Dalam konteks pilpres 2024, parpol pencipta poros adalah yang membentuk koalisi. Nasdem contohnya. Sementara sikap partai yang gabung jadi anggota, namanya berlabuh. PPP, Hanura dan Perindo contohnya.
Sekarang Golkar dan PAN bergabung ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR milik Gerindra dan PKB mendukung capres Prabowo Subianto. Maka sikap kedua partai itu bisa dikatakan sebagai berlabuh. Bukan pencipta poros.
Sebenarnya, dulu Golkar dan PAN tergolong sebagai pencipta poros. Yang sukses mendirikan Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB bersama PPP. Tapi pada akhirnya KIB bubar.
Mengapa..?
Nah jawaban pertanyaan itu yang harus diberi garis amat tebal. KIB bubar gara-gara tak ada kesepakatan tentang posisi. Baik capres maupun cawapres. Kini PPP gabung PDIP usung capres Ganjar dan mengajukan Sandiaga Uno sebagai cawapres.
Apakah masuknya Golkar dan PAN ke KKIR juga membawa misi “merebut” posisi..? Tentu yang tahu para elit kedua partai. Tapi kalau benar, naga-naganya KKIR akan bernasib sama dengan KIB.
Sebagian anggotanya menyatakan keluar. Lalu membentuk poros sendiri. Atau kalau dirasa tak mampu, akan mencari labuhan berbeda. Yang penting tidak lagi di dalam KKIR. Karena sudah dianggap tak menjanjikan.
Pada Munas tahun 2019 silam, Golkar kasih amanat kepada Airlangga Hartarto untuk berlaga jadi capres atau cawapres. Tentu ini tanggung jawab yang harus diwujudkan oleh Airlangga.
Sementara PAN, dari awal sudah mendorong Menteri BUMN Erick Thohir diploting sebagai cawapres. Tak tanggung-tanggung, kabar yang beredar diluaran menyebutkan kalau dorongan PAN ini didukung oleh jajaran elit PBNU.
Sementara itu, Anda tahu sendiri kan kalau di KKIR sudah ada Ketua Umum PKB Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin yang dihembuskan kencang akan jadi cawapres Prabowo Subianto.
Maka disinilah potensi masalah akan muncul. Golkar punya beban amanat Munas 2019. PAN berupaya keras mencawapreskan Erick Thohir. Dan PKB, mana mungkin rela tak terima apa-apa di KKIR.
Dari segi amanat Munas, Golkar masuk ke KKIR sebenarnya menurunkan ekspektasi. Idealismenya capres, lalu jadi turun hanya mengincar cawapres. Sebuah posisi yang terkesan diambil karena situasi terdesak.
Namun buat PAN tidak begitu. Partai ini memang mengincar cawapres. Karena tak mungkin bisa menggeser posisi Prabowo sebagai capres. PKB, meski lebih awal ada di KKIR dibanding Golkar dan PAN, juga hanya menarget cawapres.
Lalu apa yang terjadi..? Akhirnya stok cawapres di KKIR melimpah, untuk tidak mengatakan “over dosis”. Maka itu, Prabowo mesti lihai menentukan sikap. Hendak ambil Cak Imin, Airlangga atau Erick Thohir.
Kalau nanti diantara Golkar, PAN, dan PKB tak ada yang mau mengalah, salah satu atau salah dua darinya akan “check out”. Cuma meski demikian, secara pertemanan Gerindra tetap diuntungkan.
Entah siapapun yang nanti akan keluar dari KKIR akibat proposalnya ditolak, Prabowo masih bisa daftar pilpres 2024. Mengapa, karena jumlah suara gabungan Gerindra cukup syarat walau hanya berdua dengan salah satu di antara Golkar, PAN atau PKB.
Masalahnya kemudian adalah jika berbicara soal kemungkinan menang. Naah, kalau yang ini tunggu dulu. Harus dilihat nanti siapa yang pada akhirnya akan tetap bersama Gerindra.
Misal yang keluar PAN dan PKB. Berarti yang ada tinggal Gerindra dan Golkar. Yang kemudian menduetkan pasangan Prabowo-Alirlangga. Kalau benar, ini pasangan terlalu sempit.
Karena basisnya sama-sama nasionalis. Sasaran pemilihnya juga sama. Yakni kaum nasionalis. Padahal, yang punya kemungkinan besar menang pilpres adalah yang berbasis nasionalis-religius.
Sebelum KKIR menerima Golkar dan PAN, pasangan Prabowo-Cak Imin sebenarnya relatif ideal. Basis nasionalis-religius terakomodir sempurna. Sehingga kemungkinan menang lebih besar.
Hanya saja, adanya goyangan terhadap Cak Imin yang belakangan ini santer di lakukan oleh Ning Yenny Wahid, sedikit banyak akan berpengaruh negatif terhadap perolehan suara Prabowo-Cak Imin. Utamanya di kelompok Gusdurian.
Flashback ke belakang sejenak, pada pilpres 2014, Gerindra dan PAN pernah punya pengalaman menduetkan kadernya. Lewat pasangan Prabowo-Hatta. Cuma ketika itu kalah sama pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Salah satu faktornya mungkin oleh sebab duet Prabowo-Hatta kurang mendapat suntikan suara dari kaum Nahdliyin. Karena Pak Hatta yang merupakan kader PAN dan diasosiasikan sebagai Muhammadiyah, dianggap tidak mewakili suara NU.
Kalau kali ini Gerindra dan PAN sepakat kembali untuk berduet, guna penataan ulang terhadap strategi pemilu 2024, tak bisa lagi dicap merupakan pilihan yang tidak mewakili suara NU.
Anda tahu, Erick Thohir yang didorong oleh PAN, disinyalir ternyata mendapat dukungan kuat dari para elit di PBNU. Maka kalau jadi, pasangan Prabowo-Erick pastinya tak bisa dipandang remeh. Sebab di belakang mereka ada basis nasionalis dari Gerindra, lalu disupport oleh basis religius di kalangan NU.
Yang paling ideal bagi Gerindra demi kemenangan Prabowo sebenarnya adalah kalau Golkar, PAN, dan PKB tak saling kunci. Ketiganya mau secara sukarela menerima siapapun yang akan jadi cawapres Prabowo.
Mengapa, karena sikap kompak dan legowo demikian malah memperkuat dan saling melengkapi upaya merebut suara di masing-masing basis. Di nasionalis ada Gerindra dan Golkar. Sedang di religius ada PAN dan PKB.
Tapi yang namanya politik, kepentingan dan posisi tentu merupakan target utama. Baik Golkar, PAN, dan terlebih PKB tak akan menyia-nyiakan kesempatan yang datangnya cuma setiap lima tahun sekali ini.
Lalu bagaimana fakta yang akan terjadi ke depan menjelang pendaftaran pilpres 2024..? Jawabnya akan menguatkan sinyalemen adanya faktor kepentingan dalam merebut kekuasaan.
Kalau ternyata Golkar, PAN, dan PKB tetap bertahan entah siapapun cawapres yang didaftarkan ke KPU, berarti idealisme elit ketiga partai masih dikatakan bersih dari greget berkuasa.
Tapi kalau tidak, dalam arti ada yang keluar hanya karena jagoannya tidak digandeng oleh Prabowo, maka pendapat tentang bubarnya KIB di atas benar adanya. Bahwa posisi dan kepentingan menjadi yang utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H