Mohon tunggu...
Zaenal Arifin
Zaenal Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kawula Alit

Guru matematika SMP di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedang masa belajar menulis. Menulis apa saja. Apa saja ditulis. Siap menerima kritikan. Email: zaenal.math@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah dengan Gus Wafa (3)

2 Agustus 2020   21:15 Diperbarui: 2 Agustus 2020   21:23 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kejadian ini tahun 90-an, saat aku nyantri di pesantren Pak Thowi. Kira-kira hampir tidak berbeda jauh dengan kehadiran Mbah Mad Ali. Silahkan dibaca cerpen sebelumnya berjudul, " Ada "Kontol" di Pesantren", https://www.kompasiana.com/zaenal.math/5f1f3e32d541df661b45d352/ada-kontol-di-pesantren/ 

Masa-masa itu, pesantren Pak Thowi (posisi tempat yang lama) sering kedatangan tamu khariqul 'addah atau wali jadzab. Kata temanku, yang lebih tepat majdzub. Beberapa terlihat olehku, "Mbah Mad Ali, Gus Wafa, dan Gus Mardi." Konon, saat berlangsung semaan Mantab dan dzikrul ghofilin, Ahad Wage di Banyuwangi, Gus Mik sering singgah ke ndalem beliau. Wallaahu a'lam.

Kebetulan kedatangan Gus Wafa hampir bersamaan tiba waktu Magrib. Setelah ke ndalem Pak Thowi, Gus Wafa masuk ke musholla. Mendahului Pak Thowi yang belum di musholla.

"Kang qomat! Ayo diqomati!" Kata Gus Wafa kepada santri, yang sedang melantunkan puji-pujian.

Kontan, Kang santri langsung iqomat. Apalagi instruksi Gus Wafa, tak berani bantah. Apalagi menolak. Walaupun Pak Thowi belum tiba di musholla.

Gus Wafa maju dan mengimami salat Magrib. Jumlah makmum belum banyak. Masih sedang mengambil air wudu. Posisiku, mengambil air wudu di selatan musholla. Belum sempat menjadi makmum, salat dengan imam Gus Wafa sudah selesai.

Gus Wafa sudah melarikan diri, meninggalkan para makmum yang tolah-toleh, bingung.

Syahdan, telah terjadi salat Magrib di luar kebiasaan.

Gus Wafa mengimami salat Magrib satu rakaat. Setelah sujud kedua di rakaat pertama, Gus Wafa duduk tawaruk dan mengucapkan salam. Lalu pergi. Meninggalkan para makmum yang salah tingkah.

Di tengah peristiwa tersebut, Pak Thowi datang ke musholla. Tanpa komentar apapun, meski insya Allah beliau tahu hal janggal telah terjadi. Hingga aku dewasa dan berumah tangga, belum sempat kutanyakan peristiwa aneh tersebut. Begitu pula pada Gus Wafa, meskipun di kemudian hari aku bagian dari takmir masjid Al-Amin, dekat rumah beliau.  

"Ayo Le, diqomati!" Kata Pak Thowi sambil berjalan ke ruang imaman.

"Ayo salat Magrib maneh!" Sebelum Pak Thowi takbiratul ihram. Salat Magrib pun berlangsung normal seperti biasanya.

Ada dimensi berbeda antara kita dengan manusia khariqul 'addah. Kita, manusia biasa, tidak mampu menilai lakon dan perilaku mereka. Biarlah Allah saja. Pun kita tidak berhak ikut-ikut ibadah ala mereka. Bukan maqam-nya. Ibarat gelombang radio, berbeda frekuensi.

Jika pada saat tertentu terpaksa mengikuti lakon mereka, seyogianya diulang sesuai tingkatan kemampuan kita. Seperti peristiwa di pesantren Pak Thowi tersebut.

Rasanya, lakon atau perilaku manusia nyleneh tidak untuk kita jadikan dasar. Cukup diketahui, jika takdir memaksa kita harus melihat. Dalam arti karena dimensinya berbeda. Pun tak perlu dicemooh, ada banyak yang belum kita ketahui. Wallahu a'lam bi showab.

Kedua, ini ujian bagi santri Pak Thowi. Sebagai makmum, imam sudah keliru duduk tawaruk bakda sujud rakaat pertama, kenapa tidak diingatkan? Subhanallah!

Memang, kebetulan santri yang bermakmum kecil-kecil. Mafhum, santri senior berlagak. Sok sibuk, telat datang. Hahaha . . . . Termasuk aku.

Siapapun imam, pemimpin, wali sekalipun tetaplah manusia. Jika tak sesuai dengan kaedah yang ada, wajib diingatkan. Apalagi salat Magrib yang jelas-jelas tiga rakaat. Tata cara hal ini sudah diatur sedemikian rupa dalam kajian fikih.

Wali tetaplah manusia. Sabda Nabi, "Sesungguhnya manusia tempat salah dan lupa." Siapapun dia.

Memandang manusia sebagai manusia akan membuat hati semakin luas. Membantu meningkatkan kemakluman akan kealpaan sesama manusia. Jika seseorang berbuat salah, mudah memaafkan. Maklum sebagai manusia, pantas pernah berbuat salah. Pun pantas pernah lupa.

Memandang sesama manusia sebagai "super luar biasa" justru menjadi bumerang. Pemicu kekecewaan. Bisa jadi kebencian mendalam jika suatu saat manusia yang kita anggap sebagai "manusia super luar biasa" berbuat kealpaan. Tidak sudi menerima, jika "manusia super luar biasa" bisa salah. Lupa, bahwa satu-satunya manusia yang maksum adalah Kanjeng Rasul Muhammad SAW. Wallaahu a'lam. Al Fatihah! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun