Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Bagaimana Menyikapi Alat Peraga Kampanye Bermasalah?

19 Januari 2024   13:16 Diperbarui: 20 Januari 2024   08:08 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas Satpol PP mencopot alat peraga kampanye yang melanggar aturan di kawasan Lempuyangan, Yogyakarta, Jumat (5/1/2024). Foto: KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Anda tahu kisah seorang bapak pemilik sebuah kios di Kota Medan..? Namanya Makrahim Simamora. Bapak ini ribut dengan suami seorang caleg sebuah partai politik di Daerah. Ribut bahkan nyaris baku hantam.

Penyebabnya, si caleg bertindak gegabah. Tanpa ijin taruh spanduk, yg juga di sebut Alat Peraga Kampanye atau APK, tepat di kios milik Pak Makrahim. Oleh Pak Makrahim, APK jenis ini langsung di copot.

Apa yang di alami Pak Makrahim tentu bukan satu-satunya kasus APK yang meresahkan warga. Bisa jadi, ada tempat lain yang mengalami kasus sejenis, namun luput dari pantauan media. Hingga tidak terekspose keluar.

Itu sebagaimana yang saya alami di kompleks perumahan dimana saya tinggal. Banyak pula caleg di daerah saya sembarangan pasang spanduk. Akibatnya, sangat menggangu. Baik dari segi estetika atau kenyamanan. Dan terutama keamanan.

Dalam amatan saya, sehubungan dengan APK, terdapat dua jenis caleg. Pertama, yang punya itikad baik. Sebelum pasang spanduk, yang bersangkutan atau Tim-nya mengajukan ijin kepada pemilik tempat.

Itu sikap bagus dan terpuji. Layak di contoh oleh caleg lain. Warga yang ketemu caleg demikian, mungkin akan simpati. Dan siapa tahu, hingga sampai pada tingkatan respek. Pada akhirnya rela memberi suara.

Tanggapan positif terhadap caleg beretika ditunjukkan pula oleh warga yang tinggal di kompleks perumahan saya. Saat pasang spanduk, bukan hanya dipersilahkan. Sebagian warga malah ikhlas membantu. Juga ditunjukkan tempat yang strategis, etis dan aman.

Dalam artian, mudah dilihat oleh masyarakat, indah dipandang dan tidak mengggangu pengendara bermotor. Yang begini ini, jelas menguntungkan kedua belah pihak. Yaitu caleg itu sendiri dan masyarakat sekitar tempat APK berada.

Sekarang mari kita kuliti caleg jenis kedua, yaitu yang tak beretika. Yang ini jelas bermasalah. Sembarangan taruh spanduk. Tanpa ijin pemilik atau penguasa lahan pula. Persis sikap caleg yang suaminya ribut dengan Pak Makrahim di atas.

Pendapat saya, itu caleg arogan. Mentang-mentang punya potensi jadi pejabat, bertindak se enak perut. Masih caleg sudah begitu. Bagaimana nanti kalau jadi pejabat beneran..? Apa tidak lebih arogan lagi..?

Lalu apa sikap terbaik menghadapi caleg tak beretika yang taruh spanduk sembarangan.? Untuk menjawabnya, mari kita tengok PKPU terbaru yang diterbitkan oleh KPU RI. Sebagai pedoman, agar kita tak keliru ambil langkah.

Gambaran APK Yang Amburadul di Salah Satu Tempat Jakarta Selatan. Sumber Foto Kompas.com/Dzaky Nurcahyo
Gambaran APK Yang Amburadul di Salah Satu Tempat Jakarta Selatan. Sumber Foto Kompas.com/Dzaky Nurcahyo

Dalam PKPU Nomor 1621 Tahun 2023, jelas di atur tentang jenis dan tata cara penempatan APK. Pasal 34 menyebutkan, bahwa yang dimaksud APK meliputi reklame, spanduk dan atau umbul-umbul.

Soal penempatan, pada pasal 36 ayat 6 ditentukan, bahwa pemasangan alat peraga kampanye pada tempat yang menjadi milik perseorangan atau swasta harus mendapatkan izin dari pemilik tempat tersebut.

Saya sempat konsultasi kepada anggota KPU dan Bawaslu di daerah. Khususnya tentang pelanggaran terhadap aturan pemasangan APK. Hasil konsultasi, pemilik tempat bisa lapor ke Bawaslu. Tapi bisa pula langsung di copot sendiri.

Dalam konteks itu, berarti sudah benar sikap Pak Makrahim Simamora diatas. Yang inisiatif langsung mencopot APK melanggar aturan milik caleg. Dan sebaliknya, tak pantaslah suami si caleg sampai protes.

Tapi hal tersebut berlaku bila penempatannya ada di wilayah pribadi. Jika di tempat umum, jangan copot sembarangan. Terlebih kalau mengantongi ijin dari pihak berwenang. Mencopot APK yang sesuai ketentuan, bisa kena pidana.

Akan halnya beberapa APK melanggar aturan yang juga di pasang tanpa ijin di areal lingkungan perumahan saya, sebenarnya bisa saja langsung di copot. Tanpa pemberitahuan lebih dulu kepada caleg bersangkutan.

Namun saya dan warga penghuni lain memilih sikap lebih lunak. Dicari nomor kontaknya lebih dulu. Kemudian kita konfirmasi tentang rencana pencopotan spanduk karena menyalahi aturan tidak ada ijin.

Yang bisa dihubungi, kita minta kesediaan yang bersangkutan atau Tim-nya untuk di copot sementara waktu. Jika memang masih ingin pasang di tempat semula, diminta baik-baik agar mengajukan ijin sesuai prosedur.

Kalau setelah dihubungi bersikap kooperatif dan  suka rela menerima komplain dari warga perumahan, kita sambut baik-baik. Pengajuan ijinpun kita permudah. Tak sedikitpun di persulit.

Tapi bagi yang ngotot, macam suami caleg yang ribut dengan Pak Makrahim Simamora pemilik kios di Medan, tanpa ampun spanduknya langsung kita turunkan. Mau protes biarkan saja. Hendak di bawa ke ranah hukum, silahkan. Wong kita benar kok.

Tindakan tegas serupa diberlakukan pula buat caleg pemilik spanduk yang tak bisa di hubungi. Baik karena nomor kontak yang ada tidak aktif atau malah saat ditelpon tak di angkat. Spanduknya langsung kita beresi. Salah sendiri. Ada nomor HP, tapi tak berguna.

Inisiatif melakulan konfirmasi lebih dulu terhadap caleg yang spanduknya bermasalah, sebagaimana sikap warga di perumahan saya, memang terkesan agak kurang tegas. Padahal, Si Caleg jelas-jelas melakukan kesalahan fatal. Yaitu tak taat aturan.

Mestinya, sebagai calon pejabat, tunduk patuh pada ketentuan seharusnya ada di nomor satu. Jauh melebihi orang-orang kebanyakan. Mengapa, karena salah satu pandangan yang melekat pada calon pejabat adalah tauladan. Pemberi contoh yang baik.

Lalu mengapa warga perumahan saya bersikap agak kurang tegas terhadap pelanggar PKPU Nomor 1621 Tahun 2023, meskipun yang bersangkutan ternyata seorang caleg yang harus kasih contoh yang baik..?

Itu sebenarnya cuma karena pertimbangan kemanusiaan. Bagaimananpun juga, caleg adalah seorang manusia. Sama seperti kita-kita yang tak mau jadi caleg ini. Diantaranya, juga mengalami berbagai masalah.
Termasuk soal ekonomi.

Anda tahu, ternyata ada caleg yang memaksakan diri ikut kontestasi pemilu. Yang mau diakui atau tidak, pasti butuh biaya besar. Padahal, dari segi finansial caleg di maksud tak memenuhi syarat.

Contoh salah seorang politisi di daerah saya. Tak perlu disebut nama orang dan partainya, yang jelas caleg ini masuk kategori yang memaksakan kehendak tadi. Bahkan, dari kadung ngebetnya, sampai rela menawarkan ginjal untuk dijual buat biaya pemenangan.

Tentang kondisi caleg yang akan menjual ginjal tersebut bahkan sempat di wartakan oleh salah satu media nasional. Anda yang ingin tahu beritanya, silahkan buka Youtube, lalu ketik "Diluar Nalar. Tak ada Modal, Caleg Jual Ginjal Untuk Biaya Kampanye".

Kita warga perumahan khusnudhon saja. Siapa tahu, biaya pembuatan spanduk para caleg yang tak taat aturan itu di dapat dengan susah payah. Makanya perlu kita konfirmasi lebih dulu. Agar lebih jelas duduk perkaranya.

Belum sempat jual ginjal memang. Tapi bisa jadi dari hasil kerja keras "penuh keringat". Atau merupakan tabungan bertahun-tahun. Yang sebenarnya khusus keperluan diluar pencalegan. Misal buat keperluan bikin rumah atau sekolah anak-anak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun