Selain itu, fakta menurunnya jumlah kursi di Senayan pada setiap gelaran pileg juga patut dipertimbangkan.
Saya amati selama masa reformasi, prestasi terbaik Partai Golkar adalah ketika Jusuf Kalla jadi Ketua Umum (2004-2009) menggantikan Akbar Tanjung (1998-2004). Jusuf Kalla sukses membawa Partai Golkar jadi ranking pertama pileg 2004. Mendapat kursi sebanyak 127. Sedang di pileg 1999 jaman Akbar Tanjung cuma 120, ranking kedua.
Pileg-pileg berikutnya suara Golkar terus menunjukkan tren penurunan. Meski tetap ada di ranking kedua. Zaman Aburizal Bakrie (2009-2014) pileg 2009 turun jadi 106.
Lalu pada pileg 2014, Golkar harus turun lagi, cuma dapat 91. Dan pada saat Golkar dipegang oleh Airlangga Hartarto pada gelaran pileg 2019, jumlah kursi Golkar di senayan hanya 85 saja. Kapan hari, tren jumlah kursi yang terus turun ini juga menjadi perhatian serius para sesepuh partai ini.
Ke depan, para sesepuh dan elite Golkar layak mengadakan evaluasi besar-besaran. Terutama di sektor sumber daya dan soliditas kader. Saya tak hendak mempertanyakan kapasitas Aburizal Bakrie dan Airlangga Hartarto.
Saya akui, mereka berdua adalah politisi kawakan yang sudah cukup lama malang melintang di dunia politik. Tapi adanya tren penurunan suara di era mereka, tak juga harus di nafikkan. Penurunan suara adalah fakta.
Selain itu, soliditas kader nampaknya harus ditata kembali. Mengapa? Karena dari dua konflik yang pernah terjadi dan kemudian berujung pada wacana Munaslub, penyebabnya bukan datang dari luar partai Golkar, melainkan dari dalam Golkar sendiri. Kecuali saat mengganti Setya Novanto yang disebabkan oleh kasus pidana, pada Munaslub “pertama” dan yang sekarang diwacanakan oleh Ridwan Hisjam dkk, semuanya dipicu oleh masalah konflik internal.
Saat Munaslub pertama, terjadi perebutan kekuasaan antara Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono. Karena beda sikap Pasca Jokowi terpilih menjadi Presiden setelah menang pertarungan melawan Prabowo pada Pilpres 2014. Satunya ingin berada di luar. Sementara satunya lagi ingin masuk kedalam menjadi mitra Presiden Jokowi. Perkembangan berikutnya menunjukkan fakta Golkar berkoalisi dengan pemerintah.
Munaslub yang diwacanakan sekarang, juga akibat soliditas kader. Di internal Golkar muncul sikap berbeda menghadapi Pilpres 2024. Kelompok Ridwan Hisjam dkk melihat Golkar di bawah Airlangga kurang greget. Belum maksimal mengupayakan amanat Munas untuk mendorong Ketua Umum jadi capres. Padahal, pemilu bukannya makin jauh. Tapi justru tambah mendekat.
Sebaliknya bagi Airlangga sendiri dan kelompoknya, dalam pandangan saya, Ketua Umum Golkar ini mungkin menganggap Pilpres 2024 masih jauh. Hingga tak perlu terburu-buru bagai dikejar waktu. Toh meski sudah jadi poros macam Gerindra dan PDIP, waktu pendaftaran capres belum juga dibuka. Dalam konteks ini, baik Gerindra, PDIP dan Golkar sebenarnya pada posisi yang sama.
Seperti apa nanti ending ribut-ribut di internal partai Golkar, layak kita tunggu bersama. Yang jelas, masalah ini PR berat bagi Airlangga Hartarto. Selain harus membawa diri sendiri untuk sukses jadi kandidat yang ikut daftar Pilpres 2024 ke KPU, waktu yang diberikan oleh para pengusul wacana Munaslub tidak begitu lama. Hanya sampai bulan Agustus saja.