pilpres 2024. Sebagian kader melihat, pucuk pimpinan kurang “greget” memacu lari organisasi untuk balapan lawan partai lain. Akibatnya, agak keteteran dibelakang. Motor penggerak hingga Golkar panas adalah kader Senior Ridwan Hisjam. Juga ada nama Lawrence Siburian.
Kondisi Partai Golkar lagi panas. Penyebabnya, apalagi kalau bukan karena imbasBaik Ridwan maupun Lawrence sudah dipanggil oleh Mohammad Hatta, selaku Ketua Dewan Etik Partai Golkar. Sebuah lembaga yang memang diberi tugas dan tanggung jawab menyidang anggota, jika ada indikasi melanggar kode etik. Pemanggilan keduanya, dilakukan atas dugaan ingin melengserkan Ketua Umum Airlangga Hartarto. Ternyata, hasil klarifikasi Dewan Etik tidak menunjukkan arah kesitu.
Tapi yang jelas, gonjang ganjing di internal Partai Pohon Beringin tersebut tak bisa menyembunyikan fakta adanya “goyangan” terhadap Airlangga. Seorang kader senior dan juga sekaligus merupakan pucuk pimpinan yang diberi amanat oleh Musyawarah Nasional tahun 2019 untuk jadi capres. Naah, amanat ini yang hingga sekarang dianggap tak jelas dimata sebagian kader.
Mungkin karena sudah mentok, kapan hari Dewan Pakar Partai Golkar sampai kasih ultimatum. Mendesak Airlangga untuk segera menentukan sikap terkait pilpres 2024. Kalau perlu membentuk poros baru diluar yang sudah ada sekarang ini. Batas waktunya maksimal bulan Agustus 2023 mendatang. Kalau tidak, bakal digelar Musyawarah Luar Biasa atau Munaslub.
Menilik isi AD ART Partai Golkar pasal 39, Munaslub bisa digelar oleh karena dua sebab. Pertama, partai dalam keadaan terancam atau menghadapi hal ihwal kegentingan yang memaksa. Kedua, DPP melanggar AD ART, atau DPP tidak dapat melaksanakan amanat musyawarah nasional sehingga organisasi tidak berjalan sesuai dengan fungsinya.
Apakah kiprah Airlangga yang merupakan komandan DPP sudah dinilai memenuhi syarat untuk dilaksanakan munaslub, mengingat hingga sampai detik ini tak dapat membawa Partai Golkar menunjukkan eksistensinya pada perhelatan pilpres 2024 seperti Partai lain..? Bisa jadi demikian. Airlangga memang belum berhasil menjadikan partai Golkar sebagai poros. Padahal merupakan pemenang ketiga pileg 2019.
Coba kita lihat beberapa fakta di parpol lain berikut ini. PDIP dan Gerindra yang merupakan pemenang satu dan dua, sudah fix jadi “ketua” Pilpres. PDIP yang mengusung capres Ganjar Pranowo, berhasil menarik PPP, Hanura dan Perindo jadi anggota. Sementara Gerindra yang mencapreskan Prabowo Subianto, sukses menggaet PKB membentuk Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya atau KKIR.
Fakta tersebut mungkin dianggap wajar. Mengingat suara PDIP dan Gerindra ada di atas Golkar. Tapi kalau dihadapkan pada Nasdem, nampaknya masuk akal wacana sebagian kader untuk menggelar Munaslub. Lha bagaimana tidak, Nasdem yang hanya ada di ranking kelima saja, mampu membentuk Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP bersama Demokrat dan PKS. Sementara Golkar..?
Itu masih satu sisi kondisi Golkar dibawah kepemimpinan Airlangga Hartarto per hari ini. Padahal masih ada sisi lain. Yang nampaknya juga berpotensi jadi ganjalan terhadap eksistensi Golkar. Menjadikan partai warisan Orde Baru ini harus berpikir keras untuk menemukan strategi baru. Agar mampu seperti PDIP dan Gerindra. Serta tidak malu melihat posisi Nasdem
Anda tahu, pada Selasa 18 Juli 2023 kemarin, ada berita aktual Airlangga dipanggil oleh Kejaksaan Agung dalam kaitannya dengan kasus ekspor cpo minyak sawit. Anda tahu pula, itu sudah merupakan panggilan kedua, dimana sebelumnya Airlangga Hartarto mangkir. Fakta ini bukan berarti lalu memvonis Airlangga terlibat dalam korupsi. Tidak ya. Tapi kalau sekedar menyampaikan indikasi, bahwa Airlangga terkait dengan kasus hukum, nampaknya boleh-boleh saja.
Sedikit banyak, pemanggilan Airlangga Hartarto oleh Kejaksaan dapat menggangu proses pembentukan poros baru bagi Golkar. Minimal dari segi waktu. Terbuang percuma hanya demi memberi kesempatan kepada Airlangga untuk menyelesaikan masalah hukum. Padahal, waktu menuju pilpres 2024 makin dekat, bukan makin jauh. Apalagi jika soal di Kejaksaan Agung itu alot. Jelas menghambat lobby Golkar kepada partai lain.
Enam bulan kedepan, pemilu 2024 yang dilaksankaan serentak bersamaan dengan pilpres sudah didepan mata. Untuk bisa ikut, kiranya Golkar perlu menyusun strategi pemilu 2024 baru. Dalam rangka mencari teman karena suaranya tak cukup minimal 20 persen. Sementara fakta menunjukkan, bahwa saat ini Golkar masih sendirian. Setelah gerbongnya yang dibentuk bersama PPP dan PAN bernama Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB bubar di tengah jalan.
Lalu kemana Golkar akan berlabuh..? Pada masa sekarang, untuk bisa dapat teman Golkar tak bisa muluk-muluk kudu dapat capres atau cawapres. Mengapa, karena menurut saya sudah agak terlambat. Bisa maksa, tapi harus mampu membongkar formasi yang sudah agak paten diputuskan oleh masing-masing poros. Bisakah..? Mari kita lihat.
Misal ajak Gerindra yang sudah ada di KKIR bersama PKB. Lalu Golkar minta jatah bakal capres. Ini jelas tak mungkin. Disamping karena kalah suara, dari awal Gerindra sudah paten mencapreskan Prabowo. Minta cawapres, terbendung oleh otoritas yang diberikan oleh Prabowo kepada Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Bahwa soal nama pendamping Prabowo diserahkan sepenuhnya pada Ketum PKB ini. Tentu, figus cawapres di KKIR akan diambil sendiri.
Mau ke KPP..? Bisa jadi. Tapi Golkar jangan maksa untuk gantikan posisi Anies Baswedan dengan Airlangga Hartarto sebagai bakal capres. Atau minta bakal cawapres dari tangan Demokrat maupun PKS. Bisa bubar KPP ini. Boleh gabung ke KPP, asal mau duduk di gerbong berikutnya. Artinya, maksimal hanya dapat posisi di jajaran kementerian. Itupun kelak jika Anies menang rebutan vox pop.
Maka kalau masih ingin eksis sebagai peserta pilpres yang kadernya masuk kandidat, ada jalan terakhir melobby Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri. Tentu untuk posisi bakal cawapres pendamping Ganjar Pranowo. Tapi kelihatannya juga sulit. Sebab di lingkungan PDIP sudah beredar figur lain. Misal Sandiaga Uno dan Erik Thohir. Belakangan malah tambah nama mantan Panglima TNI Andika Perkasa.
Beberapa uraian diatas menguatkan indikasi kurang bagus bagi Partai Golkar. Baik sebagai pengusung maupun pendukung yang ingin kadernya masuk jadi kandidat pada pilpres 2024. Kalau hanya sebagai pendukung biasa yang nanti “cuma” dapat jatah Menteri macam di KPP tadi, rasanya mudah. Cukup merapat ke poros yang sudah ada di PDIP, KKIR atau KPP, selesai urusan. Tapi, apakah cuma itu target Partai Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto sekarang ini..?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H