Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mengapa Generasi Muda Enggan Terjun ke Dunia Politik?

18 Juli 2023   12:41 Diperbarui: 19 Juli 2023   04:22 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Generasi Muda Terjun ke Dunia Politik. (Sumber Foto Kompas/Hendra A. Setiawan)

Kompas mengadakan survei nasional tentang minat dan kepedulian generasi muda usia 24-40 tahun terhadap politik. Hasilnya, ternyata cukup rendah. Bahkan, yang berada pada rentang usia di bawah 23 tahun, memiliki tingkat ketidakpercayaan yang agak dominan terhadap dunia politik (Kompas, edisi 18 Juli 2023). 

Ke depan, fakta ini tentu masalah bagi kelangsungan pemerintahan di negeri ini

Ingat, pimpinan negara dan pejabat nomor satu di semua tingkatan mensyaratkan harus seorang "politisi" yang disuplai oleh partai politik. Kalau generasi muda atau milenial sudah tak tertarik lagi jadi politisi, bahkan baca berita politik saja muak, pasti ada sesuatu yang salah. 

Dampaknya, negara kita bisa kekurangan stok pemimpin. Lalu siapa yang akan meneruskan pegang tongkat estafet para generasi tua atau "kolonial"? Kalau tidak ada, organisasi pemerintahan jadi ambruk.

Banyak faktor mengapa politik tak menarik bagi generasi milenial. Hingga menciptakan ruang sempit kaum muda dalam politik. Saat ini, yang paling dominan adalah soal citra.

Betapa mengerikannya terjun kedunia politik. Menjadi jujukan caci maki masyarakat dan kadang berakhir atau pensiun sebagai mantan narapidana karena kedapatan mencuri uang negara. Juga tak ada kepastian secara ekonomi.

Saking minimnya minat generasi muda untuk berkarier didunia politik, kapan hari sampai muncul gagasan tentang pembatasan masa jabaran Ketua Umum partai politik. 

Baik secara usia macam pensiunnya para PNS. Maupun secara periode sebagaimana batasan dua kali jabatan presiden, gubernur dan bupati. Ini artinya, upaya menciptakan ruang politik milenial dinegara kita saat ini amat sulit. Hingga butuh dipaksa pakai regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Paksaan demikian mirip keterwakilan perempuan di parlemen dulu. Begitu minim jumlah legislator jenis kelamin wanita yang duduk di gedung parlemen, hingga pemerintah perlu menerbitkan UU. Nomor 12/2003 tentang Pemilu DPR dan DPRD. 

Yang isinya antara lain kewajiban parpol memenuhi kuota 30 persen perempuan di daftar caleg. Hasilnya sangat baik. Jumlah legislator perempuan langsung naik signifikan. Hanya 9.0 persen saat Pileg 1999, melonjak jadi 11 persen pada pileg 2004.

Nampaknya, menciptakan ruang politik milenial perlu ada paksaan juga. Alias harus ada campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi macam kuota 30 persen tadi. 

Disinyalir, terciptanya ruang politik yang sempit bagi generasi muda akibat yg tua-tua atau generasi kolonial di atas tadi tak mau melepas jabatan. Mungkin keenakan duduk di kursi empuk. Hingga lupa memikirkan nasib adik-adiknya.

Tapi dipaksa dengan cara meniru kuota 30 persen perempuan tak dapat digeneralisir. Perlu ada pemilahan. Untuk jabatan politik di pemerintahan, yang dilahirkan lewat proses pemilu macam legislator, presiden, gubernur dan bupati, boleh jadi. Misal, yang berhak maju sebagai calon maksimal berumur 55 tahun dan minimal 20 tahun. 

Jika aturan ini berlaku, dipastikan ruang politik milenial akan tercipta dengan sendirinya. Dampaknya nanti, para pejabat kita dijamin masih fresh. Baik secara fisik maupun pemikiran.

Namun, aturan paksaan demikian tak bisa diterapkan untuk jabatan internal parpol. Seperti Ketua Umum, Sekjen dan semua jajaran dibawahnya. Mengapa, karena partai politik tidak termasuk struktur birokrasi pemerintah. 

Kalau dipaksakan, justru rawan terjadi penyimpangan. Dapat dijadikan alat oleh penguasa negara, untuk menekan atau intervensi terhadap kebijakan legislator yang asal muasalnya dari parpol. Jadinya, kontrol terhadap eksekutif lemah.

Selain menerbitkan regulasi yang bisa membuka ruang bagi kiprah generasi muda di dunia politik, jalan lain adalah dengan cara menguatkan daya tarik berkarir di dunia politik secara positif dari segi biaya. 

Berpijak pada pengalaman yang ada, selama ini dunia politik terkenal mahal. Untuk bisa menjadi pejabat, baik di internal partai macam Ketua Umum, maupun di pemerintahan macam presiden, gubernur dan bupati, seorang politisi wajib menyiapkan dana sangat besar.

Akibatnya, profesi sebagai politisi di stigma kurang menjanjikan. Bagai berjudi di Las Vegas atau Pulau Macau. Ya kalau menang. Tapi kalau kalah. Bisa-bisa habis dana tabungan yang sebenarnya disiapkan untuk menikmati masa-masa pensiun. Ini bagi mereka yang berduit. Namun bagaimana bagi yang tak punya uang. Suram masa depan, karena tak punya modal.

Mungkin maksa cari pinjaman atau jual harta warisan seperti sawah atau rumah sebagai modal. Ini pun belum tentu ada kepastian. Anggap saja menang rebutan vox pop. Selesai..? Tidak. Sebab masih harus berpikir bagaimana cara mengembalikan harta benda yang ludes karena dijadikan modal nyalon. 

Sementara pada sisi lain, tak ada aturan formal seorang pejabat internal partai mendapat honor. Lalu gaji legislator, presiden, gubernur dan bupati, jelas tak cukup buat mengganti modal yang telah dikeluarkan.

Maka tak salah kemudian muncul fenomena sangat miris. Naudzubillah, para pejabat yang terpilih lewat rebutan vox pop, sering berakhir di penjara. Karena diputus bersalah oleh pengadilan. 

Setelah kena OTT KPK akibat nyuri uang negara. Sehingga, pasca menjabat bukannya enak-enak menikmati masa pensiun bersama istri, anak, dan cucu. Tapi dapat gelar baru bernama narapidana. Fakta berbagai kasus ini, lagi-lagi menjadikan dunia politik amat menakutkan bagi generasi muda.

Ada solusi mengatasi tingginya biaya anak muda berpolitik yang kemudian melahirkan dampak negatif itu. Bagaimana caranya..? 

Lembaga pendidikan tinggi khususnya jurusan ilmu politik, yang kelak diharapkan dapat melahirkan para pejabat berkualitas tinggi, baik dari segi kinerja maupun moral, menerapkan kurikulum pengabdian masyarakat yang lebih banyak porsinya, ketimbang teori di ruang kelas.

Dengan kurikulum seperti itu, jalan lempang politik kaum muda guna mencetak calon pejabat yang sejak dini dihadapkan pada kenyataan yang terjadi diluar kampus, menemukan medianya. 

Bagaimana lewat empati, mereka jadi pendamping. Dan berbekal kapasitas, mencari solusi atas masalah-masalah yang ada dan menjadi kebutuhan masyarakat. Kelak ketika nyalon, kiprah ini akan membekas dan diketahui publik. Hingga tak perlu cost besar untuk menang rebutan vox pop.

Berikutnya, saat menjabat tak lagi kemaruk main keruk uang negara. Sebab ketika sedang menjalankan kewajiban kurikulum mengabdi cukup lama di tengah masyarakat, ikut pula merasakan pahit getirnya kehidupan. 

Jadinya, begitu muncul godaan setan untuk korupsi, hatinya tergerak jadi penolong. Bahwa uang negara itu bukan untuk diembat. Tapi di distribusikan kepada rakyat buat pembangunan.

Sementara itu, untuk anak muda yang tak kuliah di jurusan politik tapi ingin jadi pejabat, sebaiknya didahului pendidikan macam kurikulum pendidikan tinggi tadi. Yaitu pengabdian masyarakat. Kalau perlu, ini jadi syarat dalam bentuk regulasi yang diketok sebagai undang-undang. 

Agar penguasa yang duduk sebagai pengurus parpol maupun pejabat negara, memiliki kemampuan dan mental mumpuni sebagaimana gambaran tadi. Dengan kata lain, integritasnya dapat dipertanggungjawabkan.

Demikian sekelumit ulasan bagaimana mencetak politisi muda. Mencermati fenomena belakangan, yang menjadikan profesi selain politik sebagai pilihan utama, patut menjadi keprihatinan kita bersama. Terutama pejabat internal parpol dan pemerintah. 

Para generasi "kolonial" yang pegang kuasa di parpol, sejak sekarang harus segera berupaya menciptakan regenerasi politik. Sementara pemerintah, wajib menyiapkan payung hukum terhadap upaya regenerasi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun