Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menilik Kesamaan dan Perbedaan Nasdem-PDIP

2 November 2022   06:50 Diperbarui: 3 November 2022   11:16 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani menggelar jumpa pers usai pertemuan di DPP Partai Nasdem di Nasdem Tower, Jakarta, Senin (22/8/2022). Pertemuan antara jajaran PDIP dan Nasdem merupakan silaturahmi antara dua partai politik.(KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO) 

Dulu, PDIP dan Nasdem sangat mesra sekali. Sekarang berhadapan secara diametral. Masing-masing ada ditempat bersebelahan. Tidak lagi berdampingan. 

Demikian pula dalam soal capres. Pada momentum pilres 2024, PDIP akan usung calon sendiri. Demikian pula Nasdem, yang malah mendahului putuskan Anies Baswedan. Sementara PDIP, hingga kini belum ada tanda-tanda menyusul Nasdem.

Padahal tanpa ada teman koalisi, PDIP mampu melakukan itu. Sedang Nasdem sebaliknya. Harus ada tambahan satu atau beberapa partai. 

Agar suaranya cukup dibuat syarat daftar capres ke KPU. Rencananya, Nasdem akan gandeng Demokrat dan PKS. Dua partai politik, yang saat Nasdem lagi mesra dengan PDIP, merupakan "musuh" bersama.

Menilik perjalanan, ada kesamaan dan perbedaan yang bisa dijadikan tolok ukur akan seperti apa nasib Nasdem dan PDIP kedepan. Baik ditinjau dari segi kelembagan maupun situasi yang saat ini sedang dihadapi. 

Dari segi kelembagaan, ada hubungan dengan perolehan electoral pada pemilu tahun 2019. Dari segi situasi, terkait dampak dari proses pencapresan.

Sudah dimaklumi, bahwa secara kelembagaan dua partai tersebut berada di kasta yang berbeda. Bukan perbedaan abal-abal bahkan. PDIP adalah partai besar yang mendapat suara hingga 19.33 persen. 

Komparasi 128 di DPR RI. Nasdem sendiri cuma dapat 9.05 dan komparasi kursi hanya 59. Di klasemen, PDIP merupakan pemuncak. Sedang Nasdem tergolong partai tengah.

Meski beda posisi, tapi dari segi pencapresan keduanya ada kesamaan. Baik Nasdem maupun PDIP lagi didera konflik internal. Muncul pertentangan dua atau beberapa keinginan sekaligus. 

Sebuah persoalan yang sangat merepotkan. Bahkan dalam situasi tertentu, kelihatan ribut antar teman sendiri. Satunya ingin begini. Yang lain maunya begitu.

Saat ini, yang dalam konteks pencapresan di representasikan oleh Anies Baswedan sebagai kandidat dan Surya Paloh sebagai ketum, Nasdem sedang sibuk merajut benang ikatan Demokrat dan PKS. Dimana, hingga kini tak nyambung-nyambung juga. 

Sedangkan di lain posisi, PDIP tengah repot menghadapi kader dan konstituen yang lagi terbelah. Yang bahkan kini sudah melebar ke urusan penggantian Megawati sebagai ketum. Tidak terbatas hanya pada urusan figur pilpres 2024.

Kalau konflik internal koalisi Nasdem tak juga rampung hingga batas waktu pendaftaran, pastinya Anies Baswedan tak kan bisa jadi kandidat untuk ikut berebut vox pop. Nasdem rugi besar. 

Sudah malu kadung deklarasi lebih awal tapi cuma jadi penonton. Masih ditambah kemungkinan turun suara lagi. Akibat enggan dilirik pemilih karena tak punya capres.

Situasi yang sama bakal didapat juga oleh PDIP. Kalau tak segera merespon keinginan kader dan konstituen soal capres, maka partai "milik" keluarga Bung Karno ini akan mengalami kerugian sangat besar. 

Bukan hanya di satu sisi. Tapi bahkan dari dua sisi sekaligus. Bagai dihantam palu godam muka berlakang, kanan kiri atau depan belakang.

Ya benar. PDIP bisa mengalami penurunan suara. Dari yang sekarang berada di kisaran persentase dua digit lebih, menjadi hanya satu. 

Dari yang sekarang sebagai pemuncak klasemen, melorot jadi partai tengah. Bahkan, kalau lagi tidak dinaungi oleh dewi furtuna, bisa sejajar dengan PAN atau PPP. Menjadi partai buncit.

Terlebih, masih dalam konteks dampak pencapresan, kini muncul juga situasi sungguh tak enak bagi keluarga Bung Karno. Kewenangan dan kekuatan Megawati lagi di uji. 

Ada usulan Ketum PDIP selanjutnya di pegang oleh Pak Jokowi. Ini tentu sesuatu yang tak lazim. Mengingat sejak PDI era Orba bermetamorfosis menjadi PDIP jaman Orde Baru, dominasi Megawati begitu kuat.

Pastinya itu sebuah masalah yang sangat serius. Karenanya, tanggapan yang muncul di internal PDIP bukan hanya dari kalangan pendukung capres Puan Maharani. 

Kelompok Ganjar Pranowo-pun tak kurang memberikan reaksi. Termasuk Ketua DPC PDIP Kota Solo FX Hadi Rudiyatmo. Intinya, mereka tak setuju wacana penggantian Megawati sebagai ketum oleh sosok lain. Termasuk Jokowi sekalipun.

Anda paham, kalau sampai terjadi, maka trah keluarga Bung Karno akan runtuh. Mungkin hanya berfungsi sebagai simbol. 

Mirip Gus Dur di PKB, meski yang pegang ketum sekarang adalah keponakan beliau Muhaimin Iskandar. Proses berikutnya, PDIP akan jadi partai terbuka dalam soal kandidasi pengurus. Siapa saja bisa jadi calon. Asal potensial dan memenuhi syarat.

Apa yang saya prediksi memang masih kemungkinan. Dan agak sulit terjadi dalam waktu dekat. Disamping akan dilawan habis-habisan, tentu harus ada perubahan AD/ART organisasi. 

Mengingat dominasi dan kewenangan Megawati sampai masuk klausul yang dilegalkan. Ingat, kalau sudah berhubungan dengan klausul, maka urusannya bukan hanya di internal PDIP. Pastinya merambah ke institusi lain macam Kemenkumham.

Jika nanti sampai terjadi konflik rebutan Ketum, lembaga Pengadilan juga akan ikut serta. Untuk menentukan siapa yang sah dan berhak menjadi nakhoda PDIP. 

Kalau sampai demikian, sungguh merupakan kerugian besar. Maka agar tidak terjadi, hendaknya saat ini keluarga Bung Karno khususnya Megawati mulai sadar. Bahwa tidak semuanya harus "diambil" sendiri.

Juga para pengurus lain pendukung keluarga Bung Karno. Ada waktu dimana "membagi-bagi" keputusan sudah harus dilakukan. 

Dan bukan jamannya lagi patronase jadi rujukan. Ingat, perkembangan sudah berubah. Salah satunya dimulai sejak Pak Jokowi dicalonkan sebagai capres oleh PDIP pada pilpres 2014. Terbukti bisa menang kan..?

Sebelum fenomena Jokowi, capres seakan-akan milik Megawati. Bahkan ada "mitos", kalau bukan trah Soekarno bisa kalah. Tapi ternyata, justru Megawati yang sampai kalah pilpres hingga dua kali. 

Pertama ketika lawan Gus Dur tahun 1999. Kedua tahun 2004 saat tanding dengan Susilo Bambang Yudhoyono. 

Sekarang, Ganjar Pranowo menguat. Akankah PDIP tetap memaksakan trah Soekarno untuk menghadapi Prabowo Subianto atau Anies Baswedan?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun