Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Melihat Urgensi Munaslub Golkar Setelah Kericuhan Diskusi GMPG

27 Juli 2023   11:20 Diperbarui: 28 Juli 2023   07:00 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen DPP Partai Golkar via KOMPAS.com

Partai Golkar lagi oleng. Sang Ketua Umum Airlangga Hartarto jadi sorotan. Bahkan hingga ada wacana Munas Luar Biasa atau Munaslub. Adalah anggota Dewan Pakar bernama Ridwan Hisjam yang menjadi motor wacana ini. Penyebabnya terkait Pilpres 2024. Airlangga di anggap kurang cepat. Hingga sampai sekarang belum mampu membuat Golkar eksis sebagai poros seperti Gerindra dan PDIP.

Mungkin merasa prihatin atas kondisi Golkar saat ini, sekelompok anak muda yang tergabung dalam Generasi Muda Partai Golkar atau GMPG inisiatif mengadakan diskusi di Jakarta. Tema yang diangkat adalah “Selamatkan Partai Golkar Menuju Kemenangan Pileg 2024”. Rencananya akan dihadiri oleh Ridwan Hisjam, Andi Sinulingga, Max Richard Krey, Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno dll.

Tapi diskusi generasi muda partai golkar ricuh. Bahkan saat kericuhan ada wartawan kena pukul oleh orang tak dikenal yang secara tiba-tiba masuk ke dalam area tempat diskusi. Yang kena pukul diantaranya juga ada kameramen Kompas TV, pada saat tengah merekam perdebatan antara orang tak dikenal ini dengan pihak penyelenggara diskusi.

Akhirnya, diskusi generasi muda Golkar batal. Saat ditanya beberapa wartawan soal kasus kericuhan tadi, pasca hadir pada Rapat terbatas di Istana Kepresidenan Rabu 27 Juli 2023 kemarin, Airlangga Hartarto hanya menjawab “belum monitor”. Ketika ditanya lagi tentang kondisi Partai Golkar sekarang ini, lagi-lagi Airlangga tak memberi penjelasan detail. Ia hanya mengatakan “aman terkendali”.

Meski berusaha ditutup-tutupi oleh Airlangga, namun serangkaian peristiwa yang sedang menimpa Golkar belakangan membawa pesan kurang baik di kalangan publik. Bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam parpol peninggalan Orde Baru ini. Hingga muncul wacana Munaslub. Kalau jajaran elit Golkar tak juga mencari solusi, khususnya Airlangga sendiri, kedepan bisa tambah runyam.

Diskusi GMPG Ricuh, Wartawan Ada Yang Dipukul, Sumber Foto Kompas.com
Diskusi GMPG Ricuh, Wartawan Ada Yang Dipukul, Sumber Foto Kompas.com

Menilik sejarah, Munaslub sebenarnya bukan sesuatu yang asing bagi Golkar. Partai ini dua kali pernah mengalaminya. Yaitu ketika ada pergantian Ketua Umum dari Aburizal Bakrie (2009-2014) ke Agung Laksono (2014-2017), lalu ke Setya Novanto (2016-2017). Saat itu, terjadi gejolak internal imbas ilpres 2014. Di Golkar terjadi kepengurusan ganda. Yang dipegang oleh Aburizal dan Agung Laksono.

Gejolak internal bisa selesai, setelah diadakan Munaslub. Yang kemudian memilih Setya Novanto jadi Ketua Umum. Namun lagi-lagi Munaslub Golkar harus digelar oleh DPP. Karena Setya Novanto terjerat kasus pidana dan ditangkap oleh KPK. Setelah ada putusan tetap dari pengadilan, Munaslub “kedua” akhirnya tergelar juga. Pada momen ini, Golkar sepakat menjadikan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum.

Itu berarti, andaikan wacana Munaslub yang digaungkan oleh Ridwan Hisjam dkk benar-benar terwujud, bisa dianggap mengulangi sejarah yang pernah terjadi sebelumnya. Maka kalau melihat fakta ini, Munaslub adalah sesuatu yang biasa. Tak perlu ditakuti. Sebab merupakan suatu mekanisme yang memang sudah diatur dalam AD ART Partai Golkar.

Apalagi, isu yang dikembangkan sebagai alasan digelarnya Munaslub kelihatan masuk akal. Menyambut perhelatan Pilpres 2024, Golkar belum maksimal menunjukkan eksistensi. Padahal, sebagai partai besar mestinya Golkar sudah leading menjadi poros, sebagaimana yang sudah diraih oleh Gerindra dan PDIP. Faktanya, hingga saat ini Golkar belum mendapatkan labuhan. Kalah sama Nasdem yang sukses menggandeng Demokrat dan PKS.

Selain itu, fakta menurunnya jumlah kursi di Senayan pada setiap gelaran pileg juga patut dipertimbangkan.

Saya amati selama masa reformasi, prestasi terbaik Partai Golkar adalah ketika Jusuf Kalla jadi Ketua Umum (2004-2009) menggantikan Akbar Tanjung (1998-2004). Jusuf Kalla sukses membawa Partai Golkar jadi ranking pertama pileg 2004. Mendapat kursi sebanyak 127. Sedang di pileg 1999 jaman Akbar Tanjung cuma 120, ranking kedua.

Pileg-pileg berikutnya suara Golkar terus menunjukkan tren penurunan. Meski tetap ada di ranking kedua. Zaman Aburizal Bakrie (2009-2014) pileg 2009 turun jadi 106.

Lalu pada pileg 2014, Golkar harus turun lagi, cuma dapat 91. Dan pada saat Golkar dipegang oleh Airlangga Hartarto pada gelaran pileg 2019, jumlah kursi Golkar di senayan hanya 85 saja. Kapan hari, tren jumlah kursi yang terus turun ini juga menjadi perhatian serius para sesepuh partai ini.

Ke depan, para sesepuh dan elite Golkar layak mengadakan evaluasi besar-besaran. Terutama di sektor sumber daya dan soliditas kader. Saya tak hendak mempertanyakan kapasitas Aburizal Bakrie dan Airlangga Hartarto.

Saya akui, mereka berdua adalah politisi kawakan yang sudah cukup lama malang melintang di dunia politik. Tapi adanya tren penurunan suara di era mereka, tak juga harus di nafikkan. Penurunan suara adalah fakta.

Selain itu, soliditas kader nampaknya harus ditata kembali. Mengapa? Karena dari dua konflik yang pernah terjadi dan kemudian berujung pada wacana Munaslub, penyebabnya bukan datang dari luar partai Golkar, melainkan dari dalam Golkar sendiri. Kecuali saat mengganti Setya Novanto yang disebabkan oleh kasus pidana, pada Munaslub “pertama” dan yang sekarang diwacanakan oleh Ridwan Hisjam dkk, semuanya dipicu oleh masalah konflik internal.

Saat Munaslub pertama, terjadi perebutan kekuasaan antara Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono. Karena beda sikap Pasca Jokowi terpilih menjadi Presiden setelah menang pertarungan melawan Prabowo pada Pilpres 2014. Satunya ingin berada di luar. Sementara satunya lagi ingin masuk kedalam menjadi mitra Presiden Jokowi. Perkembangan berikutnya menunjukkan fakta Golkar berkoalisi dengan pemerintah.

Munaslub yang diwacanakan sekarang, juga akibat soliditas kader. Di internal Golkar muncul sikap berbeda menghadapi Pilpres 2024. Kelompok Ridwan Hisjam dkk melihat Golkar di bawah Airlangga kurang greget. Belum maksimal mengupayakan amanat Munas untuk mendorong Ketua Umum jadi capres. Padahal, pemilu bukannya makin jauh. Tapi justru tambah mendekat.

Sebaliknya bagi Airlangga sendiri dan kelompoknya, dalam pandangan saya, Ketua Umum Golkar ini mungkin menganggap Pilpres 2024 masih jauh. Hingga tak perlu terburu-buru bagai dikejar waktu. Toh meski sudah jadi poros macam Gerindra dan PDIP, waktu pendaftaran capres belum juga dibuka. Dalam konteks ini, baik Gerindra, PDIP dan Golkar sebenarnya pada posisi yang sama.

Seperti apa nanti ending ribut-ribut di internal partai Golkar, layak kita tunggu bersama. Yang jelas, masalah ini PR berat bagi Airlangga Hartarto. Selain harus membawa diri sendiri untuk sukses jadi kandidat yang ikut daftar Pilpres 2024 ke KPU, waktu yang diberikan oleh para pengusul wacana Munaslub tidak begitu lama. Hanya sampai bulan Agustus saja.

Mampukah Airlangga keluar dari lubang jarum?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun