Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mahalnya Biaya UKT dan Solusi Cepat Serta Mudah a la Pinjol

1 Februari 2024   09:13 Diperbarui: 3 Februari 2024   18:30 1007
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahalnya biaya kuliah. (Sumber: Thinkstock via kompas.com)

Sekedar berbagi pengalaman, saat kuliah dulu saya pakai biaya “hybrid”, alias campuran. Ada kontribusi orang tua, tapi tidak sepenuhnya. Sebagian saya cari sendiri. Antara lain dengan cara menulis. Juga melalui beasiswa.

Berbekal nilai hasil semester yang lumayan cukup memenuhi syarat, ditambah lampiran beberapa copy kliping koran dimana tulisan Opini saya diterbitkan, beberapa lembaga donator berbaik hati membantu saya menutupi biaya kuliah.

Apakah menempuh pendidikan tinggi saat itu mahal seperti mahalnya biaya UKT sebagaimana dikeluhkan beberapa kalangan belakangan ini..? Menurut saya sebenarnya relatif. Termasuk pada situasi sekarang. Buat satu pihak bisa jadi iya.

Namun bagi yang lain mungkin biasa saja. Atau malah bukan sebuah beban. Hanya saja, kalau yang menganggap mahal itu sudah mencapai jumlah yang kritis, tentu harus ada penyikapan. Terutama dari pihak kampus dan pemerintah.

Bagaimana dengan model solusi yang ditawarkan oleh Institut Tekhnologi Bandung/ITB, yakni menggunakan jasa pinjaman online atau pinjol..? Tidakkah ini bisa memunculkan masalah baru, mengingat reputasi pinjol yang dianggap meresahkan..?

Kalau dilihat dari fungsi, kemudahan dan kecepatan, pinjol sebenarnya bisa menjadi alternatif. Dan layak dipilih oleh mahasiswa, tentu juga harus ada dukungan dari orang tua, saat kesulitan bayar UKT.

Anda tahu, diakui atau tidak pada satu sisi pinjol sebetulnya menolong. Terutama bagi mereka yang sedang kesulitan dan butuh dana sesegera mungkin. Sementara mengandalkan bantuan saudara atau teman sudah tidak bisa lagi.

Maka hadirlah pinjol. Cukup download aplikasi, masukkan foto diri serta beberapa syarat lain yang diminta, beberapa menit kemudian uang cair. Di transfer lewat rekening. Sangat cepat dan mudah bukan..?

Bank konvensional mana bisa melakukan proses secepat dan semudah itu..? Bagi yang butuh dana amat mendesak, pinjam uang ke Bank dianggap terlalu ribet. Bertele-tele lagi. Harus menyertakan banyak syarat yang pembuatannya tidak kelar dalam satu hari.

Itupun belum tentu realisasi. Masih ngambang antara di setujui atau ditolak. Tergantung hasil survei dan penilaian. Jika bagus dan dianggap layak sebagai debitur, ajuan pinjaman disetujui. Kalau tidak, ya gagal dapat uang.

Mencari dana secara instan memang di pinjol jawabannya. Hanya saja, agar tidak bermasalah dikemudian hari, bahkan pernah ada kasus hingga bunuh diri, perlu dipikir masak-masak soal pengembaliannya.

Mahasiswa yang kepepet bayar UKT, saya kira tak masalah menggantungkan nasib kepada pinjol. Dengan syarat, uang yang awalnya hendak dibayarkan UKT memang betul-betul ada, namun terlambat dikirim.

Artinya, mahasiswa sebenarnya punya uang. Cuma belum cair ketika dibutuhkan. Maka untuk sementara waktu, dipakailah pinjol. Hingga biaya UKT dapat diselesaikan. Lalu diri sendiri bisa konsentrasi penuh menghadapi mata kuliah.

Tapi kalau mahasiswa senyatanya tak punya uang, dalam arti memang tidak ada cadangan untuk bayar pinjaman, sebaiknya mahasiswa tak memaksakan diri berurusan dengan pinjol. Cari jalan lain saja.

Maksa, bisa tersiksa lahir batin. Akibat di telpon tiap detik oleh penagih. Tidak kunjung henti lagi. Maka dapat dimaklumi, kalau masalah utama dalam pinjol adalah soal cara penagihan. Berkaca dari beberapa kasus yang pernah terjadi, kadang disertai ancaman.

Juga bunga yang amat mencekik. Jika di kalkulasi secara total, jauh lebih tinggi dibanding Bank konvensioal. Ternyata, dibalik kemudahan dan kecepatan pinjol, terselip potensi meresahkan. Yang membuat peminjamnya justru merasa tersiksa.

Topik Pilihan Kompasiana 31 Januari 2024 menyajikan info tentang solusi biaya UKT diluar negeri mirip pinjol. Memakai konsep yang diberi nama student loan. Mahasiswa bayar UKT dengan cara mencicil.

Pikiran saya, mengapa tidak kita coba cara tersebut. Tentu harus dibarengi penyempurnaan dan penyesuaian konsep yang di selaraskan dengan kondisi yang terjadi di negara kita. Apa yang ada di student loan luar negeri perlu di modifikasi.

Misal soal ketersediaan dana yang terbatas. Memang benar, pihak kampus bisa saja untuk sementara waktu menutupi biaya kuliah mahasiswa. Tapi darimana uangnya..? Intinya, kampus tidak cukup memiliki kemampuan buat kasih talangan UKT kepada mahasiswa.

Maka disitulah cara student loan macam luar negeri itu dapat dilirik. Namun tidak menggunakan dana kampus. Tetapi punya pinjol atau Bank konvensional. Ya benar, dua lembaga pembiayaan ini diajak kerjasama buat keberhasilan pendidikan mahasiswa.

Namun pasti ada masalah. Pinjol yang menerapkan prinsip cepat dan mudah, terkendala reputasi. Keberadaan pinjol meresahkan. Sementara di Bank konvensional, muncul problem birokrasi dan kepastian. Prosesnya ribet dan belum tentu langsung disetujui.

Maka penyempurnaan dan penyesuaian pola pinjaman dana sebagaimana saya sebut tadi, patut diterapkan. Caranya, pakai konsep hybrid. Menggabungkan beberapa kebijakan positif yang ada diantara keduanya.

Kalau boleh saya bahasakan, pinjol di Bank-kan. Sementara Bank-nya sendiri di Pinjol-kan. Prinsipnya adalah mudah, cepat namun tetap memberi suasana kebatinan yang nyaman bagi nasabah. Gambaran singkatnya demikian.

Khusus buat kepentingan biaya UKT mahasiswa, Bank harus meniru persyaratan yang diterapkan oleh Pinjol. Yaitu mudah dan cepat. Sedang untuk Pinjol sendiri, wajib mengikuti proses penagihan keterlambatan cicilan seperti diterapkan di Bank. Bunga juga harus diturunkan serendah mungkin.

Untuk dinegara kita, bisakah hal tersebut dijalankan sebagai kebijakan..? Menurut saya bisa. Dengan cara merubah regulasi dan memperketat pengawasaan. Kuncinya ada di pemegang kekuasaan, terutama yang terkait dengan masalah biaya dan pendidikan tinggi.

Pihak terkait yang saya maksud adalah Eksekutif -Legislatif, Bank Indonesia atau BI, OJK, kampus dan lembaga penegak hukum. Kerjasama diantara mereka akan dapat memperlancar proses pembayaran model hybrid diatas.

Lalu dimana dan apa peran masing-masing..? Eksekutif yang meliputi Presiden, Kemendikbud dan BUMN yang membawahi Bank-bank konvesional, rapat bersama dalam rangka menelorkan aturan baru tentang seluk beluk pembayaran UKT model student loan.

Terus BI, OJK dan penegak hukum aktif melakukan pengawasan atau tindakan, jika terdapat pelanggaran. Baik yang dilakukan oleh Pinjol maupun Bank. Dan pihak kampus sendiri, wajib memberi dukungan dalam proses pelaksanaan.

Kalau konsep hybrid macam itu terwujud, akan dapat mengatasi beberapa masalah sekaligus. Pertama, ada solusi buat mengatasi mahalnya biaya UKT. Kedua, mahasiswa merasa nyaman meski ada pinjaman dana di Pinjol. Ketiga, peran Bank konvensional untuk meringankan beban mahasiswa jadi lebih nampak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun