Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Intip Maksud Demokrat Nyatakan Bisa Gabung ke Gerindra

22 Juli 2023   08:42 Diperbarui: 22 Juli 2023   08:47 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekjen Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya bersama Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani di Kantor DPP Demokrat Jakarta, Sumber Foto Kompas.com

Kemarin, elit partai Demokrat  dan Gerindra ketemu. Hasilnya, akan menjalin kerjasama pada pilpres putaran kedua, jika salah satu diantara tiga pasang kandidat gugur. Melihat ini, saya ada beberapa pertanyaan. Bukankah Demokrat sudah bergabung ke Nasdem mencapreskan Anies Baswedan.? Lalu apa maksud Demokrat bisa jalin kerjasama di putaran kedua..? Atau jangan -jangan merupakan upaya membuka peluang sebagai opsi pilihan kedua.?

Naah, pertanyaan terakhir itu yang justru lebih mengental. Mengingat ada perkembangan terkini yang membuat Demokrat semakin ragu untuk tetap berkawan dengan Nasdem. Lagi-lagi ya masalah figur cawapres. Bahkan, polemik soal pendamping Anies ini sekarang malah lebih masuk kedalam. Bukan hanya sekedar di luaran. Sebuah kondisi yang sungguh sangat mengkhawatirkan.

Anda tahu, selang satu hari pasca pertemuan Demokrat dan Gerindra, petinggi Nasdem menyampaikan kritik terhadap capresnya sendiri. Ya benar. Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali keberatan tentang kriteria baru cawapres yang disampaikan Anies. Bahwa kandidat untuk posisi ini harus memiliki latar belakang bebas dari catatan hukum apapun.

Disarikan dari tayangan Kompas.com 21 Juli 2023 Ahmad Ali berpendapat, bahwa Anies tidak perlu membuat kriteria untuk menentukan wakil. Yang punya kapasitas untuk itu adalah partai politik. Dalam upaya mencari figur, Anies sebaiknya tetap berpatokan pada kriteria yang sudah tertulis di dokumen nota kerjasama koalisi. Bukan malah menyodorkan kriteria tambahan.

Lagi-lagi, keberatan Ahmad Ali tersebut memunculkan pertanyaan. Apakah harus sejauh itu sikapnya menanggapi kriteria cawapres Anies, menyampaikannya ke publik lewat media dan tidak secara langsung face to face ketemu yang bersangkutan..? Apakah tidak justru membingungkan, baik dikalangan umum para pendukung Anies diluaran sana, maupun di internal koalisi mereka sendiri..?

Ingat, dulu saat pertama kali di umumkan sebagai capres partai Nasdem, melalui Ketua Umumnya Surya Paloh Anies diberi kewenangan menentukan sendiri figur cawapres. Ini berarti, Anies pula yang akan mencari dan memilih nama. Maka ketika Anies membuat kriteria, meski seumpama memang sudah ada, ya tidak bisa disalahkan. Ini adalah sesuatu yang wajar.

Bahkan pada skala tertentu bisa dikatakan wajib. Sebab mencari kandidat cawapres bukan perkara mudah. Eksistensinya sangat berpengaruh pada posisi capres. Jika ada catatan hukum, sedikit banyak Anies akan kena senggol. Bahkan dapat dijadikan isu negatif sejak sekarang hingga habis masa kampanye nanti. Sudah betul sebenarnya langkah Anies. Kok malah di gugat..?

Saya lalu berspekulasi. Jangan-jangan Nasdem memang tak setuju terhadap pilihan Anies tentang sosok cawapres, yang kabarnya sudah ada di kantong Anies. Akibatnya terjadi tarik menarik. Ahmad Ali kemudian merasa perlu untuk mengungkapkannya ke publik. Agar ada kontrol terhadap Anies. Meski sudah diberi otoritas menentukan sendiri, tak berarti Anies harus menafikkan keberadaan Partai Nasdem.

Kalau memang begitu, maka ada benarnya prediksi saya pada beberapa tulisan sebelumnya di forum Kompasiana ini. Apa itu..? Nasdem ingin mendominasi gerak, langkah dan keputusan di Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP yang dibentuk bersama Demokrat dan PKS. Lebih jauh, Nasdem ingin melakukan kooptasi terhadap kandidat cawapres dari Anies. Termasuk juga dari Demokrat dan PKS.

Naah, para petinggi Demokrat, dan saya yakin juga di PKS, nampaknya melihat berbagai gejala itu. Apalagi, usaha Demokrat untuk menyodorkan Ketua Umumnya Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY, tak juga mendapat tanggapan dari Nasdem. Kesimpulannya kemudian, akibat ulah Nasdem AHY dipandang berat untuk dipaksakan masuk jadi cawapres Anies.

Maka daripada tak dapat posisi sebagai kandidat RI-2, ditambah rasa khawatir Nasdem ingin jadi penguasa tunggal di KPP, dan ada kemungkinan berlanjut hingga saat penyusunan kabinet jika Anies menang pilpres 2024 kelak, Demokrat memandang perlu untuk melakukan antisipasi. Ambil ancang-ancang merapat ke Gerindra. Agar juga bisa memiliki peran dan meraih sukses di pemilu 2024.

Dan itu wajar. Namanya juga proses yang berlangsung di dunia politik. Apalagi memasuki tahapan sekarang. Dimana waktu pelaksanaan pemilu berjalan tambah dekat, bukan makin jauh. Maka gerak cepat Demokrat untuk merapat ke Partai Gerindra amat diperlukan. Dan ini sudah benar. Karena parpol "milik" Prabowo Subianto ini merupakan salah satu diantara tiga poros yang sementara ini ada.

Pikir Demokrat, ya kalau KPP terus lanjut. Lha kalau bubar..?  Dimana menemukan cantolan untuk ikut pilpres 2024..? Jangan sampai Demokrat ada di posisi seperti Golkar saat ini. Di himpit oleh persoalan internal, hingga muncul wacana Munaslub cuma gara-gara ketinggalan kereta. Alias kehilangan momentum tak juga mampu membentuk atau bergabung ke satu koalisi.

Sekedar flashback, di internal Partai Golkar sedang terjadi gejolak. Ketua Umumnya Airlangga Hartarto di gugat oleh kadernya sendiri. Karena dianggap tak mampu mengemban amanat untuk mengusung Airlangga jadi capres. Meski relatif sudah bisa diredam, bukan berarti urusan selesai. Ingat, dalam kontesk pilpres 2024 posisi Golkar saat ini masih sendirian.

Posisi sendirian tersebut, bisa di alami oleh Partai Demokrat andai KPP benar-benar bubar. Dan fenomena tak bagus ini di cermati betul oleh para petinggi Demokrat. Sekarang tinggal tunggu dan lihat perkembangan kedepan. Seperti apa faktanya..? Jika KPP masih eksis hingga pendaftaran pilpres, saya yakin Demokrat tetap bersama Nasdem dan PKS. Tapi kalau KPP bubar, Demokrat akan segera susun strategi pemilu 2024 baru.

Adapun dua poros lain, yakni PDIP yang sudah bersama PPP, Hanura dan Perindo mencapreskan Ganjar Pranowo, serta Gerindra PKB di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR yang mengusung Prabowo Subianto, tinggal menunggu fakta baru yang akan terjadi di KPP. Bubar atau tidak..? Bubar bisa mempertimbangkan Demokrat untuk diajak gabung. Tidak ya tak apa-apa. Kontestasi akan lanjut ke rebutan vox pop.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun