Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Seluk Beluk Tentang Koalisi Gemuk dan Ramping

24 Agustus 2023   09:43 Diperbarui: 24 Agustus 2023   22:29 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apapun partainya, siapapun capresnya, saat mengikuti gelaran pilpres pasti ingin menang. Dan sebaliknya, tak ada satupun yang ingin kalah. Ini sudah hukum alam yang tak bisa di bantah.

Hanya saja, bagaimana cara dan upaya untuk menang lalu memegang peran sangat penting. Tidak bisa tidak mesti dibicarakan, di rumuskan dan pada akhirnya di terapkan sebagai sebuah strategi.

Mencari kawan adalah salah satu upaya menang gelaran pilpres. Karena dengan upaya, muncul potensi besar adanya tambahan suara. Mungkin sesuai dengan ungkapan "Banyak kawan, banyak rejeki".

Di di dunia politik, perkawanan di sebut pula dengan istilah koalisi. Yaitu berhimpunnya sejumlah partai politik, bisa dua, tiga dan seterusnya, guna mencapai tujuan secara bersama-sama.

Makin dekat gelaran pilpres 2024, istilah koalisi tambah trend. Ini karena beberapa partai politik yang sudah mengusung jagoan masing-masing saling berlomba-lomba mencari dan menambah kawan.

Masalahnya kemudian, agar bisa menang haruskah perkawanan itu di wujudkan dalam bentuk koalisi gemuk..? Atau sebaliknya, cukup koalisi ramping.? Toh tujuan akhirnya sama saja. Yaitu menang.

Maka di situlah faktor kualitas perkawanan dalam politik jadi amat menentukan. Sehingga, koalisi gemuk atau ramping bukan lagi masalah. Alias tak perlu jadi pertimbangan yang pokok. 

Koalisi gemuk, tapi hanya menjadi beban, ya tak bagus juga. Lebih baik ramping, agar perjalanan koalisi tak ada hambatan. Sebaliknya, pilih koalisi ramping tapi kurang meyakinkan, ya jangan begitu juga.

Lalu bagaimana kemudian partai-partai politik harus menyikapi eksistensi sebuah koalisi..? Kuncinya cuma satu. Yaitu di menejemen. Dengan menejemen, koalisi gemuk atau ramping tentu dapat di manfaatkan dengan baik.

Yang pada akhirnya mampu membawa kemenangan. Untuk konteks sekarang, tentu yang di maksud adalah menang pilpres 2024. Dimana bakal capresnya sudah terkunci kepada Prabowo Subianto, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo..

Prabowo di usung oleh Gerindra. Yang bersama PKB, Golkar dan PAN ada di dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR. Anies Baswedan di jagokan oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP, beranggotakan Nasdem, Demokrat, PKS.

Ganjar Pranowo di capreskan oleh PDIP. Sebuah parpol yang sebenarnya tak perlu cari kawan lagi untuk daftar capres ke KPU. Tapi ternyata, baik lewat tokohnya maupun Ganjar sendiri selaku kandidat, PDIP masih juga "merayu-rayu" beberapa partai politik agar mau masuk jadi kawan.

PKB yang di komandani oleh Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin salah satunya. Begitu Golkar dan PAN masuk ke Gerindra, Ganjar Pranowo kreatif mengajak Cak Imin ketemu di salah satu tempat.

Mungkin Ganjar melihat masuknya Golkar dan PAN merupakan sebuah peluang. Karena kedatangan kedua partai ini bukan tanpa maksud. Mereka juga membawa misi cawapres. Sementara Cak Imin, sudah dari awal "mengincar" posisi ini.

Apa yang saya gambarkan tentang upaya PDIP merangkul PKB tersebut sebenarnya ingin mengungkap sebuah fenomena. Bahwa menambah kawan agar bisa menciptakan koalisi gemuk masih menjadi misi utama parpol.

Padahal, koalisi gemuk bukan jaminan menang pilpres. Tapi kalau hanya di jadikan sebagai jalan memperluas potensi, tak masalah. Koalisi gemuk memang punya peluang lebih besar untuk menang, di banding koalisi ramping.

Hanya saja, sebagaimana saya ungkap di awal tulisan ini, wajib di imbangi oleh pengelolaan menejemen yang baik serta menyeluruh. Jadi tidak bisa sembarangan memilih jenis koalisi.

Mengapa demikian, karena selain membuka peluang untuk menang, koalisi gemuk dan juga ramping, menyimpan potensi kontra produktif. Yang akibatnya justru malah jadi merusak. Bukannya menang, capresnya malah keok.

Kontra produktif di maksud terbagi ke dalam beberapa sikap berikut ini. Pertama, tuntutan kompensasi. Di ingkari atau tidak, setiap anggota partai koalisi selalu mengajukan permintaan.

Saat masih berproses membentuk koalisi untuk menuju pada kemenangan, yang paling di minati bahkan hingga di incar adalah posisi cawapres. Sebuah jabatan strategis nomor dua di bawah capres.

Fakta sekarang, di mana beberapa anggota poros koalisi yang ingin bertarung pada pilpres 2024 sedang rebutan cawapres, layak di angkat menjadi contoh adanya fenomena tersebut.

Di KKIR, PKB, Golkar dan PAN sama-sama menyodorkan cawapres ke Prabowo Gerindra. Lalu Demokrat dan PKS di KPP menuntut hal yang sama terhadap Anies Nasdem. Jangan lupa, bagaimana PPP yang tiba-tiba merapat ke PDIP. Juga ingin cawapres.

Sekarang sikap yang kedua. Yaitu soliditas. Baik koalisi gemuk maupun koalisi ramping tentu sama-sama ingin mengedepankan sikap yang solid. Di antara masing-masing anggota koalisi tak ada yang suka lirak-lirik ke poros lain.
Tetap ada di dalam barisan, meski ajuan kompensasi yang di inginkan jatuh ke "tangan" anggota koalisi yang lain misalnya.

Namun apa yang kini terjadi ..? Saya lihat, beberapa partai yang tergabung diporos Nasdem, KKIR dan PDIP sama-sama bersikap "mengancam", jika cawapres yang di usulkan tidak di akomodir. Akibatnya, soliditas retak.

Dan komitmen yang telah di bangun sebelumnya jadi terancam. Sewaktu-waktu, bisa saja membuat koalisi jadi bubar. Sebuah kenyataan yang pastinya tidak di inginkan. Baik oleh poros KKIR, KPP maupun PDIP.

Lalu bagaimana cara memenej koalisi gemuk..? Perlu di lihat dari kondisi sebelum poros berdiri. Ada baiknya di kunci lebih dulu posisi yang memang krusial. Kita ambil contoh di KKIR.

Dalam MoU disebutkan, nama bakal capres dan cawapres adalah hak prerogatif Prabowo dan Cak Imin. Maka sebelum Golkar dan PAN masuk, Gerindra dan PKB mestinya menyampaikan soal ketentuan ini. Sehingga kedepan, tak lagi ribut soal posisi capres atau cawapres.

Terhadap koalisi ramping, yang perlu jadi fokus perhatian adalah justru setelah koalisi solid berdiri. Berhubung jumlah anggota yang bergabung sedikit, guna kepentingan menambah suara harus menerapkan menejemen intervensi.

Ada konsep kerja keras setiap anggota koalisi dan tim masing-masing untuk melakukan perebutan suara di luar basis sendiri. Dengan demikian, kenyataan minimnya suara, bisa di atasi dengan cara mencaplok suara milik lawan.

Kedua sikap di atas bukan tak mengandung resiko. Jika posisi krusial di jadikan syarat bergabung ke koalisi sebagaimana saya contohkan di KKIR, kemungkinan besar mendapat penolakan.

Tapi menolak di awal tentu lebih baik. Dari pada di terima masuk, namun kemudian menjadikan rusak dan bubarnya koalisi. Toh menambah teman sebagai indikator koalisi gemuk, tak juga menjamin pilpres bisa menang.

Menerapkan menejemen intervensi ambil suara di luar basis sendiri bagi koalisi ramping, ada resiko kelelahan dan biaya membengkak. Ya benar. Memperkuat suara milik sendiri, tentu lebih mudah di banding harus merebut suara di kandang lawan.

Pastinya perlu kerja esktra keras dan dana besar. Tapi inipun masih lebih baik. Di banding pasrah bongkokan kepada nasib. Dan memang begitulah kenyataan yang harus diterima oleh partai yang memilih koalisi ramping.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun