Anda tahu, Pilpres 2024 kali ini betul-betul beda. Terjadi proses yang tidak biasa, jika dibanding pilpres-pilpres sebelumnya. Apakah endingnya nanti juga akan tidak biasa, kita tunggu saja seperti apa hasilnya.
Kalau dicermati lebih seksama, ketidak biasaan tersebut terjadi kepada parpol yang mencalonkan kandidat. Juga terhadap KPU sebagai panitia. Kandidat dari parpol sungguh mengejutkan. Sementara KPU, bingung cara menyiasati regulasi, yang tiba-tiba “belok di tikungan tanpa kasih lampu sen”.
Tanggal 13/11/2023, tepatnya pada Senin sore kemarin, secara resmi KPU memang telah menetapkan pasangan Anies-Muhaimin atau Amin, Ganjar-Mahfud alias Gama dan Prabowo-Gibran disingkat PSG, sebagai kandidat yang akan bertarung di pilpres 2024.
Namun apakah pada perjalanan kedepan, mulai dari kampanye, pemungutan suara, penetapan pemenang hingga pelantikan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih tetap akan di ikuti oleh ketiganya, masih memunculkan tanda tanya.
Hal tersebut timbul, gara-gara keputusan kontroversi Mahkamah Konstitusi/MK yang “membolehkan” Gibran jadi cawapres Prabowo. Padahal sebelumnya, anak Pak Jokowi itu sama sekali tak memenuhi syarat.
Ada yang menyatakan, keputusan MK mengikat dan tak bisa dibatalkan. Namun para pihak yang nampaknya tidak puas, masih juga bermanuver. Dengan cara melakukan gugatan ke Mahkamah Agung/MA terhadap putusan MK itu.
Dampak gugatan jelas mengakibatkan adanya ketidakpastian. Jalan lempang pilpres 2024 yang sudah tertata demikian rapi dan nampak di depan mata, dibayang-bayangi oleh kekacauan skedul. Bisa terjadi perubahan mendadak. Dan ketidakpastian yang besar kemungkinan muncul, adalah masalah hukum.
Ya benar. Akibat gugatan terhadap keputusan MK ke MA, hukum perpilpresan kita di tahun 2024 menjadi kabur. Dan pihak-pihak yang ada hubungan dengan pilpres macam pemilik suara, KPU dsb menjadi tidak tenang.
Berikut saya sarikan dari Kompas 13/11/2023 tentang masalah tersebut. Walau ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden telah ditetapkan oleh KPU, gelaran pilpres 2024 masih dibayangi ketidakpastian hukum.
Mengapa, karena ada uji materiil ke MA terhadap PKPU Nomor 23/2023. Mengutip apa yang disampaikan salah seorang anggota tim Advokasi penguji, tujuan uji materiil memang bukan dalam rangka mengoreksi isi PKPU 23/2023.
Meski begitu, uji materiil keputusan MK ke MA tetap saja memunculkan pendapat liar di tengah masyarakat. Dan kalau ternyata MA memutus bahwa apa yang dilakukan oleh MK “bersalah”, maka legitimasi pemenang pilres 2024 bisa dipertanyakan.
Terutama kalau yang menang adalah pasangan Prabowo-Gibran. Secara persepsi, kandidat yang berasal dari “anak buah” dan anak sulung Jokowi ini tentu serba salah. Menang di cibir, kalah apalagi. Pasangan ini bagai harus makan buah simalakama.
Sementara buat dua kandidat lain, yaitu Amin dan Gama, saya yakin tidak akan mengalami nasib yang sama dengan pasangan PSG. Baik Amin maupun Gama, dijamin aman dari persepsi negatif.
Lagi-lagi PSG yang ketiban apes, jika bicara soal kelompok pemilih cerdas. Pada segmen ini, ketidakpastian di atas membuat pikiran meraka bingung. Sama seperti kandidatnya sendiri, pemilih PSG yang cerdas juga mengalami masalah bak makan buah simalakama.
Hendak memberikan elektoral kepada Prabowo-Gibran atau PSG, kurang sreg. Sebab dalam proses pencalonannya, diwarnai kontroversi yang dipandang melukai nilai-nilai etika. Kalau sampai menang, kelompok pemilih cerdas bisa jadi merasa ikut berdosa.
Sebaliknya, hendak pilih Amin atau Gama, dirasa kurang cocok dari segi pertimbangan akal. Maka daripada pusing-pusing mikir pilpres, sikap terbaik adalah Golput. Sesuatu yang mestinya tak terjadi dalam gelaran pemilu.
Menghadapi uji materiil keputusan MK ke MA, yang membolehkan Gibran nyawapres, nampaknya menjadi tantangan berat bagi para hakim yang akan menyidangkan perkara itu. Para hakim tak bisa berleha-leha.
Mereka harus berpikir keras. Untuk menemukan cara agar dapat mengeluarkan putusan sebijaksana mungkin. Dimana hasilnya tak memunculkan masalah baru dalam konteks pelaksanaan pilpres 2024.
Jika putusannya masih bermasalah, dalam arti tetap terbuka peluang untuk dipersoalkan, ya sama saja dengan kenekatan para hakim di MK saat memberi jalan mulus bagi Gibran. Kedua lembaga peradilan ini bisa disebut setali tiga uang.
Dampaknya, perjalanan pilpres 2024 makin diliputi ketidakpastian. MK sudah membuka jalan tidak pasti, ini masih juga ditambah oleh MA. Kalau benar begitu, pilpres 2024 akan disebut pemilu paling buruk dalam sejarah rebutan suara di Indonesia.
Tambahan lagi, hasil ketok palu MA yang bermasalah terhadap uji meteriil putusan MK, menjadikan musuh yang dihadapi oleh pasangan Prabowo-Gibran jadi dobel. Selain tarung rebutan suara lawan Amin dan Gama, PSG juga harus bertarung dengan dirinya sendiri.
Apakah itu, tak lain tak bukan adalah upaya untuk membersihkan nama baik di depan rakyat. PSG mesti keluarkan sumber daya ekstra, bisa pikiran dan mungkin juga dana lebih banyak, buat melawan persepsi negatif akibat putusan MK.
Kondisi semacam itu jelas merupakan keuntungan tersendiri bagi pasangan Amin dan Gama. Saat kampanye, kedua pasangan ini bisa langsung konsentrasi buat merebut suara rakyat. Tanpa ada keharusan menepis persepsi negatif macam PSG.
Keuntungan lain, disamping hemat energy, dapat dijadikan lahan mengalihkan dukungan kelompok pemilih cerdas yang sebelumnya merupakan milik Prabowo-Gibran. Bukankah saat ini mereka lagi dalam kondisi galau..?
Pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi atau MK beberapa waktu lalu, rangkaian persepsi muncul bertebaran di jagad maya tanah air. Yang paling dominan adalah persepsi negatif bahwa MK telah dimanfaatkan.
Saya jelas tak tahu apa maksud para pihak memanfaatkan MK demikian rupa. Yang tahu pasti, tentu selain Tuhan Yang Maha Melihat, adalah pelakunya sendiri. Tapi ada satu hal yang mungkin lepas dari pikiran para pelaku ini.
Yakni yang ada hubungan dengan kelancaran, kelanjutan dan stabilitas jalannya pemilu secara umum. Lalu secara khusus adalah gelaran pilpres 2024 itu sendiri. Momentum pesta rakyat lima tuhunan ini jelas terganggu. Gerakannya bergoyang diliputi pandangan gelap.
Meskipun dalam pelaksanaan tekhnis nanti dipandang berhasil umpamanya, tetap saja dari segi produk dianggap cacat konstitusi. Mengapa, ya karena asal muasal kerumitan yang terjadi berawal dari otak atik regulasi.
Dari segi legitimasi, putusan MK yang kemudian di susul langkah uji materiil kehadapan MA, membuat kontestan pilpres 2024 kali ini tidak hanya bersaing buat dapat suara. Tapi juga tarung rebutan hukum.
Kalau misal nanti pasangan Amin dan Gama yang menang, maka keduanya akan beroleh legitimasi lengkap. Menang rebutan suara rakyat. Dan sekaligus menang pula dari segi legitimasi hukum.
Tapi akan beda ceritanya kalau yang menang adalah PSG. Dapat merebut suara rakyat memang. Namun dari segi legitimasi hukum menimbulkan perdebatan panjang. Bahkan mungkin hingga sampai pasangan ini naik memegang tampuk pemerintahan, tak kan usai.
Dengan kata lain, nilai kemenangan PSG tak lengkap alias timpang. Pertanyaannya kemudian, apakah dalam putusannya MA akan menambah daftar terjadinya peluang ketimpangan legitimasi bagi pemenang pilpres 2024..?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H