Dalam konteks tersebut, penentuan rumusan tentang bentuk negara tidak ditentukan semata oleh kelompok muslim. Meski merupakan penduduk mayoritas. Namun didasarkan pada hasil kesepakatan seluruh elemen masyarakat yang eksis di Indonesia. Walaupun keberadaannya minoritas. Lebih jauh, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan NU tak punya ajaran, apalagi mewajibkan pada para anggota, untuk memaksakan bentuk negara sesuai “kehendak” sendiri.
Karenanya, meski secara faktual keberadaan NU selalu dianaktirikan, bahkan cenderung di gencet selama pemerintahan Orde Baru, utamanya pada masa Ketua Tanfidiyah di jabat oleh Gus Dur, tak sekalipun tercetus wacana, apalagi sampai bergerak melakukan pemberontakan. Guna menggulingkan Pak Harto sebagai penguasa ketika itu. Yang ada hanya kritik. Meski cukup keras dan pedas.
Ya benar. Sebatas itu reaksi NU merespon perlakuan Pak Harto kepada NU. Mengapa tak sampai pada tindakan memberontak dan inisiatif mendirikan negara sendiri sebagaimana dilakukan golongan agama di beberapa wilayah Timur Tengah..? Karena NU sangat-sangat paham. Bahwa bentuk negara punya kedudukan lebih penting dan sangat tinggi, dibanding kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin.
Bagi NU, bentuk negara Pancasila sudah final. Selain karena merupakan hasil rumusan bersama antar komponen bangsa, juga terbukti ampuh menyatukan beragam perbedaan. Sementara soal pimpinan negara, ada diwilayah pragmatis politis. Keberadaanya situasional dan tiap waktu bisa diganti. Maka menyikapi munculnya perlakuan tak adil seorang pemimpin, solusinya tak perlu dengan jalan angkat senjata. Tapi cukup lewat kritik.
Sebagai organisasi keagamaan tertua dan terbanyak pengikutnya di Indonesia, Muhammadiyah dan NU memang dikenal memiliki semangat kebangsaan yang sangat kuat. Menurut mantan Ketua Umum Tanfidiyah NU, Almarhum Almaghfurullah KH. Hasyim Muzadi, meski di bidang penerapan fiqh ada perbedaan di wilayah furuk bahkan ibnul furuk, tapi keduanya punya wawasan ke ummatan dan kenegaraan yang sama.
Menggambarkan perbedaan dan kesamaan Muhammadiyah-NU, KH. Hasyim Muzadi pakai ibarat sepasang sandal. Posisi masing-masing memang ada di tempat berbeda. Satu disebelah kanan. Yang lainnya di kiri. Meski beda, keduanya harus dipakai secara bersamaan. Agar tercipta rasa nyaman ketika dibuat jalan oleh si empunya. Kalau hanya pakai salah satu, yang ada pasti kacau. Jalannya bisa miring dan pincang.
Demi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta, hendaknya prinsip-prinsip wawasan kebangsaan dan ke ummatan Muhammadiyah-NU wajib dijaga bersama. Memasuki tahun politik sebagaimana disinggung Pak Moeldoko dan Presiden Jokowi, yang punya tanggung jawab utama, bahkan harus menjadi garda terdepan, adalah para kandidat capres-cawapres. Hanya merekalah yang bisa mengendalikan para pendukung dan tim sukses. Bukan pihak lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H