sajak 1
Percakapan Sebelum Hujan
Aku ingin menyentuh kembali pintu
Bangku kayu atau meja di sudut ruang itu
Dengan tatapan mata atau usapan telapak tangan
Ruangan yang kini telah lengang mungkin juga using
Tapi kau tahu kenangan tak akan pernah usang
Apalagi benar-benar hilang
Ada yang dengan sangat baik dan tak terduga
Mengabadikannya dengan catatan
Yang nyaris sempurna: tanpa kita menyadarinya
Ya, bahkan hal-hal yang tak kita lihat dan juga ingat
Bukankah demikian?
Ada yang pernah mengetuk pintu itu: tanganmu yang gemetar
Sebelum dingin bangku menjadi hangat
Hingga malam merambat
Melipat percakapan yang telah bertunas-tunas
Di luar hujan saat itu - saat kau bergegas
Ketika seseorang memanggilmu dari seberang
Dan di dalam lift mata kita masih saling berdekapan
 Tak ada yang benar-benar hilang
Sebab selalu ada diam-diam yang menyimpannya
 Dengan sangat rapi dan nyaris sempurna
: Kau tahu itu bukan? Â
2016
Sajak 2
Rahasia Besar Apa yang Kau Simpan?
Aku melihatmu berjalan pelahan
Memanjat tangga menuju awan
Di atas langit seperti berongga: memancarkan cahaya
Putih dari kubah hitam kebiruan yang membentang
Rahasia besar apa yang kau simpan di kepala?
Tak ada suara. Hanya sunyi, angin, kabut dan dingin
Meski burung-burung masih beterbangan dalam diam
Burung yang tampak seperti titik hitam berbaris di kejauhan
Ada yang memandangmu
Jutaan pasang mata
Yang segera bergerak mengikutimu
: Menembus langit?
2016
Sajak 3
Tak Ada Lagi yang Kau Punya
Barangkali engkau pohon yang teramat letih
 Daun-daun di kepalamu telah rontok
 Dan di senja sore tadi selembar daun terakhir
 Terlepas dari genggaman tangan ranting
Senja tak lagi menyimpan warna lembayung
Hanya putih dan hitam
 Serupa kabut yang membungkus malam
 Sementara tanah di tempatmu berpijak
 Telah mengering dan retak
Tak ada lagi yang kau punya
 Kecuali sebuah bangku kayu
Berwarna merah jingga
 Di mana kau ingin sekali
 Duduk dan bersandar di sana
: Sekali saja
2016
Sajak 4
Sudah Berapa Lama Matamu Terpejam ?
Ada suara seperti siulan
Lirih mengalun dengan nada naik turun
Siulan dari bibirmu yang hitam
Di dahimu ada lubang
Bulat selebar diameter kaleng minuman
Di lubang itu bersemayam seekor burung putih
Siapakah yang bersiul itu
Mulutmu ataukah sang burung putih?
Rambutmu menjelma ranting serupa akar
Menjulur ke segala arah
 Bagai lidah yang telah ber-abad menahan dahaga
Rambut yang menjalar dan saling cakarLehermu telah dipenuhi benaluYang nyaris menjeratmuSementara matamu terus terpejamBibirmu ataukah burung ituYang terus bersiul mendendangkan lagu-lagu kematian2016
Sajak 5
Pohon dan Burung Putih
Di bahu kananmu
 Hinggap sepasang burung
 Yang gelisah dan letih mencari pepohonan
Mereka berdoa dan terus berdoa
Hingga rambutmu menjelma hutan
 Dengan pohon-pohonnya yang berwarna putih
Sepasang burung putih berumah di hutan putih
 Beranak pinak hingga beratus-ratus, beribu-ribu
Pohon-pohon putih terus tumbuh
Memenuhi segenap ruang kosong
Sepuluh, seratus, seribu, sejuta pohon putih
Semua memutih
 Menjelma sebidang kanvas kosong
: Hanya putih
2016
Sajak 6
Pilar-Pilar yang Gamang
Ada pilar-pilar yang kokoh menjulang
 Pilar-pilar yang serupa batang pepohonan
Yang anggun dan gamang
 Pilar bergaun ungu menyala
Seperti neon di rumah bordil yang lengang
 Pilar-pilar yang didekap kesepian
Ditinggal pergi kesetiaan
 Kesepian yang mencakar menjelma akar
Menjalar hingga ke atas
 Memanjati punggung tiang hingga ubun-ubun kepala
Memenuhi hamparan atap dan menetap
 Abadi dengan meninggalkan bentuk lingkaran
 Semacam jeruji roda sepeda
Yang bergerak melintasi segala batas
Hingga melampaui nafas
Melampaui usia waktu
2016
Sajak 7
Tubuh Sepi
Tubuh sepi yang letih mematung
 Dengan perasaan limbung dan hasrat menggunung
 Matanya menatap riak buih yang mengapung
 Di danau hitam dalam lingkaran tebing pipih yang putih
Sudah lama tubuh sepi ingin mandi
 Berenang dalam segar hitam danau kopi
 Menyelam di kedalaman kelam
 Menuju suwung yang agung
Telah dipertemukan kerinduan sepi
 Untuk bertemu dirinya sendiri
 Dalam palung dasar cangkir kopi
2016
Sajak 8
Negeri Mata
Negeri itu berwujud mata
 bersemayam di awan - mengambang
 Ia tampak bergelantungan dengan tenang
 Sedang burung-burung dengan aneka warna;
 Merah, hijau, biru, kuning, orange, tinggal
 Di kedalaman mata itu
Mata itu memiliki banyak gua
 Dan burung-burung aneka warna layaknya
Kelelawar yang hilir mudik
 Keluar masuk dengan gembira
 Mata dan gua menjelma mulut yang selalu menganga
 Tempat burung dan kelelawar bertempat tinggal
Mata itu kini telah menjelma pepohonan
 Yang berwarna merah karena terbakar
2016
Sajak 9
Batas Sepi
Ia ingin berhenti di batas sepi - di akhir mimpi
 Sambil menatap riuh dan gemuruh di kejauhan
 Ada yang akan datang menjemput, katanya
 Sebuah bayangan yang kelak disebutnya sebagai ibu
Ia merasakan sentuhan lembut hangat
 Seperti hembusan tangan angin di punggung badan
Ada yang menariknya berkali kali
 Agar berlari mengikuti arah nyanyian
 Meski ada yang membisikinya agar tetap diam
Ia merasakan tangan-tangan dalam tubuhnya saling tarik
 Ada yang mengajaknya berlari
 Ada yang menahannya di batas sepi
2016
Sajak 10
Tubuh Semesta
Aku mengingatmu sebagai bayangan hitam
 Yang perlahan memadat dalam ingatan
 Serupa titik hitam
 Serupa asal kehidupan
Konon semesta tercipta dari ledakan
 Dari sebuah titik hitam
Kini setiap angan kita dipenuhi titik-titik hitam
 Yang meledak seperti rentetan petasan maha besar
 Menciptakan banyak semesta dalam kepala
Mengalir dalam putaran darah
 Tubuh kita dipenuhi semesta
 Yang mengambang berputar ke segenap nadi
Kota kota tumbuh dalam daging
 Sungai sungai mengalir berputar melingkar
 Hingga jemari tangan dan kaki
Gunung gunung serupa payudara
 Menjulang di punggung dan dada
Jutaan semesta terus tumbuh
 Memenuhi sekujur tubuh
2016
Sajak 11
Ada
Ada yang coba ditahan sebisanya
Deras yang hendak tumpah
Ke seluruh ceruk resah
Ia bukan tuhan yang dengan mudah menahan
Hujan, atau membiarkan padang tandus itu
Terus bersabar menikmati haus
Ada yang tak pernah dimengerti, tentang kejadian
Yang bertubi tubi menghampiri daun telinga
Semacam suara yang tak ingin didengar
Yang terus mencakar dan membakar
Tubuhnya yang kelak sempurna menjelma tembikar
2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H