Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Agama dan Negara, Pesan Muhammadiyah-NU Buat Capres-Cawapres

14 Desember 2022   11:06 Diperbarui: 27 Desember 2022   21:02 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Komponen Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sumber Foto Islam.co

Masuk tahun politik, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko kasih himbauan. Disarikan dari Kompas.com 13/12/2022, katanya, pendekatan bersifat keras dan adu domba harus dihindari. Antara stabilitas politik dan demokrasi mesti jalan seimbang dan perlu dikelola dengan baik. Kalau salah satu mendominasi, bakal ada ketimpangan serta rawan muncul kerusuhan. Negara-negara Timur Tengah jadi contoh nyata sebagai wilayah yang tak mampu mengelola politik.

Sebelumnya, Pak Jokowi mengingatkan para capres-cawapres agar tak pakai politik identitas saat tarung rebutan vox pop pada pilpres 2024. Mengapa, karena trik itu amat berbahaya. Lebih jauh Presiden menambahkan, sebaiknya debat antar kandidat berisi materi gagasan atau ide. Bukan perdebatan yang justru menjadikan situasi politik tambah panas.

Khusus di Indonesia, saya kira wajar himbauan serta peringatan oleh Pak Moeldoko dan Presiden Jokowi. Berdasar pengalaman pemilu yang sudah berlalu, terutama pilkada, penggunaan politik identitas kerap mendominasi. Islam merupakan agama yang paling sering dibawa-bawa sebagai senjata. Mungkin karena di anut oleh mayoritas penduduk di negeri ini.

Sebenarnya, seperti apa sich hubungan ideal antara agama dengan negara. Hingga dapat menghindari munculnya kerawanan sosial politik dan gesekan antar kelompok masyarakat..? Jawab atas pertanyaan ini penting dikemukakan. Sebab, masih ada sebagian masyarakat yang belum mampu mencerna fungsi agama bagi negara. Juga sebaliknya, dimana posisi negara terhadap agama. Yang ada, justru menganggap agama punya cengkraman dominan terhadap negara.

Pada satu kesempatan, menjelaskan beberapa masalah isu strategis hasil rumusan Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Kota Surakarta Jawa Tengah, Ketua Umum KH. Haidar Nasir menyampaikan soal fenomena krusial yang saat ini sedang terjadi dikalangan masyarakat. Yang mau tak mau harus dicegah serta dicarikan jalan keluar. Salah satu fenomena tersebut adalah rezimentasi agama.

Apa itu..? Dikutip dari Portal MUHAMMADIYAH Cahaya Islam Berkemajuan, KH. Haidar Nasir menjelaskan sebagai berikut..:

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Padahal harus diakui. Bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang disepakati oleh seluruh komponen para pendiri bangsa. Komponen dimaksud baik dari kalangan penganut agama, asal suku bangsa atau daerah dan ragam budaya. Anda tahu, sebagai penggagas para komponen punya kewajiban menjaga serta menyelamatkan Pancasila. Utamanya dari rongrongan kelompok yang ingin membentuk negara agama.

Dok. internet
Dok. internet

Meski beda rujukan, cucu pendiri Nahdlatul Ulama atau NU, Almarhum Almaghfurullah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, punya pemikiran yang sejalan dengan KH. Haidar Nasir. Dalam menyikapi hubungan antara agama dan negara, Presiden ke-4 Indonesia ini menggunakan metode pendekatan fiqh. Sebagaimana tradisi yang senantiasa dipakai oleh para Wali Songo.

Dalam konteks tersebut, penentuan rumusan tentang bentuk negara tidak ditentukan semata oleh kelompok muslim. Meski merupakan penduduk mayoritas. Namun didasarkan pada hasil kesepakatan seluruh elemen masyarakat yang eksis di Indonesia. Walaupun keberadaannya minoritas. Lebih jauh, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan NU tak punya ajaran, apalagi mewajibkan pada para anggota, untuk memaksakan bentuk negara sesuai “kehendak” sendiri.

Karenanya, meski secara faktual keberadaan NU selalu dianaktirikan, bahkan cenderung di gencet selama pemerintahan Orde Baru, utamanya pada masa Ketua Tanfidiyah di jabat oleh Gus Dur, tak sekalipun tercetus wacana, apalagi sampai bergerak melakukan pemberontakan. Guna menggulingkan Pak Harto sebagai penguasa ketika itu. Yang ada hanya kritik. Meski cukup keras dan pedas.

Ya benar. Sebatas itu reaksi NU merespon perlakuan Pak Harto kepada NU. Mengapa tak sampai pada tindakan memberontak dan inisiatif mendirikan negara sendiri sebagaimana dilakukan golongan agama di beberapa wilayah Timur Tengah..? Karena NU sangat-sangat paham. Bahwa bentuk negara punya kedudukan lebih penting dan sangat tinggi, dibanding kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin.

Bagi NU, bentuk negara Pancasila sudah final. Selain karena merupakan hasil rumusan bersama antar komponen bangsa, juga terbukti ampuh menyatukan beragam perbedaan. Sementara soal pimpinan negara, ada diwilayah pragmatis politis. Keberadaanya situasional dan tiap waktu bisa diganti. Maka menyikapi munculnya perlakuan tak adil seorang pemimpin, solusinya tak perlu dengan jalan angkat senjata. Tapi cukup lewat kritik.

Sebagai organisasi keagamaan tertua dan terbanyak pengikutnya di Indonesia, Muhammadiyah dan NU memang dikenal memiliki semangat kebangsaan yang sangat kuat. Menurut mantan Ketua Umum Tanfidiyah NU, Almarhum Almaghfurullah KH. Hasyim Muzadi, meski di bidang penerapan fiqh ada perbedaan di wilayah furuk bahkan ibnul furuk, tapi keduanya punya wawasan ke ummatan dan kenegaraan yang sama.

Menggambarkan perbedaan dan kesamaan Muhammadiyah-NU, KH. Hasyim Muzadi pakai ibarat sepasang sandal. Posisi masing-masing memang ada di tempat berbeda. Satu disebelah kanan. Yang lainnya di kiri. Meski beda, keduanya harus dipakai secara bersamaan. Agar tercipta rasa nyaman ketika dibuat jalan oleh si empunya. Kalau hanya pakai salah satu, yang ada pasti kacau. Jalannya bisa miring dan pincang.

Demi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta, hendaknya prinsip-prinsip wawasan kebangsaan dan ke ummatan Muhammadiyah-NU wajib dijaga bersama. Memasuki tahun politik sebagaimana disinggung Pak Moeldoko dan Presiden Jokowi, yang punya tanggung jawab utama, bahkan  harus menjadi garda terdepan, adalah para kandidat capres-cawapres. Hanya merekalah yang bisa mengendalikan para pendukung dan tim sukses. Bukan pihak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun