Kisah berikut nyata. Bisa jadi pada platform ini termasuk fiksi. Tidak jadi soal, ruh-nya yang penting.
Ini, kisahku pribadi dengan seorang kiai. Aku berani menuliskannya, karena beliau telah berpulang. Jika beliau masih sugeng, hakul yakin tidak bersedia kisahnya ditulis. Terutama terkait ubudiyah. Semoga aku tidak didukani di akhirat. Menulis kisah beliau tanpa izin. Hehehe . . . .
Sekitar tahun 1994. Tepatnya aku agak lupa. Semoga para alumni, jika membaca kisah ini, bersedia memberikan koreksi.
Mbah Thowi, begitulah Pak Kiai biasa dipanggil. Semua santri memanggil beliau, dengan Bapak atau Mbah. Sedangkan untuk Bu Kiai, dengan Ibu atau Mbah.
Bagi santri, menyapa atau memanggil dengan sebutan Kiai atau Kiai Muhammad Thonthowi, sebuah pantangan. Sebutan itu, hanya digunakan saat formal pengajian, rapat, atau kegiatan khitobah. Begitu juga dengan Bu Kiai.
Jika ada orang yang memanggil beliau dengan Kiai, menunjukkan baru kenal, kurang akrab, atau tidak sering ke pesantren.
Aku sendiri memanggil beliau, dengan Bapak. Pun memanggil Bu Kiai, dengan Ibu.
Sebelum aku lanjutkan kisahku, kuselipkan doa terbaik untuk beliau berdua. Semoga Bapak dan Ibu ditempatkan pada tempat mulia di sisi Allah SWT, Al Faatihah. Amin.
Bapak dan Ibu, meskipun pengasuh pesantren, beliau berdua pekerja keras. Gonta-ganti pekerjaan dilakukan, salah satunya produksi dan menjual tempe. Bapak yang memproduksi, Ibu yang menjual tempenya.
Tidak selalu berjalan mulus, terkadang tempenya tidak jadi. Lain waktu, tempenya tidak habis terjual. Kalau sudah seperti ini, rezeki santri. Dapat menyicipi jajan dari tempe gagal, "mendol."
Waktu itu putri beliau masih kecil. Tepatnya anak keenam yang hidup. Karena Ibu pernah cerita, beberapa kali mengalami miskram (keguguran). Usia putri beliau, dua atau tiga tahun. Bisa dibayangkan betapa sibuk dan lelahnya pasangan suami istri tersebut.