lokasi. Pasti sudah janjian dengan Pak Tinggi.
Alhamdulillah, setelah terlihat selesai, Bapak Kepala Desa menyuruh kami makan. Menu lumayan, namanya juga Pak Tinggi. Pasca menerima tanda tangan, bukti kehadiran kami, perjalanan ke bumi perkemahan semakin ringan. Tinggal beberapa menit menuju jalan Raung.
Sampai di bumi perkemahan Jatirono, rombongan yang mengendarai truk sudah stand by. Adik kelas sibuk mendirikan tenda. Kami disambut dengan tepuk tangan meriah oleh mereka. Selamat, selamat, selamat menjadi Bantara!