Maka penyempurnaan dan penyesuaian pola pinjaman dana sebagaimana saya sebut tadi, patut diterapkan. Caranya, pakai konsep hybrid. Menggabungkan beberapa kebijakan positif yang ada diantara keduanya.
Kalau boleh saya bahasakan, pinjol di Bank-kan. Sementara Bank-nya sendiri di Pinjol-kan. Prinsipnya adalah mudah, cepat namun tetap memberi suasana kebatinan yang nyaman bagi nasabah. Gambaran singkatnya demikian.
Khusus buat kepentingan biaya UKT mahasiswa, Bank harus meniru persyaratan yang diterapkan oleh Pinjol. Yaitu mudah dan cepat. Sedang untuk Pinjol sendiri, wajib mengikuti proses penagihan keterlambatan cicilan seperti diterapkan di Bank. Bunga juga harus diturunkan serendah mungkin.
Untuk dinegara kita, bisakah hal tersebut dijalankan sebagai kebijakan..? Menurut saya bisa. Dengan cara merubah regulasi dan memperketat pengawasaan. Kuncinya ada di pemegang kekuasaan, terutama yang terkait dengan masalah biaya dan pendidikan tinggi.
Pihak terkait yang saya maksud adalah Eksekutif -Legislatif, Bank Indonesia atau BI, OJK, kampus dan lembaga penegak hukum. Kerjasama diantara mereka akan dapat memperlancar proses pembayaran model hybrid diatas.
Lalu dimana dan apa peran masing-masing..? Eksekutif yang meliputi Presiden, Kemendikbud dan BUMN yang membawahi Bank-bank konvesional, rapat bersama dalam rangka menelorkan aturan baru tentang seluk beluk pembayaran UKT model student loan.
Terus BI, OJK dan penegak hukum aktif melakukan pengawasan atau tindakan, jika terdapat pelanggaran. Baik yang dilakukan oleh Pinjol maupun Bank. Dan pihak kampus sendiri, wajib memberi dukungan dalam proses pelaksanaan.
Kalau konsep hybrid macam itu terwujud, akan dapat mengatasi beberapa masalah sekaligus. Pertama, ada solusi buat mengatasi mahalnya biaya UKT. Kedua, mahasiswa merasa nyaman meski ada pinjaman dana di Pinjol. Ketiga, peran Bank konvensional untuk meringankan beban mahasiswa jadi lebih nampak.