Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menelisik Sepinya Minat Jadi Caleg DPD Dibanding DPR RI

11 November 2023   08:55 Diperbarui: 12 November 2023   07:07 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilu. (Kompas/Hadining)

Pemilu 2024 akan memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah atau DPD dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR (untuk tingkat pusat maupun daerah). Baik DPD maupun DPR, tergolong sebagai lembaga legislatif.

Meski keduanya sama-sama merupakan jabatan bergengsi tingkat pusat, namun ternyata jumlah caleg DPD tiap periode pemilu makin menurun. Beda dibanding DPR RI, berikutnya saya sebut DPR saja, yang selalu konstan.

Saya sarikan dari berbagai sumber. Data KPU menunjukkan bahwa, calon anggota DPD yang juga disebut senator ini, pada pemilu 2024 sebanyak 668 orang. Total untuk caleg laki-laki dan perempuan.

Anda tahu, jumlah caleg DPD pada gelaran pemili-pemilu sebelumnya ternyata lebih dari itu. Total laki-laki dan perempuan, saat pemilu 2019 sebanyak 807 orang. Di pemilu 2014, 946 orang. Saat pemilu 2009, 1.116 orang. Dan ketika pemilu 2004, 933 orang.

Hasil riset yang disajikan oleh Kompas 10 November 2023, penurunan paling tajam jumlah caleg DPD terjadi pada pemilu 2024 kali ini. Hingga mencapai angka 27.5 persen. Padahal, di pemilu-pemilu sebelumnya ada di bawah angka itu. 

Pertanyaannya kemudian, mengapa itu bisa terjadi..? Kira-kira apa yang menjadi sebab, hingga peminat untuk menjadi anggota senator terus mengalami penurunan..? Ini menarik untuk diperbincangkan.

Jika menilik jumlah gaji dan dana pensiun yang diberikan oleh negara, baik kepada anggota DPR RI maupun DPD, rasanya tidak terlalu jauh. Gaji per bulan keduanya ada di kisaran angka 60-70 jutaan. Dana pensiun sama, sekitar 3.2 jutaan.

Terus, kalau fasilitas demikian dari negara sudah relatif sama, mengapa keinginan bertarung rebutan suara di kelompok DPD masih kalah dibanding DPR..? Rasa-rasanya, yang jadi sebab bukan karena gaji dan pensiun.

Ilustrasi Saat Anggota DPD Bersidang. Sumber Foto Sekretariat Jenderal DPD RI
Ilustrasi Saat Anggota DPD Bersidang. Sumber Foto Sekretariat Jenderal DPD RI

Dan kalau diukur dari pengabdian kepada masyarakat, soal gaji dan pensiun mestinya tak pantas jadi pertimbangan. Tapi jika di analisis dari tugas pokok dan kewenangan, kalahnya pamor anggota DPD wajar terjadi.

Pertama, karena soal kewenangan di legislasi. Terdapat beda otoritas antara DPD dibanding DPR. Ketika bicara soal proses keluarnya UU yang didahului usulan, pembahasan dan endingnya penetapan, peran DPD sangat terbatas.

Lembaga yang juga disebut sebagai wakil daerah itu hanya bertugas sebagai pengusul dan pemberi pertimbangan. Sementara yang mengesahkan alias menyetujui, ya para anggota DPR.

Disitu nampak jelas, bahwa DPD cuma bisa bicara, namun tak kuasa memberi keputusan. Artinya, DPD mesti diam, manakala usulan yang disampaikan ditolak DPR. Sebagian maupun seluruhnya.

Kedua, anggota DPD dikesankan jauh dari rakyat. Ini bisa terjadi, karena aturan yang tertera dalam regulasi memang berpotensi membuka peluang munculnya kesan semacam itu. Artinya, bukan kesalahan anggota DPD.

Sebagaimana sudah dipahami, ketentuan menyebut kalau anggota DPR itu adalah wakil rakyat. Sebaliknya, anggota DPD merupakan wakil provinsi. Ironisnya, yang memilih anggota DPD ternyata rakyat juga. Bukan pemerintah provinsi.

Ketika sudah dilantik masuk gedung Senayan, lumrah terjadi anggota DPR selalu berhubungan dengan rakyat yang kemarin bertindak sebagai pemilih. Misal saat menyerap aspirasi, sosialisasi program dsb. Sementara intensitas hubungan DPD tak sebanyak yang di lakukan oleh anggota DPR.

Rakyat di bawah yang memberi suara, tak mau tahu soal dampak regulasi tersebut. Yang ada di pikiran mereka cuma satu. Ketika anggota DPD mendapat suara, maka ketika itu pula tidak boleh lupa terhadap pemberi suara.

Nah, intensitas hubungan DPD yang lebih banyak terjadi dengan pemerintah provinsi dibanding rakyat itulah, yang kemudian membuat anggota DPD “malu” ketemu rakyat saat nyalon kembali.

Ketiga, oleh sebab akses pada kekuasaan yang tidak terlalu besar. Karena wewenang yang belum menjangkau hingga pada level sebagai penentu keputusan, maka tingkat kebutuhan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap DPD menjadi kecil.

Akibatnya, “kue” yang didapat anggota DPD juga relatif kecil. Dengan kata lain, tidak sebanyak yang diperoleh anggota DPR. Kondisi demikian jelas berpengaruh terhadap upaya “ngopeni” rakyat.

Lha bagaimana tidak. Yang didapat cuma separuh, sementara rakyat yang butuh uluran tangan anggota DPD justru lebih besar dibanding anggota DPR. Rakyat yang harus diurus DPD adalah satu provinsi.

Tapi anggota DPR yang punya "kue" lebih banyak dikarenakan kuasanya lebih kuat, fasilitas lebih beragam dan akses lebih besar, cuma ngopeni satu dapil. Yang isinya sekitar 3-4 kabupaten saja.

Akibat beberapa kondisi tersebut, tingkat ketertarikan politisi yang ingin bertarung di kelompok caleg DPD melemah. Mungkin karena tak mau menerima kenyataan sebagaimana gambaran saya di atas.

Berikutnya, lalu menjalar terhadap minat. Ya bagaimana mau semangat, kalau ujung-ujungnya cuma sebagai “penggembira”. Sementara risiko di hadapan rakyat yang memberi suara, sama saja dengan anggota DPR.

Buat Anda-Anda sekalian yang ingin mengejar status sebagai pejabat pusat, yang punya pin di dada, ke mana-mana difasilitasi oleh negara dan bergaji besar lagi, saya sarankan agar tahun depan nyaleg di kelompok DPD saja.

Mengapa, karena adanya fakta melemahnya minat untuk menjadi senator, menyebabkan persaingan tidak terlalu ketat. Maka kemungkinan masuk gedung Senayan, pastinya jauh lebih terbuka lebar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun