Mohon tunggu...
zabidi zay lawanglangit
zabidi zay lawanglangit Mohon Tunggu... -

director & writer

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Percakapan Sebelum Hujan

30 April 2017   11:07 Diperbarui: 30 April 2017   11:21 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

sajak 1

Percakapan Sebelum Hujan

Aku ingin menyentuh kembali pintu

Bangku kayu atau meja di sudut ruang itu

Dengan tatapan mata atau usapan telapak tangan

Ruangan yang kini telah lengang mungkin juga using

Tapi kau tahu kenangan tak akan pernah usang

Apalagi benar-benar hilang

Ada yang dengan sangat baik dan tak terduga

Mengabadikannya dengan catatan

Yang nyaris sempurna: tanpa kita menyadarinya

Ya, bahkan hal-hal yang tak kita lihat dan juga ingat

Bukankah demikian?

Ada yang pernah mengetuk pintu itu: tanganmu yang gemetar

Sebelum dingin bangku menjadi hangat

Hingga malam merambat

Melipat percakapan yang telah bertunas-tunas

Di luar hujan saat itu - saat kau bergegas

Ketika seseorang memanggilmu dari seberang

Dan di dalam lift mata kita masih saling berdekapan


 Tak ada yang benar-benar hilang

Sebab selalu ada diam-diam yang menyimpannya
 Dengan sangat rapi dan nyaris sempurna

: Kau tahu itu bukan?  

2016

Sajak 2

Rahasia Besar Apa yang Kau Simpan?

Aku melihatmu berjalan pelahan

Memanjat tangga menuju awan

Di atas langit seperti berongga: memancarkan cahaya

Putih dari kubah hitam kebiruan yang membentang

Rahasia besar apa yang kau simpan di kepala?

Tak ada suara. Hanya sunyi, angin, kabut dan dingin

Meski burung-burung masih beterbangan dalam diam

Burung yang tampak seperti titik hitam berbaris di kejauhan

Ada yang memandangmu

Jutaan pasang mata

Yang segera bergerak mengikutimu

: Menembus langit?

2016

Sajak 3

Tak Ada Lagi yang Kau Punya

Barangkali engkau pohon yang teramat letih
 Daun-daun di kepalamu telah rontok
 Dan di senja sore tadi selembar daun terakhir
 Terlepas dari genggaman tangan ranting

Senja tak lagi menyimpan warna lembayung

Hanya putih dan hitam
 Serupa kabut yang membungkus malam
 Sementara tanah di tempatmu berpijak
 Telah mengering dan retak

Tak ada lagi yang kau punya
 Kecuali sebuah bangku kayu

Berwarna merah jingga
 Di mana kau ingin sekali
 Duduk dan bersandar di sana

: Sekali saja

2016

Sajak 4

Sudah Berapa Lama Matamu Terpejam ?

Ada suara seperti siulan

Lirih mengalun dengan nada naik turun

Siulan dari bibirmu yang hitam

Di dahimu ada lubang

Bulat selebar diameter kaleng minuman

Di lubang itu bersemayam seekor burung putih

Siapakah yang bersiul itu

Mulutmu ataukah sang burung putih?

Rambutmu menjelma ranting serupa akar

Menjulur ke segala arah
 Bagai lidah yang telah ber-abad menahan dahaga

Rambut yang menjalar dan saling cakarLehermu telah dipenuhi benaluYang nyaris menjeratmuSementara matamu terus terpejamBibirmu ataukah burung ituYang terus bersiul mendendangkan lagu-lagu kematian2016

Sajak 5

Pohon dan Burung Putih

Di bahu kananmu
 Hinggap sepasang burung
 Yang gelisah dan letih mencari pepohonan

Mereka berdoa dan terus berdoa

Hingga rambutmu menjelma hutan
 Dengan pohon-pohonnya yang berwarna putih

Sepasang burung putih berumah di hutan putih
 Beranak pinak hingga beratus-ratus, beribu-ribu

Pohon-pohon putih terus tumbuh

Memenuhi segenap ruang kosong

Sepuluh, seratus, seribu, sejuta pohon putih

Semua memutih
 Menjelma sebidang kanvas kosong

: Hanya putih

2016

Sajak 6

Pilar-Pilar yang Gamang

Ada pilar-pilar yang kokoh menjulang
 Pilar-pilar yang serupa batang pepohonan

Yang anggun dan gamang
 Pilar bergaun ungu menyala

Seperti neon di rumah bordil yang lengang


 Pilar-pilar yang didekap kesepian

Ditinggal pergi kesetiaan
 Kesepian yang mencakar menjelma akar

Menjalar hingga ke atas
 Memanjati punggung tiang hingga ubun-ubun kepala

Memenuhi hamparan atap dan menetap
 Abadi dengan meninggalkan bentuk lingkaran
 Semacam jeruji roda sepeda

Yang bergerak melintasi segala batas

Hingga melampaui nafas

Melampaui usia waktu

2016

Sajak 7

Tubuh Sepi

Tubuh sepi yang letih mematung
 Dengan perasaan limbung dan hasrat menggunung
 Matanya menatap riak buih yang mengapung
 Di danau hitam dalam lingkaran tebing pipih yang putih

Sudah lama tubuh sepi ingin mandi
 Berenang dalam segar hitam danau kopi
 Menyelam di kedalaman kelam
 Menuju suwung yang agung

Telah dipertemukan kerinduan sepi
 Untuk bertemu dirinya sendiri
 Dalam palung dasar cangkir kopi

2016

Sajak 8

Negeri Mata

Negeri itu berwujud mata
 bersemayam di awan - mengambang
 Ia tampak bergelantungan dengan tenang


 Sedang burung-burung dengan aneka warna;
 Merah, hijau, biru, kuning, orange, tinggal
 Di kedalaman mata itu

Mata itu memiliki banyak gua
 Dan burung-burung aneka warna layaknya

Kelelawar yang hilir mudik
 Keluar masuk dengan gembira


 Mata dan gua menjelma mulut yang selalu menganga
 Tempat burung dan kelelawar bertempat tinggal

Mata itu kini telah menjelma pepohonan
 Yang berwarna merah karena terbakar

2016

Sajak 9

Batas Sepi

Ia ingin berhenti di batas sepi - di akhir mimpi
 Sambil menatap riuh dan gemuruh di kejauhan
 Ada yang akan datang menjemput, katanya
 Sebuah bayangan yang kelak disebutnya sebagai ibu

Ia merasakan sentuhan lembut hangat
 Seperti hembusan tangan angin di punggung badan

Ada yang menariknya berkali kali
 Agar berlari mengikuti arah nyanyian
 Meski ada yang membisikinya agar tetap diam

Ia merasakan tangan-tangan dalam tubuhnya saling tarik
 Ada yang mengajaknya berlari
 Ada yang menahannya di batas sepi

2016

Sajak 10

Tubuh Semesta

Aku mengingatmu sebagai bayangan hitam
 Yang perlahan memadat dalam ingatan
 Serupa titik hitam
 Serupa asal kehidupan

Konon semesta tercipta dari ledakan
 Dari sebuah titik hitam

Kini setiap angan kita dipenuhi titik-titik hitam
 Yang meledak seperti rentetan petasan maha besar
 Menciptakan banyak semesta dalam kepala

Mengalir dalam putaran darah
 Tubuh kita dipenuhi semesta
 Yang mengambang berputar ke segenap nadi

Kota kota tumbuh dalam daging
 Sungai sungai mengalir berputar melingkar
 Hingga jemari tangan dan kaki

Gunung gunung serupa payudara
 Menjulang di punggung dan dada

Jutaan semesta terus tumbuh
 Memenuhi sekujur tubuh

2016

Sajak 11

Ada

Ada yang coba ditahan sebisanya

Deras yang hendak tumpah

Ke seluruh ceruk resah

Ia bukan tuhan yang dengan mudah menahan

Hujan, atau membiarkan padang tandus itu

Terus bersabar menikmati haus

Ada yang tak pernah dimengerti, tentang kejadian

Yang bertubi tubi menghampiri daun telinga

Semacam suara yang tak ingin didengar

Yang terus mencakar dan membakar

Tubuhnya yang kelak sempurna menjelma tembikar

2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun