Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sudahlah, Nasdem Demokrat PKS Tak Perlu Gengsi Apalagi Malu

28 Oktober 2022   07:35 Diperbarui: 28 Oktober 2022   07:43 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketum Demokrat AHY, Ketum Nasdem Surya Paloh Dan Wakil Ketua Majelis Syuro PKS M. Sohibul Imam, Foto Dok. Republika.co.id

Untuk kedua kalinya Ketum Nasdem Surya Paloh bertemu secara formal dengan Ketum Demokrat Agus Harimutri Yudhoyono atau AHY. Kata Paloh usai pertemuan, Nasdem Demokrat PKS sedang menyesuaikan frekuensi. Untuk deklarasi tinggal tunggu hari dan  bulan baik. Juga ditekankah oleh Paloh, bahwa hubungan yang terjalin selama ini sudah makin kokoh (CNN Indonesia, 27/10/2022).

Disarikan dari sumber yang sama, AHY komentar penuh optimis dan idealis. Kata putra mahkota presiden keenam SBY itu, ketiga partai punya keinginan menang. Bukan hanya jalan bersama. Selanjutnya ditambahkan, tak ada pembahasan tentang syarat koalisi. Karena akan cenderung membuat rapuh. Baik Nasdem, Demokrat dan PKS dalam posisi derajat setara.

Yang tak kalah ideal juga adalah pernyataan salah seorang pengurus PKS Mardani Ali Sera. Kader elit yang duduk sebagai Ketua DPP ini mendorong agar semua pihak legowo menanggapi hasil pertemuan Paloh AHY. Demi memenangkan pilpres 2024. Mardani bahkan memberi apresiasi atas ketekunan Paloh dan AHY untuk terus membicarakan rencana soal koalisi secara musyawarah.

Saya senyum-senyum saja menyimak komentar mereka bertiga. Andai masih bocil, saya mungkin tertawa ngakak sambil guling-guling dilantai. Sayang saya sudah agak berumur. Kalau tiru bocil, malu dilihat istri dan anak-anak. Artinya apa, kita-kita ini sudah dewasa. Paham betul apa yang terjadi di dunia politik. Tak perlulah main petak umpet bagai orang munafik mengatakan rencana koalisi tanpa syarat dan legowo.

Ayo siapa berani taruhan. Mau tidak salah satu, salah dua atau bahkan salah tiga diantara Nasdem Demokrat PKS disodorkan perjanjian tak dapat apa-apa. Baik saat masih berproses maupun ketika menang pilpres kelak. Kasihkan itu dah semua jabatan penting kepada para SDM professional yang banyak bertebaran di negeri ini. Yakin saya ketiganya pasti ogah. Dan yang mau bertaruh terima tantangan saya tak ada yang berani.

Sudahlah. Tak perlu bersandiwara membawa lakon para brahmana. Seakan penuh kearifan dan kebijakan. Apalagi tak mau urusan jabatan. Akui saja kalau dil-dilan soal pembagian kekuasaan belum rampung. Kita-kita ini, sebagai penikmat dan pemegang elektoral, paham kok. Bahwa pembagian kekuasaan dialam demokrasi politik adalah hal sangat wajar. Jadi tak perlu disembunyikan. Lebih-lebih sampai dibuat topeng menutupi kepentingan.

Apalagi kalau melihat syarat efektifitas dan efesiensi pemerintahan kalau kelak jagoan pilpres menang kontestasi. Dimana, soliditas, kekompakan, komitmen, kepatuhan dan loyalitas mutlak dibutuhkan. Ya makin kentara kalau pengelolaan pemerintahan itu memang harus dipegang oleh teman-teman sendiri. Tidak boleh orang lain. Terutama pihak musuh. Disini, pembagian kekuasaan tak mungkin bisa dihindari.

Anda ingat Rizal Ramli. Kalau ingat, coba balik memori kebelakang saat ekonom ini ditarik sebagai anggota kabinet pasangan Jokowi Yusuf Kalla. Sebelumnya, Rizal aktif sebagai oposisi yang kerapkali melakukan kritik. Entah karena faktor apa, diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman. Namun jabatannya tak lama. Baru 10 bulan, sudah dicopot oleh Pak Jokowi.

Melihat hal tersebut, saya kira sebuah keniscayaan dalam proses koalisi antara Nasdem Demokrat PKS membahas soal posisi. Malah, kalau sama sekali tak pernah disinggung, lalu sekonyong-konyong terjalin ikatan, ini sebetulnya yang sangat rapuh dan kelanjutannya patut dicurigai. Rapuh karena tak ada landasan kepentingan yang disetujui bersama. Patut dicurigai, bahwa kedepan pasti akan bermasalah dan bisa jadi bubar tengah jalan.

Berkaca pada pengalaman, membentuk koalisi gemuk, artinya lebih dari dua memang agak sulit. Kecuali ada saling mengalah. Turunkan ego dan bersikap realistis. Biasanya, yang dijadikan ukuran adalah jumlah suara. Parpol yang mendapat elektoral besar, layak dapat jatah posisi strategis dan jumlah jabatan lebih banyak. Dalam konteks ini, urut-urutannya adalah Nasdem 9.05%, PKS 8.21% dan terakhir Demokrat 7.77%.

Memang benar, faktor elektabilitas juga jadi pertimbangan. Misal hasil survey Litbang Kompas terkini tentang kandidat cawapres. Dimana AHY mendapat 6.6%. Mestinya, AHY pantas dijadikan senjata untuk bargaining koalisi oleh Demokrat. Cuma harus dipahami. PKS bisa saja juga menyodorkan figur lain. Macam Kang Emil yang mencapai 34.8%. Atau siapapun yang masuk radar PKS. Yang penting lebih tinggi dibanding AHY.

Maka satu-satunya jalan agar koalisi jalan terus, Demokrat layak untuk mengalah. Tak perlulah maksa-maksa incar jabatan lebih tinggi, misal sebagai cawapres Anies. Mengapa, ya karena perolehan suara pemilunya lebih rendah dibanding PKS. Sebagai kompensasi, Demokrat bisa mengajukan jatah menteri kabinet yang lebih strategis dan melampaui jumlah PKS.

Apalagi, kalau menang pilpres. Banyak kok posisi yang bisa dibagi-bagi. Selain di kabinet, masih ada jabatan di BUMN seperti komisaris, direktur atau turunannya. Juga sebagai Duta Besar negara sahabat misalnya. Jangan khawatir. Berbagai posisi tersebut bisa dibicarakan secara baik-baik oleh Nasdem Demokrat PKS. Tentu berdasar asas proporsional dan kewajaran.

Dalam hal pembagian kekuasaan, pertemanan Gerindra PKB yang dinamai Koalisi Indonesia Raya atau KIR saya kira layak dijadikan contoh. Sejak awal, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin sadar. Bahwa suara PKB kalah dibanding Gerindra. Karena itu, meski brandingnya sebagai Capres, namun dalam perjalanan bersama Gerindra para elit PKB sudah mencanangkan duet Prabowo-Cak Imin. Dan tidak memaksakan Cak Imin-Prabowo.

Tapi kan KIR hanya dua partai, yang lebih mudah menentukan capres-cawapres. Ya memang benar. KIR tak bisa dibanding dengan rencana koalisi Nasdem Demokrat PKS yang ada 3 partai. Cuma bukan disini masalahnya. Yang bisa dipetik dari pertemanan di KIR adalah kesadaran PKB untuk jadi orang kedua. Dan kesediaan Gerindra untuk menggandeng PKB. Bahkan, kesadaran dan kesdiaan tersebut diikat dalam satu MoU. Yang salah satu isinya adalah keputusan capres-cawapres ditentukan oleh Prabowo Cak Imin.

Transaksional..? Ya memang begitu yang sudah jalan selama ini. Pertimbangannya hanya satu. Yaitu soliditas. Bahkan untuk ini, Pak Jokowi yang menang pilpres 2019 sampai harus menggandeng Prabowo masuk kabinet. Dan terbukti, secara kebijakan beberapa program Jokowi tak menemui halangan berarti. Lancar-lancar saja. Jadi pendapat saya, tak usahlah malu itu Nasdem Paloh, PKS Mardani dan Demokrat AHY untuk mengakui. Bahwa belum kelarnya rencana koalisi hingga saat ini adalah karena pembagian kekuasaan tak juga ada kata sepakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun