Aku berhusnudzon. Tetap berburuk sangka. Beliau yang alim tentu tidak berniat tak menyapa tetangga. Gus Zae, mantan Ketua Tim Bahtsul Masail. Tak mungkin Dia tak ingin menyapa.
Malam berikutnya, Malam Minggu. Beliau keliling pesantren. Gus Zae, sambil membawa senter, Beliau meronda. Menjaga keamanan, agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Saat ini aku pasif. Tidak menyapa terlebih dahulu. Takut kecewa. Kutunggu, harap-harap cemas. Menantikan Gus Zae yang lewat di depanku. Menyapaku, atau sekedar satu kata "Monggo." Sepi, nyaris tiada suara, apa potonganku seperti santri? Tak terlihat olehnya, gerobak pentol? Di hadapanku. Lampu neon menyala, tak cukup menerangi. Wajahku yang hitam. Uh! Sungguh terlalu!
Apa Kau kira, aku asu? Atau temannya celeng? Sehingga Kau takut terkena najisnya. Susah menyucikannya. Harus tujuh kali. Disertai debu satu kali. Apa aku sama dengan mereka? Dalam kitab fiqih mu. Manusia tetanggamu termasuk najis? Apakah orang yang bukan gurumu, dalam kitab-kitab yang Kau kaji termasuk najis mughallazah? Najis Besar, bahkan sangat besar. (*)
25 Maret 2019.