Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bijaksana Mengeluarkan SK Buat ASN Kategori Guru PPPK

17 November 2023   09:01 Diperbarui: 19 November 2023   01:38 801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adik-adik yang sekarang lagi menempuh pendidikan, baik di jenjang menengah maupun tinggi, besok-besok hendak pilih profesi apa..? Saran saya, sejak sekarang sudah ditentukan. Agar ketika tiba waktunya, tak lagi pusing mikir pekerjaan.

Saya sendiri, lebih memilih profesi wiraswasta. Saya enggan terjun sebagai Aparatur Sipil Negara atau ASN. Bukan apa-apa. Passion saya tak cocok kalau harus ngantor tiap hari. Heheeeee...

Lepas dari itu, apapun pilihan seseorang pasti mengandung konsekwensi. Yang mau tak mau, wajib diterima jika sudah berhubungan dengan profesi. Meski itu tidak menyenangkan sekalipun.

Perilaku menerima demikian, pastinya di ikuti oleh sikap bertanggung jawab. Siap mengerjakan apapun jenis tugas yang diberikan oleh kantor. Termasuk juga siap, ketika suatu saat harus pindah ke daerah lain.

Kadang saya menemukan orang, yang dalam menjalani profesinya, sering mengeluh. Yang begini-lah, yang begitu-lah. Pokoknya serba negatif. Padahal, profesi yang digeluti itu hasil pilihan sendiri. Bukan ditentukan orang lain.

Lebih heran lagi, perilaku terbalik justru ditunjukkan saat ada reward. Terutama ketika tiba waktu gajian. Selain jadi orang yang "berdiri" paling depan, keluhan lalu tak terdengar lagi.

Tak dapat di pungkiri, seorang ASN ada pula yang bersikap demikian. Yang jadi sasaran mengeluh macam-macam. Misal perilaku atasan yang dianggap keras, pekerjaan yang terlalu berat dsb. Bisa dikatakan, tiada hari tanpa mengeluh.

Itulah contoh ASN tak mau berterima kasih. Mau Enaknya, tapi enggan terima tak enaknya. Macam kanker yang menggerogoti tubuh. Tak ada manfaat, tapi paling banyak menyerap sumber makanan. Jangan ditiru. Karena merupakan sebuah penyakit.

Siapakah kelompok profesi yang di sebut ASN? Secara regulasi, tentang ASN termaktub dalam Undang-undang Nomor 20, Tahun 2023. Di sini, pengertian ASN meliputi beberapa hal.

Saya sarikan demikian. ASN adalah pegawai milik pemerintah, memakai perjanjian kerja, diangkat oleh pejabat berwenang, diberi tugas dalam satu jabatan tertentu dan mendapat gaji yang besarannya di tentukan berdasar regulasi.

Sebelum itu, yang namanya pegawai pemerintah cuma ada Pegawai Negeri Sipil atau PNS. Namun dalam Undang-undang Nomor 20/2023, ruang lingkup pegawai pemerintah di perluas bukan hanya PNS.

Sekarang ada pula PPPK. Kepanjangan dari Pegawai Pemerintah dengan Pejanjian Kerja. Meski dalam soal kedudukan, masa kerja, pensiun dan penggajian berbeda, baik PNS maupun PPPK, sama-sama tergolong sebagai ASN.

Dulu, penanganan mengurus ASN langsung dibawah kendali pemerintah Pusat di Jakarta sana. Kini, seiring berlakunya otonomi daerah, pemerintah Provinsi dan Kabupaten juga punya wewenang terhadap ASN.

Maka dalam soal kesiapan pindah tugas, tentu ada sikap berbeda. Jika ikhlas tak masalah. Tapi kalau berat hati, yang merasakan adalah ASN yang ditangani Provinsi, dan terlebih Pusat. Yang kabupaten saya kira biasa-biasa saja.

Anda bayangkan saja, betapa luasnya wilayah satu Provinsi, apalagi satu negara Indonesia. Pindah dari satu Kabupaten ke Kabupaten lain bagi ASN Provinsi, dan antar Provinsi bagi ASN pemerintah Pusat, pasti sangat merepotkan.

Lain ceritanya kalau yang dipindah adalah ASN milik pemerintah Kabupaten. Seluas-luasnya wilayah Kabupaten, tentu masih bisa di jangkau. Karena hanya antar Kecamatan. Pakai motor sekalipun, misal cuma kendaraan itu yang dimiliki, juga tak masalah.

Bagi adik-adik yang lagi hunting profesi di bursa ASN, terutama yang kebetulan incar posisi di Pusat atau Provinsi, seyogyanya sadar atas kondisi yang kemungkinan besar terjadi, sebagaimana gambaran saya tersebut.

Jika suatu saat diterima sebagai ASN, bersiaplah untuk menerima kalau pimpinan menerbitkan SK mutasi. Toh tetap dibayar kok. Terlebih sekarang ini, pemerintah senantiasa melakukan penyesuaian terhadap gaji ASN.

Jika merasa berat harus mutasi karena di tempat semula kadung rigid, misalnya sudah punya rumah permanen, dekat mertua atau orang tua, anak-anak telah nyaman di sekolah setempat dan pertimbangan lain, ya lebih baik tak masuk ASN. Yang sudah terlanjur, sebaiknya resigned.

Segera ajukan pengunduran diri atau pensiun dini sebagai ASN. Kemudian cari profesi lain yang sekiranya tak merepotkan, terutama dari segi tempat. Pilih jenis usaha yang tak perlu pindah rumah.

Namun demikian, meski ASN punya kewajiban tunduk patuh terhadap ketentuan institusi, pemerintah sendiri juga harus bijak. Sebelum ambil keputusan, perlu diteliti manfaat dan mudlaratnya.

Jangan asal mengeluakan SK mutasi, tanpa memikirkan dampak negatif yang mungkin timbul dikemudian hari. Dampak negatif dimaksud, bukan hanya kepada ASN bersangkutan. Tapi juga buat pihak lain.

Saya ambil contoh ASN jenis PPPK profesi guru swasta. Anda tahu, ASN jenis ini berasal dari pegawai honorer. Di gaji bukan oleh pemerintah. Tapi oleh yayasan atau sekolah tempat  mengajar.

Yang terjadi, begitu guru swasta tersebut lulus PPPK, langsung mendapat SK mutasi ke sekolah negeri. Ini aturan yang wajib dipenuhi. Kalau menolak, harus memilih. Lanjut menjadi PPPK, atau mengundurkan diri..?

Sadis bukan..? Mengapa saya sebut sadis. Karena pada kasus itu, pemerintah mau enak dan menang sendiri. Enggan keluar biaya pembinaan sebagai "modal", begitu dapat "hasil", langsung diambil secara serta merta.

Anda tahu, guru PPPK yang dipindah ke sekolah negeri itu, berproses jadi professional di sekolah swasta. Awal masuk bukan siapa-siapa. Lalu karena mengabdi hingga tahunan, kemudian menjadi cakap dan berpengalaman menangani anak didik.

Andai tak dipindah, keberadaan guru swasta yang masuk PPPK pasti sangat bermanfaat bagi sekolah non negeri. Lembaga ini tetap memiliki guru professional dan berpengalaman, tanpa lagi ada kewajiban memberi honor. Karena sudah di gaji macam PNS.

Tapi begitu dapat SK pindah, otomatis sekolah swasta kehilangan guru berkualifikasi tinggi. Pastinya, sekolah swasta harus cari ganti. Iya kalau dapat yang kualitasnya sama, padahal ini amat sulit. Kalau tidak, kan harus mulai lagi dari awal.

Terlebih, syarat-syarat administrasi yang harus di setor oleh guru swasta ke pemerintah, baik saat pendaftaran tes maupun setelah diterima jadi PPPK, berasal dari legitimasi yayasan dan sekolah swasta.

Andai mau, karena pindah ke sekolah negeri, bisa saja pihak yayasan dan lembaga tak memberikan berbagai syarat-syarat itu. Tapi ya kasihan juga. Masak yang kena susah guru PPPK. Sementara yang berbuat sadis adalah pemerintah.

Ada pendapat, posisi PPPK yang di tugaskan kesekolah negeri, beda dibanding ASN yang di mutasi. Apa yang terjadi pada PPPK macam diatas, adalah SK penempatan. Bukan SK mutasi macam PNS yang  sudah bertugas tahunan sebagai ASN.

Tapi meski begitu, hakikatnya ya tak jauh beda. Sama-sama dipindah, alias mengambil secara paksa guru berpengalaman milik sekolah swasta. Usul saya, aturan keluarnya SK buat PPPK baru macam diatas, sebaiknya dicabut. Penempatan guru PPPK tetapkan di sekolah awal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun