Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa Rasio Lulusan S2 S3 Rendah?

18 Januari 2024   07:53 Diperbarui: 19 Januari 2024   01:06 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi beasiswa S1-S3 ke luar negeri.(PEXELS/STANLEY MORALES)

Presiden Jokowi mengaku kaget karena angka rasio lulusan S2 S3 di Indonesia sangat rendah. Cuma di kisaran 0.45 persen. Sementara di negara tetangga macam Malaysia dan Vietnam mampu mencapai 2.43 persen.

Kekagetan Pak Jokowi tersebut disampaikan saat hadir dalam acara Konvensi Kampus XXIX dan Temu Tahunan Forum Rektor Indoensia di Universitas Negeri Surabaya/Unesa, pada hari Senin, tanggal 15 Januari 2024 kemarin.

Merujuk berbagai sumber, di beberapa negara maju rasio lulusan S2 S3 sebenarnya sudah ada di angka 9.8 persen. Jauh kalau dibanding Malaysia dan Vietnam apalagi dari negara kita.

Tingginya angka lulusan S2 S3 di beberapa negara maju menunjukkan jenjang kelanjutan S1 itu sangat penting. Meski butuh data pembanding, tak salah kiranya kalau saya katakan kuantitas alumni pasca sarjana berbanding lurus dengan kemajuan suatu negara.

Masalahnya adalah, pilihan terhadap keinginan untuk melanjutkan dan menyelesaikan studi dari S1 hingga ke S3 bersifat relatif. Merupakan keputusan subyektif  setiap orang. Terlebih lagi, bisa berubah-ubah setiap saat.

Maka disitulah lalu muncul masalah keterikatan. Akibatnya, lulus S2 dan S3 menjadi tidak wajib. Sebatas sarjana jenjang S1, atau bahkan cuma SMA/SMK, dianggap sudah cukup.

Apa yang hendak saya katakan adalah, bahwa greget masuk S2 dan S3 tergantung pada keinginan orang per orang. Belum didorong oleh sebuah sistem yang disusun secara massif dan terprogram.

Tambahan lagi, mental untuk maju secara keilmuan masih rendah. Akibatnya, keinginan untuk terus belajar dalam rangka bekal pengembangan potensi diri tidak ada. Sudah merasa puas terhadap apa yang di dapat saat ini.

Ilustrasi Mahasiswa Pasca Sarjana. Sumber Foto Kompas.com/Shutterstock/Odua Image
Ilustrasi Mahasiswa Pasca Sarjana. Sumber Foto Kompas.com/Shutterstock/Odua Image

Lalu siapa saja kelompok yang punya semangat tinggi untuk melanjutkan studi hingga lulus S2 dan S3? 

Pertanyaan ini penting diajukan sebagai pedoman bagi penentu kebijakan, andai ingin mendongkrak jumlah lulusan S2 S3.

Secara garis besar, kelompok tersebut saya identifikasi menjadi dua golongan besar. Pertama, adalah mereka yang memendam idealisme tinggi. Kedua, mereka yang memiliki kebutuhan pragmatis.

Yang idealisme tinggi. Di kelompok ini, mencari ilmu merupakan kegiatan yang “menyenangkan”. Apapun profesinya, mereka akan terus belajar. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW, “mencari ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahad”.

Secara kuantitas, saya perkirakan kuat kelompok tersebut jumlahnya sangat minim. Tapi tak perlu saya urai lebih lanjut. Mengapa, karena tanpa lahir tulisan inipun, mereka tak enggan masuk S2 S3.

Naah, di kelompok pragmatis itu nampaknya yang perlu di diskusikan lebih lanjut. Sebab, butuh penanganan serius dari pelbagai pihak. Terutama dukungan kebijakan dari pemerintah dan kemauan baik pihak swasta.

Mengapa? Karena dua pihak itulah yang saya lihat amat basar pengaruhnya terhadap kuantitas, dan kalau bisa nanti juga kualitas, jumlah lulusan S2 dan S3. Pemerintah dan swasta punya peran sangat urgen.

Memang benar, selama ini pemerintah dan swasta sudah berupaya menarik minat para lulusan S1, agar meneruskan ke jenjang S2 S3. Pemerintah lewat program rutin tahunan di APBN dan swasta melalui CSR. Keduanya berupa beasiswa dan tugas belajar.

Namun cuma itu saja tentu belum cukup. Perlu terobosan lain agar semangat untuk ikut S2 S3 tidak hanya di dorong oleh keinginan dapat beasiswa dan tugas belajar. Faktor mental yang melingkup mereka juga harus disentuh.

Ironisnya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan beberapa keputusan pihak swasta kadang malah mematikan semangat untuk masuk S2 S3. Setidaknya, itu terlihat dari konsep jenjang karir yang ada di kedua belah pihak tersebut.

Di pemerintah, untuk dapat meningkatkan posisi atau jabatan, jenjang ijazah menjadi ukuran prioritas. Semisal adanya ketentuan, bahwa PNS golongan III dapat di isi oleh lulusan S1, S2 dan S3.

Akibatnya, mereka yang lama berkarir jadi PNS, terlebih yang gajinya lumayan dapat meningkatkan gengsi, bersikap paripurna. Hidup telahh sempurna. Adik-adik yang sudah lulus S1, saya kira juga akan perpikiran sama dengan para seniornya.

Kalau dengan bekal S1 bisa membawa kesejahteraan, maka untuk apalagi repot-repot masih harus mencari S2 S3. Sudah buang-buang waktu, ditambah capek lagi harus ikut program kuliah.

Perlu ada evaluasi terhadap kebijakan tersebut. Misal, yang S1 diturukan speknya hanya mentok di golongan II. Barulah yang berijazah S2 boleh di golongan III. Sementara yang S3 ada di posisi golongan IV.

Atau cari kebijakan lain, namun sifatnya harus mengikat. Bahwa kalau ingin ada peningkatan karir dan honor atau tunjangannya bertambah, wajib menyelesaikan jenjang sarjana setingat lebih tinggi. Yang S1 harus S2. Yang S2 wajib ke S3.

Di beberapa kelompok profesi kebijakan tersebut memang sudah terlaksana. Misal para pengajar di perguruan tinggi. Juga para peneliti yang bekerja di lembaga milik pemerintah. Di lembaga lain, memang sudah mulai dilaksanakan kebijakan yang mengikat.

Namun kurang menyentuh semangat untuk meneruskan jenjang pendidikan ke S2 S3. Paling-paling cuma diminta syarat bikin paper, tulisan yang dimuat oleh media tertentu, ikut seminar, dsb.

Beralih ke pihak swasta. Meski beda model, yang terjadi di kelompok ini juga berdampak mirip dengan kebijakan pemerintah. Sama-sama kurang mendorong para karyawan punya ijazah S2 S3.

Mungkin faktor utamanya karena pihak swasta lebih fokus pada kuantitas pendapatan, bukan pada kualitas SDM. Untung besar jadi ukuran pertama. Soal ijazah nomor kesekian.

Saya pernah baca satu artikel, maaf saya lupa nama medianya, tentang reward kepada para karyawan. Dalam menggaji dan memberi tunjangan, juga posisi atau jabatan, perusahaan tidak memandang ijazah.

Tapi mengukur dari berapa besar kemampuan dan kinerja. Bahkan ketika wawancara untuk kepentingan merekruit karyawan, yang jadi fokus pertanyaan bukan jenjang ijazah. Melainkan pengalaman bekerja sesuai bidang dimaksud.

Apa yang saya urai diatas memang baru sebatas opini. Lahir dari berbagai info yang saya terima dan lihat. Tentu agar lebih valid, butuh penelitian lebih jauh. Hingga nanti betul-betul jadi pertimbangan dalam upaya menaikkan jumlah lulusan S2 S3.

Saya sendiri cuma lulusan S1. Tapi anak saya yang sekarang aktif di Ibu Kota, saat ini sudah tesis S2. Kelar ini, akan saya dorong ke S3. Mengapa? Karena saya melihat betul manfaat ilmu pengetahuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun