Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Memaknai Diplomasi Makan Siang Istana Jokowi

1 November 2023   08:51 Diperbarui: 2 November 2023   02:45 1572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jokowi Makan Siang Istana Bersama Tiga Capres. (Sumber Foto : Dok Sekretariat Presiden via Kompas.com)

Secara persepsi, baik juga langkah Presiden Jokowi mengundang makan siang di Istana Merdeka tiga kandidat capres Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan. Paling tidak membuat suasana adem.

Namun di balik itu, munculnya rasan-rasan negatif khalayak, terutama dari kalangan politisi dan para pengamat juga tak bisa dinafikan. Setelah sebelumnya Jokowi dianggap ambisius. Dengan cara mendorong lahirnya politik dinasti.

Siapa yang tak akan bertanya-tanya, ketika Gibran Rakabuming Raka anak Jokowi yang sebelumnya tak cukup syarat ikut pilpres, lalu dengan begitu mudahnya mendapat jalan buat naik level ke jabatan politik lebih tinggi macam wapres..?

Melalui keputusan kontroversial di MK lagi. Yang Ketuanya dijabat oleh paman Gibran bernama Anwar Usman. Belum lagi soal terpilihnya Sang Paman menjadi Hakim MK beberapa waktu lalu. Yang didapat tanpa voting di parlemen. Tapi lewat kelahiran UU Nomor 7/2020.

Serasa lengkap saja rekayasa politik itu. Bagai meramu makanan super nikmat. Di mana bahan-bahan yang harus di sediakan sudah tersaji lengkap. Dan tahap-tahap racikannya begitu rapi tertata di atas meja.

Maka ketika netralitas Jokowi diragukan, ya wajar-wajar saja. Kelompok Jokowi juga tak perlu hingga berbusa membela diri. Karena benang merahnya amat transparan nampak di permukaan.

Lalu ada apa sebenarnya, hingga Pak Jokowi bela-belain ajak makan siang ketiga kandidat capres yang akan tarung pada pilpres 2024 itu? Yang jelas, ajakan tersebut bukan hanya untuk mengisi waktu luang karena presiden tak punya kerjaan.

Saya yakin, ada "udang di balik batu" sebagai latar belakang. Agak sulit juga mempersepsikan ajakan itu cuma sebagai "temu akrab". Terlebih bagi Ganjar dan Prabowo. Anda tahu, mereka ini sudah akrab dari dulu.

Lalu siapa yang punya inisiatif? Nah, di sinilah letak starting pointnya. Untuk kemudian bisa diketahui, pihak mana sebenarnya yang membutuhkan.

Jika berpedoman pada berita, datangnya Ganjar, Prabowo, dan Anies untuk makan siang adalah karena diundang oleh Jokowi. Ketiga kandidat tidak dalam posisi mengajukan diri.

Maka jelas yang punya kepentingan ialah Presiden Jokowi sendiri. Bukan Ganjar dan Prabowo. Apalagi Anies. Rasanya, nama kandidat terakhir yang saya sebut tak ada minat buat sekadar makan siang di Istana.

Sejak dipecat oleh Jokowi dari posisi Mendikbud bertahun silam, Anies memang ambil posisi di seberang presiden. Bahkan Anies akrab bergaul dengan kelompok penentang pemerintah.

Namanya juga netizen +62. Ada saja peristiwa yang dicocokologi atau dihubung-hubungkan. Hingga posisi duduk saat Jokowi makan siang bersama capres juga dibuat pembenaran atas "permusuhan" Anies lawan presiden.

Coba Anda perhatikan posisi Anies yang tepat berhadap-hadapan di muka Jokowi pada foto di atas. Beredar pendapat yang menyatakan, bahwa posisi itu sudah diatur. Sebagai sinyal bahwa Jokowi tidak mendukung pencapresan Anies.

Kembali ke soal ajakan Jokowi makan siang bersama tiga kandidat. Saya setuju dengan pendapat beberapa pihak. Bahwa Jokowi rupanya ingin membersihkan nama. Terutama dari tudingan meragukan netralitas dalam pilpres.

Langkah tersebut diambil, setelah melihat betapa kuatnya hantaman terhadap keluarga beliau soal dinasti politik. Bukan hanya dari kalangan penentang. Tapi juga dari kelompok sendiri.

