Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Mengapa Generasi Muda Enggan Terjun ke Dunia Politik?

18 Juli 2023   12:41 Diperbarui: 19 Juli 2023   04:22 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Generasi Muda Terjun ke Dunia Politik. (Sumber Foto Kompas/Hendra A. Setiawan)

Nampaknya, menciptakan ruang politik milenial perlu ada paksaan juga. Alias harus ada campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi macam kuota 30 persen tadi. 

Disinyalir, terciptanya ruang politik yang sempit bagi generasi muda akibat yg tua-tua atau generasi kolonial di atas tadi tak mau melepas jabatan. Mungkin keenakan duduk di kursi empuk. Hingga lupa memikirkan nasib adik-adiknya.

Tapi dipaksa dengan cara meniru kuota 30 persen perempuan tak dapat digeneralisir. Perlu ada pemilahan. Untuk jabatan politik di pemerintahan, yang dilahirkan lewat proses pemilu macam legislator, presiden, gubernur dan bupati, boleh jadi. Misal, yang berhak maju sebagai calon maksimal berumur 55 tahun dan minimal 20 tahun. 

Jika aturan ini berlaku, dipastikan ruang politik milenial akan tercipta dengan sendirinya. Dampaknya nanti, para pejabat kita dijamin masih fresh. Baik secara fisik maupun pemikiran.

Namun, aturan paksaan demikian tak bisa diterapkan untuk jabatan internal parpol. Seperti Ketua Umum, Sekjen dan semua jajaran dibawahnya. Mengapa, karena partai politik tidak termasuk struktur birokrasi pemerintah. 

Kalau dipaksakan, justru rawan terjadi penyimpangan. Dapat dijadikan alat oleh penguasa negara, untuk menekan atau intervensi terhadap kebijakan legislator yang asal muasalnya dari parpol. Jadinya, kontrol terhadap eksekutif lemah.

Selain menerbitkan regulasi yang bisa membuka ruang bagi kiprah generasi muda di dunia politik, jalan lain adalah dengan cara menguatkan daya tarik berkarir di dunia politik secara positif dari segi biaya. 

Berpijak pada pengalaman yang ada, selama ini dunia politik terkenal mahal. Untuk bisa menjadi pejabat, baik di internal partai macam Ketua Umum, maupun di pemerintahan macam presiden, gubernur dan bupati, seorang politisi wajib menyiapkan dana sangat besar.

Akibatnya, profesi sebagai politisi di stigma kurang menjanjikan. Bagai berjudi di Las Vegas atau Pulau Macau. Ya kalau menang. Tapi kalau kalah. Bisa-bisa habis dana tabungan yang sebenarnya disiapkan untuk menikmati masa-masa pensiun. Ini bagi mereka yang berduit. Namun bagaimana bagi yang tak punya uang. Suram masa depan, karena tak punya modal.

Mungkin maksa cari pinjaman atau jual harta warisan seperti sawah atau rumah sebagai modal. Ini pun belum tentu ada kepastian. Anggap saja menang rebutan vox pop. Selesai..? Tidak. Sebab masih harus berpikir bagaimana cara mengembalikan harta benda yang ludes karena dijadikan modal nyalon. 

Sementara pada sisi lain, tak ada aturan formal seorang pejabat internal partai mendapat honor. Lalu gaji legislator, presiden, gubernur dan bupati, jelas tak cukup buat mengganti modal yang telah dikeluarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun