Serba repot juga ya mengomentari fenomena menteri dan artis nyaleg atau menjadi calon anggota legislatif pada pemilu 2024. Satu sisi tak ada larangan tegas tentang hal ini. Juga, mereka memiliki posisi yang sama dihadapan warga lain. Dilindungi hak politiknya untuk memilih dan dipilih. Sementara pada sisi lain, pencalonan mereka acap kali menimbulkan gugatan. Utamanya yang berhubungan dengan kualitas.
Untuk soal kualitas, yang sering dijadikan parameter oleh masyarakat adalah penampilan. Tapi bukan merujuk pada baju dan perhiasan yang dipakai. Melainkan pada kemampuan mereka saat “cuap-cuap” di depan mik ketika berpidato di atas podium atau mengusulkan aspirasi konstituen di ruang sidang. Jika menarik dianggap bagus. Membosankan atau bicara tak tentu arah, dianggap jelek.
Padahal, ukuran sebenarnya bukan itu. Karena bersifat relatif dan subyektif. Yang paling pas dijadikan parameter untuk soal kualitas sebenarnya adalah produk atau kinerja. Ada beberapa politisi, dari kalangan manapun, yang komunikasinya terlihat kurang menarik. Bahkan kadang tak banyak bicara. Tapi prestasi kerjanya diakui banyak kalangan. Dan terbukti langsung dirasakan sendiri oleh masyarakat.
Umumnya, yang terstigma tak punya kualitas bagus dari segi penampilan adalah para artis. Walau tak semuanya, popularitas yang melekat pada mereka dianggap jomplang dibanding gaya bicaranya. Bisa jadi mungkin iya. Penyebabnya, dari sekian banyak jumlah artis yang masih nyaleg atau sudah jadi anggota DPR RI dan masuk ke Senayan, hanya segelintir yang sanggup memberi penampilan meyakinkan dihadapan masyarakat.
Lalu bagaimana dengan persepsi di kalangan para menteri..? Untuk segmen yang ini, penampilan rupanya tak terlalu jadi ukuran. Mengapa, karena kiprah mereka lebih banyak yang langsung bersentuhan dengan hal-hal tekhnis kebutuhan masyarakat. Jika mampu mengatasi keluhan atau masalah yang sedang terjadi, lebel sebagai tokoh berkualifikasi baik akan tersemat. Jika tidak, ya akan di cap buruk.
Di kalangan artis, yang di persepsikan punya kualitas bagus misalnya Nurul Arifin. Tokoh perempuan yang dikenal sukses memanfaatkan popularitasnya sebagai artis untuk “kepentingan” politik ini, memiliki penampilan komunikasi sangat baik. Dia mampu merangkai kata dan kalimat menjadi lontaran yang membuat banyak orang kagum. Bicaranya sistematis, berbobot dan tepat sasaran.
Di kalangan menteri, yang saya anggap punya kualitas sama bagusnya dengan Nurul Arifin adalah Basuki Hadimulyo. Namun ukurannya berbeda dibanding Nurul Arifin. Pak Bas tak banyak bicara. Bahkan saat di “ajak” diskusi oleh Anies Baswedan dulu saat sedang ngurusi kali Ciliwung, beliau tak mau meladeni. Pak Bas lebih memilih diam.
Tapi kinerjanya diakui banyak orang. Yakin bukan hanya saya yang punya pendapat demikian. Masyarakat luas juga memberi penilaian yang sama. Meski tak banyak bicara, dan kalaupun iya tak sebagus bicaranya Nurul Arifin, Pak Bas sukses mengeksekusi perintah Pak Jokowi. Bertebarannya bendungan, jembatan dan jalan yang saat ini sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, adalah buah karya Pak Bas.
Maka itu saya berpendapat, bahwa kualitas caleg tak ada hubungan dengan profesi dan latar belakang seseorang. Kalau hanya sebagai penunjang atau potensi, bisa jadi. Untuk itu, kualitas caleg harus dilihat dari segi produk kerja yang telah di hasilkan sebelumnya. Dengan kata lain, jejak tapak caleg adalah ukuran yang layak di kedepankan.
Sebagai pihak yang punya wewenang mengusung caleg, partai politik seharusnya pegang teguh itu. Dan karena sudah melakukan pendaftaran ke KPU, tinggal kita lihat siapa saja yang akan muncul ke permukaan dari masing-masing parpol. Nama-nama mereka, akan menentukan juga kualitas penilaian publik terhadap parpol. Pertanyaannya kemudian, apakah caleg yang di usung hanya sekedar untuk kepentingan pragmatis, atau betul-betul buat mengawal aspirasi para pemilik vox pop..?
Seorang pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubaidilah Badrun kasih pandangan. Bahwa banyaknya artis jadi caleg menunjukkan fenomena psikopolitik. Kata Badrun secara rinci, “Semacam efek psikopolitik dari contoh artis sebelumnya yang berkarier di politik yang dinilai sukses”. Ditambahkan juga, kehadiran artis sebagai caleg juga menunjukkan kegagalan partai politik dalam melahirkan kader yang mampu mendulang suara pada perheletan pemilu (Kompas.com, 15 Mei 2023).
Saya sepakat dengan Badrun, utamanya yang berhubungan dengan upaya parpol untuk meraup suara. Ini dikenal dengan istilah “Caleg Vote Getter”. Yaitu mencalonkan seorang tokoh untuk kepentingan meraup suara sebanyak mungkin dari pemilik para vox pop. Upaya demikian sebenarnya sudah berlangsung sangat lama. Bahkan sejak pemilu pada masa Orde Baru dulu.
Hanya saja, ada perbedaan dari segi pemilihan asal muasal caleg. Dulu jaman Orde Baru di ambilkan dari tokoh masyarakat. Misal Ulama dan Kyai kharismatik yang memiliki banyak santri atau pengikut. Biasanya para pengasuh pondok pesantren. Bisa juga diambilkan dari figur yang punya pengaruh besar di lingkungan setempat. Meski bukan ulama atau kyai.
Untuk pemilu jaman sekarang, kebanyakan yang dipilih adalah para artis terkenal. Dan faktanya, upaya demikian cukup efektif. Partai politik yang mencalonkan artis naik perolehan suaranya. Meskipun tentunya tidak secara otomatis menjadikan partai politik menjadi pemenang pemilu. Untuk sampai pada prestasi ini, rasanya tak cukup jika hanya bermodalkan caleg artis.
Hal yang sama juga di miliki para menteri. Punya potensi besar menarik para pemilih. Hanya saja, “senjata” yang digunakan oleh menteri bukan popularitas macam artis. Melainkan akses, jaringan dan kewenangan. Melalui aksesnya, para menteri sangat mudah masuk ke semua lini. Untuk kemudian memperkuat jaringan yang sudah ada buat di fungsikan sebagai mesin. Dan pada akhirnya menggunakan kewenangan, terutama yang ada hubungan dengan pemanfaatan program, guna menarik suara masuk sebagai pemilih parpol.
Melihat itu semua, kiranya bisa di asumsikan bahwa soal kualitas bukan pertimbangan utama pencalonan para artis dan menteri oleh partai politik. Apalagi jika di ukur dari perspektif yang lebih luas, untuk kepentingan bangsa dan negara misalnya. Saran saya, tak usahlah kita berharap terlalu jauh hingga ingin menjangkau idealisme tersebut. Mengapa, karena meskipun artis dan para menteri itu punya kualitas bagus, toh ketika dihadapkan pada kemauan para “pemilik” parpol, mereka juga bisa tak berkutik.
Ingat tidak apa yang disampaikan tokoh PDIP Bambang Wuryanto atau Pak Pacul ketika rapat bersama Menkopulhukam Mahfudz MD beberapa waktu lalu. Saat itu Pak Mahfudz mohon agar ada dukungan terhadap UU Perampasan asset. Merespon usulan ini, Pak Pacul menyarankan agar lobinya langsung kepada Ketum Partai. Mengapa, karena kata Pak Pacul, “korea-korea ini semua nurut bosnya masing-masing”. Heheeeeee….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H