Mohon tunggu...
Zaenal Arifin
Zaenal Arifin Mohon Tunggu... Guru - Kawula Alit

Guru matematika SMP di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedang masa belajar menulis. Menulis apa saja. Apa saja ditulis. Siap menerima kritikan. Email: zaenal.math@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Aku Najis Mughallazah

25 Maret 2019   11:54 Diperbarui: 25 Maret 2019   11:58 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku Najis Mughallazah
(Fiksi Ilmiah)

By: Kang Zae


Berbagai kisah, terjadi di sekitar kita. Mungkin sama dengan yang Anda alami. Bisa jadi berbeda. Semoga bisa jadi nasihat. Agar hidup bisa seimbang. Antara sesama manusia, bahkan dengan lingkungan binatang dan tumbuhan.

Tokoh dalam cerita fiksi ini Zae, Enal, Arif, dan Ifin. Jika Pembaca bernama sama, atau punya tetangga, saudara, kenalan seperti nama-nama tersebut, mohon maaf. Bukan suatu kesengajaan dan tidak ada niat untuk menyinggung.

Zae adalah seorang menantu Pengasuh Pondok Pesantren X. Kealimannya sungguh melebihi yang lain di kampungku. Dia mondok puluhan tahun. Sempat menjadi lurah pondok,
dan Ketua Tim Bahtsul Masail Pesantren. Bahtsul Masail merupakan Komunitas Ahli bidang pembahasan dan mencari solusi masalah-masalah agama. Juga penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Agar sesuai dengan kaidah-kaidah agama.

Sehingga pantas, jika Mbah Kiai X memilih Dia sebagai menantu. Juga pantas dipanggil Gus Zae.

Namaku Enal. Orang biasa. Masyarakat umum yang kebetulan hidup satu kampung dengan Gus Zae. Pekerjaanku seadanya, kadang di sawah, kuli bangunan, sempat jualan pentol dekat pesantren. Jika musim tidak ada orang yang menyuruh, aku berlama-lama di tepi sungai. Ya, untuk mancing ikan air tawar.

Arif adalah alumni, pesantren mertua Gus Zae. Dia menikah dengan santri putri seangkatan. Yang juga pernah mondok di Pesantren X. Saat ini hidup di kampungku. Pada waktu sore, dimintai bantuan untuk menjadi ustaz di Madrasah Diniyah Pesantren X. 

Ifin merupakan salah satu Ustaz di Pesantren X. Dia juga tetanggaku. Tiap sore dan malam hari membantu mengajar santri. Berbagai kajian agama. Bahasa Arab, Fiqih, Tarikh, Adab, dan lain-lain.

****

Setiap pagi atau sore hari, aku (Enal) melakukan kegiatan rutin. Bersih-bersih halaman rumah. Daun-daun berguguran, aku kumpulkan di tempat sampah. Kadang aku biarkan membusuk. Sesekali aku bakar.

Rumahku yang di pinggir jalan, sering dilalui orang. Orang-orang di kampungku, lalu lalang. Sesekali aku menyapa mereka. Meskipun aku posisi pasif. Tidak sedang berjalan. Ada fatwa yang menyatakan, orang berjalan harus menyapa terlebih dahulu orang sedang duduk, dan seterusnya. Lain kali, mereka yang lewat menyapa terlebih dahulu. Begitu kehidupan, antar tetangga. Antara manusia dengan manusia.

Arif, salah satu ustaz. Alumni Pesantren X, sekarang jadi tetanggaku. Beristri juga alumni Pesantren X. Rasa hormatku kepada Beliau, sering membuatku terdorong menyapanya terlebih dahulu. Namun hati ini merasa sedih. Beberapa kali menyapanya, tidak digubris.

Kuulangi lagi, setiap bertemu Ustaz Arif. Aku untuk kesekian kali menyapanya. Tetap saja, tiada respon. Senyum tidak. Sekedar menganggukkan kepala pun rasanya berat. Aku mafhum. Mungkin karakter Beliau seperti itu. Setidaknya itu yang kudengar dari para tetangga.

Tiada kuduga, aku berpapasan dengan Ustaz Ifin. Akupun menyapanya, dia mengangguk dan tersenyum. Tak kusangka Ustaz Arif pun berpapasan dengan Beliau. Dia mengucapkan salam dan tersenyum. Ya, Ustaz Arif mengucapkan salam dan tersenyum pada Ustaz Ifin. Biasanya tidak menyapaku. Aku sapa, Ustaz Arif tidak pernah tersenyum. Apalagi menyapaku terlebih dahulu, omong kosong, gak level.

Aku angan-angan, Ustaz Arif santri Ustaz Ifin. Makanya Dia hormat, menyapa terlebih dahulu. Tersenyum manis pada gurunya. Aku? Bukan siapa-siapa. Hanya tetangga biasa. Pekerja serabutan, pemancing ikan air tawar. Sekedar penjual pentol keliling.

****

Malam pun tiba. Tidak seperti biasanya, aku mencoba peruntungan. Aku jualan pentol di depan pintu gerbang. Sebelah pintu masuk utama Pesantren X. Lumayan, anak-anak suka. Santri-santri menikmati pentol-pentol kecil yang kujual.

Aku berjualan sekitar pukul sepuluh malam. Hingga larut, sampai jam malam Pesantren X berbunyi. Itupun jika sudah sepi, aku pulang lebih cepat. Pun sebaliknya jika santri libur (malam Selasa dan Jumat), aku berjualan hingga larut malam. Terkadang sampai satu dini hari.

****

Malam itu, Gus Zae pulang dengan istrinya. Naik sepeda motor, mungkin habis belanja. Atau sehabis kunjungan ke Saudara yang punya hajatan. Aku menunduk, tepatnya mengangguk. Berusaha menyapa Beliau berdua. Ya, Gus Zae dan istrinya.

Sebenarnya sepeda motor tidak melaju kencang. Pelan, nyaris sangat pelan. Namun sapaanku tidak bersambut. Dengan bunyi klakson pun sebenarnya aku sudah bahagia. Mungkin stroom aki habis. Sudah bunyikan klakson, tapi tak bersuara. Atau power mata drop sehingga tak terlihat diriku. Tubuhku yang hitam legam, di kegelapan tepi jalan, tak mampu memantulkan cahaya ke mata Beliau.

Aku berhusnudzon. Tetap berburuk sangka. Beliau yang alim tentu tidak berniat tak menyapa tetangga. Gus Zae, mantan Ketua Tim Bahtsul Masail. Tak mungkin Dia tak ingin menyapa.

Malam berikutnya, Malam Minggu. Beliau keliling pesantren. Gus Zae, sambil membawa senter, Beliau meronda. Menjaga keamanan, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Saat ini aku pasif. Tidak menyapa terlebih dahulu. Takut kecewa. Kutunggu, harap-harap cemas. Menantikan Gus Zae yang lewat di depanku. Menyapaku, atau sekedar satu kata "Monggo." Sepi, nyaris tiada suara, apa potonganku seperti santri? Tak terlihat olehnya, gerobak pentol? Di hadapanku. Lampu neon menyala, tak cukup menerangi. Wajahku yang hitam. Uh! Sungguh terlalu!

Apa Kau kira, aku asu? Atau temannya celeng? Sehingga Kau takut terkena najisnya. Susah menyucikannya. Harus tujuh kali. Disertai debu satu kali. Apa aku sama dengan mereka? Dalam kitab fiqih mu. Manusia tetanggamu termasuk najis? Apakah orang yang bukan gurumu, dalam kitab-kitab yang Kau kaji termasuk najis mughallazah? Najis Besar, bahkan sangat besar. (*)

#Kang guru protes sosial

25 Maret 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun