Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Motif Kehadiran Golkar di Apel Siaga Nasdem

17 Juli 2023   09:08 Diperbarui: 17 Juli 2023   09:13 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prediksi saya kemarin meleset. Awalnya, saya perkirakan pada gelaran Apel di GBK hari Minggu 16 Juli 2023 kemarin, Nasdem tak akan undang partai politik diluar anggota Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP, yakni Demokrat dan PKS. Ternyata, di gelaran itu ada Golkar. Diwakili oleh Ketua DPP Christina Aryani, Wakil Ketum Rizal Mallarangeng dan Ketua Bakumham Supriansa.

Dikutip dari berbagai sumber, Wakil Ketua Umum NasDem Ahmad Ali menyatakan kehadiran Golkar tak ada kaitan dengan rencana untuk gabung ke KPP. Itu murni demi menjalin silaturahim. Mengingat Golkar dan Nasdem ada sambungan sejarah. Dimana sebelumnya, Sang Ketum Surya Paloh merupakan kader partai berlambang pohon beringin itu. Juga sebagai pelajaran, kalau perbedaan tak harus memutus komunikasi.

Masih ada kaitan dengan koalisi pilpres, pada situasi berbeda PAN tetap berupaya keras menyodorkan nama Erik Thohir sebaga bakal cawapres buat mendampingi capres PDIP Ganjar Pranowo. Menurut saya itu merupakan sodoran kepentingan. Sebab jika gagal di PDIP, bisa jadi PAN beralih haluan. Bawa nama Erik ke Prabowo sebagai capres Gerindra. Artinya, PAN akan cari koalisi yang bisa mengakomodir posisi Erik sebagai cawapres.

Lalu apakah kehadiran Golkar ke acara di GBK yang diberi tajuk Apel Siaga Perubahan setali tiga uang dengan kepentingan PAN ke PDIP atau Gerindra..? Jawab pastinya akan ketahuan pada perkembangan berikutnya. Namun secara power, peluang Golkar memang lebih besar untuk dapat posisi ketimbang PAN, baik di capres maupun cawapres. Sebab hasil perolehan suara PAN pada pileg 2019 cuma 6.84 persen. Menempati ranking delapan. Sebaliknya Golkar, dapat 12.31. Duduk sebagai pemenang ketiga dibawah Gerindra dan PDIP.

Ya begitulah dalam politik. Selalu tak jauh dari persepsi negatif. Bahwa tak ada lawan atau kawan abadi, kecuali kepentingan abadi. Dan ini yang terjadi sekarang. Golkar dan PAN, juga PPP, sebelumnya jadi satu di Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB. Kini ketiganya pecah. Masing-masing cari labuhan sendiri-sendiri. Guna mendapatkan posisi terbaik. Yang besar macam Golkar ingin capres. Sementara PPP dan PAN yang kecil, cukup dapat cawapres.

Cuma, meski peluangnya lebih besar ketimbang PAN, tak mudah juga bagi Golkar untuk memperjuangkan kepentingannya dapat capres. Sebab dari ketiga poros yang ada, masing-masing sudah mengunci bakal capres. Koalisi Perubahan untuk Persatuan atau KPP milik Nasdem, Demokrat, PKS kukuh membawa nama Anies Baswedan. Lalu di KKIR atau Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya besutan Gerindra PKB sudah mantap membawa Prabowo jadi penerus Jokowi sebagai presiden.

Di PDIP apalagi. Telah diputuskan oleh Sang Ketum Megawati Soekarno Putri untuk mendaftarkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo jadi capres. Gak tahu kalau Golkar di cawapres. Nampaknya, di posisi level kedua ini agak terbuka. Meskipun tentunya harus bersaing dengan PPP yan sudah lebih dulu masuk ke PDIP. Dan berharap kadernya yang baru Sandiaga Uno duduk terpilih sebagai pendamping Ganjar.

Namun, apakah PPP legowo menerima kehadiran parpol "baru" di PDIP bernama Golkar yang dulu tak lain tak bukan merupakan teman se koalisi..? Saya kira tidak. Meski suaranya kecil, PPP akan mati-matian mengamankan posisi Sandiaga. Agar tak bergeser dari nominasi PDIP sebagai cawapres Ganjar. Bila perlu, berjuang habis-habisan. "Hingga tetes darah yang terakhir".

PAN saja, yang sudah menyatakan niat akan gabung ke PDIP jika Erik Thohir jadi bakal cawapres Ganjar, disindir keras oleh PPP. Disarikan dari Kompas.com 16 Juli 2023, Sekjen PPP Arwani Thomafi sebut PAN harus antre lebih dulu. Arwani ingin menegaskan, masuk duluan, berarti ada di nomor urut terdepan. Masuk belakangan, ya harus rela berdiri di nomor dua. Jangan mau enaknya sendiri. Nyodok kedepan rebut posisi orang.

Tapi masalahnya, kekuatan Golkar jauh di atas PAN. Melihat ini, tentu jadi bahan tersendiri bagi PDIP. Artinya, sindiran PPP diatas bisa jadi akan manjur dijadikan sebagai pertimbangan menolak keinginan PAN. Tapi jika PPP mengarahkannya ke Golkar, tunggu dulu. Saya yakin PDIP akan ralistis. Mendapatkan Golkar sebagai kawan koalisi, tentu lebih menguntungkan dari segi elektoral. Ketimbang memperhatikan sindiran PPP yang di alamatkan ke PAN.

Jadi, peluang Golkar mendapat posisi agar bisa ikut bertarung pada pilpres 2024, sebenarnya terbuka lebar kalau merapat ke PDIP. Dengan catatan tidak maksa ambil jabatan capres. Dan ini realistis. Fakta bahwa posisi Golkar di pemilu 2019 ada di bawah PDIP, tak terlalu menyakitkan. Andai menjadikan Ketum Golkar Airlangga Hartarto sebagai bakal cawapres Ganjar.

Komposisi demikian sekaligus sebagai penegasan bagi Golkar, agar tak berpikir untuk merapat ke KKIR. Mengapa, karena baik posisi capres maupun cawapres di koalisi ini, sudah ada yang memboking. Capresnya Prabowo Subianto Ketum Gerindra. Sementara nama cawapres telah diserahkan kepada Ketum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin. Jika Golkar maksa tetap ingin salah satu posisi diantara keduanya, ya harus mampu melunakkan hati Prabowo dan Cak Imin.

Pilpres 2024 makin mendekati hari H. Ada partai politik yang sudah mantap berlabuh di satu koalisi atau poros. Contohnya Gerindra PKB di KKIR. Lalu PPP bersama PDIP. Tapi ada pula yang masih goyang. Siapa lagi kalau bukan yang ada di KPP, terutama Demokrat dan PKS. Kalau Nasdem sebagai penggerak awal berdirinya KPP tak pandai merayu kedua parpol ini, mungkin Demokrat dan PKS akan hengkang dari KPP dan meninggalkan Nasdem sendirian.

Maka dapat dilihat, hadirnya Golkar ke acara Apel Siaga Perubahan Nasdem, bisa ditangkap juga sebagai upaya jaga-jaga kemungkinan keluarnya Demokrat dan PKS. Jika benar terjadi kelak, Golkar tak gamang lagi mendekati Nasdem. Dengan alasan yang realistis, karena Nasdem butuh kawan untuk daftar pilpres 2024 ke KPU. Dan faktanya, gabungan suara keduanya memang cukup. Berjumlah total 21.36 persen. Hasil dari penjumlahan 12.31 milik Golkar dengan 9.05 Nasdem.

Hanya saja, kalau faktual pasti terjadi kocok ulang komposisi. Tentunya, Golkar akan menyodorkan nama Airlangga Hartarto sebagai capres. Dengan alasan karena memiliki suara terbanyak di parlemen. Akankah Nasdem yang sudah mencapreskan Anies Baswedan bersedia menerima tawaran Golkar..? Tergantung kondisi saya kira. Menilik persepsi masyarakat diatas tentang "tak ada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan abadi", Nasdem kayaknya bersedia.

Lha gimana lagi. Kadung koar-koar membawa nama Anies kesana-kemari, lalu karena faktor KPP bubar akibat tak bisa mengakomodir keinginan Demokrat dan PKS, hingga menyebabkan Nasdem sendirian dan tak bisa bisa ikut pilpres 2024, ya mending terima tawaran Golkar, walaupun cuma dapat cawapres. Lumayan juga. Dapat efek ekor jas buat menaikkan suara pada pemilu 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun