Nampaknya, menciptakan ruang politik milenial perlu ada paksaan juga. Alias harus ada campur tangan pemerintah dalam bentuk regulasi macam kuota 30 persen tadi.Â
Disinyalir, terciptanya ruang politik yang sempit bagi generasi muda akibat yg tua-tua atau generasi kolonial di atas tadi tak mau melepas jabatan. Mungkin keenakan duduk di kursi empuk. Hingga lupa memikirkan nasib adik-adiknya.
Tapi dipaksa dengan cara meniru kuota 30 persen perempuan tak dapat digeneralisir. Perlu ada pemilahan. Untuk jabatan politik di pemerintahan, yang dilahirkan lewat proses pemilu macam legislator, presiden, gubernur dan bupati, boleh jadi. Misal, yang berhak maju sebagai calon maksimal berumur 55 tahun dan minimal 20 tahun.Â
Jika aturan ini berlaku, dipastikan ruang politik milenial akan tercipta dengan sendirinya. Dampaknya nanti, para pejabat kita dijamin masih fresh. Baik secara fisik maupun pemikiran.
Namun, aturan paksaan demikian tak bisa diterapkan untuk jabatan internal parpol. Seperti Ketua Umum, Sekjen dan semua jajaran dibawahnya. Mengapa, karena partai politik tidak termasuk struktur birokrasi pemerintah.Â
Kalau dipaksakan, justru rawan terjadi penyimpangan. Dapat dijadikan alat oleh penguasa negara, untuk menekan atau intervensi terhadap kebijakan legislator yang asal muasalnya dari parpol. Jadinya, kontrol terhadap eksekutif lemah.
Selain menerbitkan regulasi yang bisa membuka ruang bagi kiprah generasi muda di dunia politik, jalan lain adalah dengan cara menguatkan daya tarik berkarir di dunia politik secara positif dari segi biaya.Â
Berpijak pada pengalaman yang ada, selama ini dunia politik terkenal mahal. Untuk bisa menjadi pejabat, baik di internal partai macam Ketua Umum, maupun di pemerintahan macam presiden, gubernur dan bupati, seorang politisi wajib menyiapkan dana sangat besar.
Akibatnya, profesi sebagai politisi di stigma kurang menjanjikan. Bagai berjudi di Las Vegas atau Pulau Macau. Ya kalau menang. Tapi kalau kalah. Bisa-bisa habis dana tabungan yang sebenarnya disiapkan untuk menikmati masa-masa pensiun. Ini bagi mereka yang berduit. Namun bagaimana bagi yang tak punya uang. Suram masa depan, karena tak punya modal.
Mungkin maksa cari pinjaman atau jual harta warisan seperti sawah atau rumah sebagai modal. Ini pun belum tentu ada kepastian. Anggap saja menang rebutan vox pop. Selesai..? Tidak. Sebab masih harus berpikir bagaimana cara mengembalikan harta benda yang ludes karena dijadikan modal nyalon.Â
Sementara pada sisi lain, tak ada aturan formal seorang pejabat internal partai mendapat honor. Lalu gaji legislator, presiden, gubernur dan bupati, jelas tak cukup buat mengganti modal yang telah dikeluarkan.