Memang benar, faktor elektabilitas juga jadi pertimbangan. Misal hasil survey Litbang Kompas terkini tentang kandidat cawapres. Dimana AHY mendapat 6.6%. Mestinya, AHY pantas dijadikan senjata untuk bargaining koalisi oleh Demokrat. Cuma harus dipahami. PKS bisa saja juga menyodorkan figur lain. Macam Kang Emil yang mencapai 34.8%. Atau siapapun yang masuk radar PKS. Yang penting lebih tinggi dibanding AHY.
Maka satu-satunya jalan agar koalisi jalan terus, Demokrat layak untuk mengalah. Tak perlulah maksa-maksa incar jabatan lebih tinggi, misal sebagai cawapres Anies. Mengapa, ya karena perolehan suara pemilunya lebih rendah dibanding PKS. Sebagai kompensasi, Demokrat bisa mengajukan jatah menteri kabinet yang lebih strategis dan melampaui jumlah PKS.
Apalagi, kalau menang pilpres. Banyak kok posisi yang bisa dibagi-bagi. Selain di kabinet, masih ada jabatan di BUMN seperti komisaris, direktur atau turunannya. Juga sebagai Duta Besar negara sahabat misalnya. Jangan khawatir. Berbagai posisi tersebut bisa dibicarakan secara baik-baik oleh Nasdem Demokrat PKS. Tentu berdasar asas proporsional dan kewajaran.
Dalam hal pembagian kekuasaan, pertemanan Gerindra PKB yang dinamai Koalisi Indonesia Raya atau KIR saya kira layak dijadikan contoh. Sejak awal, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sadar. Bahwa suara PKB kalah dibanding Gerindra. Karena itu, meski brandingnya sebagai Capres, namun dalam perjalanan bersama Gerindra para elit PKB sudah mencanangkan duet Prabowo-Cak Imin. Dan tidak memaksakan Cak Imin-Prabowo.
Tapi kan KIR hanya dua partai, yang lebih mudah menentukan capres-cawapres. Ya memang benar. KIR tak bisa dibanding dengan rencana koalisi Nasdem Demokrat PKS yang ada 3 partai. Cuma bukan disini masalahnya. Yang bisa dipetik dari pertemanan di KIR adalah kesadaran PKB untuk jadi orang kedua. Dan kesediaan Gerindra untuk menggandeng PKB. Bahkan, kesadaran dan kesdiaan tersebut diikat dalam satu MoU. Yang salah satu isinya adalah keputusan capres-cawapres ditentukan oleh Prabowo Cak Imin.
Transaksional..? Ya memang begitu yang sudah jalan selama ini. Pertimbangannya hanya satu. Yaitu soliditas. Bahkan untuk ini, Pak Jokowi yang menang pilpres 2019 sampai harus menggandeng Prabowo masuk kabinet. Dan terbukti, secara kebijakan beberapa program Jokowi tak menemui halangan berarti. Lancar-lancar saja. Jadi pendapat saya, tak usahlah malu itu Nasdem Paloh, PKS Mardani dan Demokrat AHY untuk mengakui. Bahwa belum kelarnya rencana koalisi hingga saat ini adalah karena pembagian kekuasaan tak juga ada kata sepakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H