Aku manggut-manggut, "Cocok Mas, masjid mana? Jangan masjid kampus." Aku memberikan syarat.
"Kenapa kalau masjid kampus?" Mas Kholid balik bertanya.
"Mas Kholid tahu sendiri, posku di waktu istirahat kuliah kan di masjid. Banyak yang kenal, padahal Maghrib Isya kita tidak pernah jama'ah di masjid kampus." Aku merinci alasanku.
"Ok, kita ke Masjid Al Amin, dekat alun-alun." Mas Kholid mengajukan usulan. Akupun manggut-manggut, tanda setuju.
****
Kami berboncengan menuju masjid terbesar di kota. Sepeda kayuh tua, ikut merasakan beratnya perjalanan. Melalui bukit dengan beberapa jalan berkelok. Menambah semakin deras keringat bercucuran.
Kami bergantian, separuh perjalanan awal Mas Kholid pegang kendali. Di bagian akhir, aku yang harus ngos-ngosan. Penuh tenaga, sisa-sisa energi sore itu kukerahkan. Level satu mungkin, sisa baterai tenagaku. Hampir menuju titik terakhir. Ibarat sepuluh meter akhir sprinter. Aku berusaha menguras sisa tenaga. Ingin melaju kencang, namun sepeda kayuh seakan jalan di tempat. Lama, terasa lama tidak sampai tujuan.
Akhirnya, sampai juga kami di halaman Masjid Al Amin. Langsung kuparkir sepeda di selatan masjid. Terlentang di teras masjid, aku kipas-kipas tubuhku yang penuh keringat. Angin semilir kuharap mengalir ke tubuhku yang terasa lemas. Oksigen dadakan terhirup lubang hidungku. Alhamdulillah, lumayan rasa letih terkurangi. Perasaan senang, mendengar marbot masjid menghidupkan kaset qiraat. Waktu maghrib akan segera tiba, pikirku.
Seseorang datang dengan air mineral kemasan gelas satu dus. Kuperhatikan belum terdapat takjil. Mungkin disembunyikan.
"Allahu Akbar! Allahu Akbar! ...."
Azan Maghrib berkumandang. Aku segera mengambil dan minum air mineral. Agar puasa hari itu segera dibatalkan.