Mampukah acara makan siang Istana meredam gejolak pertentangan di bawah? Saya kira kok tidak ya. Gesekan kuat tetap akan terjadi. Terutama antara pendukung Ganjar dan Prabowo.

Mengapa, karena "permusuhan" di antara kedua kelompok ini didasarkan pada persepsi pengkhianatan. Yang dampaknya tentu lebih berat dibanding permusuhan biasa. Merasa dikhianati bagai ditusuk pisau dari belakang.

Ingat, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Jokowi sebelumnya merupakan kolega akrab. Secara kepartaian, Gerindra yang merupakan milik Prabowo adalah teman koalisi PDIP, tempat berlabuh Ganjar plus Jokowi.

Lalu sekarang, ketika poros PDIP mencapreskan Ganjar, Jokowi justru menyetujui Gibran sebagai cawapres Prabowo yang di usung oleh lawan PDIP, yaitu poros Gerindra. Lalu di mana wibawa PDIP dan muka Sang Ketua Umum Ibu Mega mau ditaruh?

Kata beberapa orang, menghadapi musuh yang sedari awal memang sudah ada di kubu seberang, macam perseteruan Anies lawan Jokowi, tidak begitu sulit. Mudah mengatur strategi. Karena posisinya jelas kelihatan.

Tapi bertarung lawan teman sendiri, sungguh amat berat. Butuh tenaga dobel dan ekstra. Perlu strategi khusus. Disebabkan teman sendiri itu sangat tahu medan, posisi, kelebihan dan kekurangan yang dimiliki.

Nah, begitulah saya kira gambaran gejolak antara kelompok Ganjar dan tim Prabowo pada pilpres putaran pertama. Adapun tentang gejolak pendukung Ganjar-Anies maupun Prabowo-Anies, tidak akan sehebat permusuhan Ganjar vs Prabowo.

Kecuali jika Anies lolos putaran kedua. Maka situasi gejolak Ganjar-Prabowo sebagaimana putaran pertama, bisa terjadi saat Anies tarung lawan Ganjar atau Prabowo di putaran kedua.

Sekadar info, kelompok politik di negara kita saat ini bermacam-macam. Kalau mau kita tarik garis demarkasi secara gampang, ada yang awam dan ada pula yang khusus. Yang awam adalah kelompok masyarakat biasa.

Bagi mereka, memberikan elektoral kepada satu parpol atau kandidat, didasarkan pada pertimbangan primordial. Bisa karena faktor ideologi, kekerabatan dan patronase. Siapapun yang bertarung, asal masuk nominasi itu, pasti dipilih.

Pertimbangan sebaliknya terjadi pada kelompok khusus atau menengah ke atas. Buat mereka, memberikan suara harus didasarkan kepada pertimbangan rasional. Jargon "Jangan Pilih Kucing Dalam Karung" ada dibenak mereka.

Saat menjatuhkan pilihan, latar belakang pendidikan, pengalaman, kinerja dan sebagainya pasti jadi fokus perhatian. Jika para kontestan tak satupun punya nominasi itu, bisa jadi mereka bersikap golput.

Kalau bermaksud mengademkan suasana, acara makan siang istana Jokowi bersama tiga kandidat saya kira hanya akan efektif di kelompok khusus. Bahkan, tanpa acara makan siang pun, di kalangan mereka sebenarnya adem-adem saja. Meski beda pilihan.

Namun bagi kelompok awam, upaya Jokowi tersebut tidak akan banyak berpengaruh, untuk tidak mengatakan sia-sia. Kalaupun berdampak, hanya bersifat pragmatis. Terjadi saat ini. Kedepan, mereka kembali gontok-gontokan.

Politik sekadar media. Atau dalam islam dinamai wasilah atau perantara. Yang paling urgen seharusnya adalah harmoni. Jadi, politik sebenarnya merupakan alat mencapai kedamaian di antara sesama anak manusia.

Maka jangan jadikan politik sebagai yang utama. Mengapa, karena tempat politik itu sejatinya cuma di kerongkongan. Tak perlulah hingga ditempatkan sampai masuk kedalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun