Seorang pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubaidilah Badrun kasih pandangan. Bahwa banyaknya artis jadi caleg menunjukkan fenomena psikopolitik. Kata Badrun secara rinci, “Semacam efek psikopolitik dari contoh artis sebelumnya yang berkarier di politik yang dinilai sukses”. Ditambahkan juga, kehadiran artis sebagai caleg juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melahirkan kader yang mampu mendulang suara pada perheletan pemilu (Kompas.com, 15 Mei 2023).
Saya sepakat dengan Badrun, utamanya yang berhubungan dengan upaya parpol untuk meraup suara. Ini dikenal dengan istilah “Caleg Vote Getter”. Yaitu mencalonkan seorang tokoh untuk kepentingan meraup suara sebanyak mungkin dari pemilik para vox pop. Upaya demikian sebenarnya sudah berlangsung sangat lama. Bahkan sejak pemilu pada masa Orde Baru dulu.
Hanya saja, ada perbedaan dari segi pemilihan asal muasal caleg. Dulu jaman Orde Baru di ambilkan dari tokoh masyarakat. Misal Ulama dan Kyai kharismatik yang memiliki banyak santri atau pengikut. Biasanya para pengasuh pondok pesantren. Bisa juga diambilkan dari figur yang punya pengaruh besar di lingkungan setempat. Meski bukan ulama atau kyai.
Untuk pemilu jaman sekarang, kebanyakan yang dipilih adalah para artis terkenal. Dan faktanya, upaya demikian cukup efektif. Partai politik yang mencalonkan artis naik perolehan suaranya. Meskipun tentunya tidak secara otomatis menjadikan partai politik menjadi pemenang pemilu. Untuk sampai pada prestasi ini, rasanya tak cukup jika hanya bermodalkan caleg artis.
Hal yang sama juga di miliki para menteri. Punya potensi besar menarik para pemilih. Hanya saja, “senjata” yang digunakan oleh menteri bukan popularitas macam artis. Melainkan akses, jaringan dan kewenangan. Melalui aksesnya, para menteri sangat mudah masuk ke semua lini. Untuk kemudian memperkuat jaringan yang sudah ada buat di fungsikan sebagai mesin. Dan pada akhirnya menggunakan kewenangan, terutama yang ada hubungan dengan pemanfaatan program, guna menarik suara masuk sebagai pemilih parpol.
Melihat itu semua, kiranya bisa di asumsikan bahwa soal kualitas bukan pertimbangan utama pencalonan para artis dan menteri oleh partai politik. Apalagi jika di ukur dari perspektif yang lebih luas, untuk kepentingan bangsa dan negara misalnya. Saran saya, tak usahlah kita berharap terlalu jauh hingga ingin menjangkau idealisme tersebut. Mengapa, karena meskipun artis dan para menteri itu punya kualitas bagus, toh ketika dihadapkan pada kemauan para “pemilik” parpol, mereka juga bisa tak berkutik.
Ingat tidak apa yang disampaikan tokoh PDIP Bambang Wuryanto atau Pak Pacul ketika rapat bersama Menkopulhukam Mahfudz MD beberapa waktu lalu. Saat itu Pak Mahfudz mohon agar ada dukungan terhadap UU Perampasan asset. Merespon usulan ini, Pak Pacul menyarankan agar lobinya langsung kepada Ketum Partai. Mengapa, karena kata Pak Pacul, “korea-korea ini semua nurut bosnya masing-masing”. Heheeeeee….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H