Terus terang, saya dan mungkin juga sebagian besar para pembaca paling tak suka kejahatan KDRT. Kalau mau di klasterkan, ini jenis kejahatan yang menurut saya lebih keji dari merampok atau mencuri. Tak bermaksud kasih toleransi dan membenarkan, merampok atau mencuri bagi saya masih lebih “terhormat” dibanding KDRT.
Lesti Kejora yang awalnya laporkan suami tercinta Rizky Billar lalu mencabut lagi, nampaknya tak paham apa yang saya maksud diatas. Bahwa apa yang dilakukan sang suami sebenarnya tak pantas diberi maaf. Bahkan, ketika banyak netizen pengagum Lesti menyesalkan pencabutan itu, malah disambut kurang simpati oleh Lesti. Kata Lesti, untuk apa netizen ikut-ikut. Pencabutan itu adalah hak pribadi rumah tangga.
Patut disayangkan, Lesti memberi tanggapan negatif demikian. Padahal, mata pencaharian Lesti Kejora dan Rizky Billar ya berasal dari netizen dan para penggemar. Mereka inilah yang selalu setia nonton penampilan Lesti dan Rizky, baik di akun pribadi, televisi dan pentas panggung terbuka. Yang secara langsung maupun tidak, “kasih” cuan kepada mereka berdua.
Andai ditinggal para penggemar, habislah kedua artis pasangan suami istri tersebut secara financial. Misal, netizen ramai-ramai unfollow akun mereka. Otomatis jumlah pengikut turun drastis atau berkurang banyak. Akibatnya, endorse berkurang. Lalu para penonton juga ogah lihat penampilan di televise dan panggung terbuka, hingga berakibat sepi penonton. Tentu perusahaan media dan peminat hiburan enggan mengikat kontrak Lesti dan Rizky.
Tanggapan netizen atas pencabutan gugatan KDRT Lesti menurut saya merupakan hal yang wajar. Bahkan, jika ditelisik lebih dalam sebenarnya merupakan salah satu bentuk kasih sayang netizen kepada Lesti. Bisa dikatakan, mereka ini peduli atas keselamatan Lesti dan prihatin terhadap musibah KDRT yang dilakukan oleh suaminya. Mestinya, Lesti kasih tanggapan positif. Bukan malah bela diri sok menyalahkan netizen sebagai pihak yang ikut campur urusan pribadi rumah tangga.
KDRT adalah kejahatan kompleks. Pengaruh yang ditimbulkan tidak sebatas pada lingkup suami istri. Pada tulisan terdahulu, saya sampaikan KDRT berakibat negatif pada perkembangan mental anak-anak. KDRT yang dilihat oleh anak laki-laki, kelak akan terbiasa menjadikan kekerasan sebagai media menyelesaikan masalah rumah tangga. Sebaliknya, kalau yang lihat anak perempuan, menimbulkan masalah traumatic berkepanjangan. Bisa-bisa, tak mau nikah karena takut diperlakukan kasar oleh suami.
Suami pelaku KDRT menurut saya bukan laki-laki terhormat. Ia hanyalah seorang pengecut. Kalau melihat pada latar belakang terjadinya KDRT kepada Lesti yang karena alasan perselingkuhan, Rizky Billar sebenarnya tak punya solusi mengatasi ketakukan berlebih akibat perbuatannya ketahuan istri. Berhubung pemikiran Rizky kurang cerdas, satu-satunya jalan, ya cari jalan instan. Yaitu main pukul.
Selain itu, palaku KDRT juga tergolong sebagai laki-laki tak jantan. Beraninya adu otot sama perempuan. Istri sendiri lagi. Coba itu tumpahkan kekuatan fisiknya pada penjahat atau preman jalanan. Ini kan tindakan mulia. Selain bantu polisi atasi kejahatan, juga dapat meningkatkan rasa aman masyarakat. Jadinya, yang didapat simpati. Bukan antipati.
Sungguh memalukan ya. Jika pelaku KDRT orang biasa, masih bisa diterima. Tak menimbulkan efek kabar heboh apalagi gempar. Tapi kalau publik figur, sangat keterlaluan. Ketenaran dan publisitas yang dimiliki tak mampu dijadikan sebagai rem meniadakan perilaku brutal pada istri. Sebaliknya, justru malah jadi “penyakit” lahir yang menimbulkan tindakan main kasar.
Melihat dampak negatif yang begitu besar sebagaimana diatas, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini anggota DPR RI bersama pemerintah, melakukan kajian hukum soal upaya amandemen terhadap UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Khususnya pada Pasal 51 yang mengatur masalah KDRT.
Jika mengacu pada pasal 51, kekerasan oleh Rizky Billar pada Lesti Kejora memang tergolong sebagai delik aduan. Jadi, lanjut atau tidaknya pelaku diseret ke meja hijau di pengadilan, tergantung pada obyek yang terkena KDRT, dalam hal ini Lesti Kejora. Istri Rizky Billar inilah yang punya kuasa memenjarakan Rizky atas bantuan pihak kepolisian melalui proses hukum acara pidana.
Sekedar info, dari segi tindakan penuntutan delik aduan berbeda dibanding delik biasa. Tuntutan delik aduan bisa dilakukan hanya jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Sementara dalam delik biasa, tanpa ada pengaduanpun polisi tetap bisa melakukan tuntutan. Contoh delik biasa misal pencurian, perampokan, perkosaan, pembunuhan dan sejenisnya.
Secara rinci, macam tindakan yang tergolong KDRT berdasar UU. Nomor 23 Tahun 2004 misalnya: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Sekilas, beberapa kategori tindakan tersebut kelihatan mengekang hukum. Terlalu sempit saya kira jika dihadapkan pada ragam tindakan main kasar pasangan suami atau istri. Padahal, kekerasan tersebut jelas-jelas dapat merugikan salah satu pihak.
Karena itu, mengaca pada kasus Lesti Kejora dan demi melindungi para istri dari tindakan KDRT para suami, sudah waktunya beberapa klausul dalam UU. Nomor 23 tersebut untuk dirubah menjadi lebih terbuka. Atau bahkan kalau bisa dihapus sama sekali. Dengan kata lain, tak perlu lagi ada batasan soal jenis tindakan yang masuk KDRT. Pokoknya, apapun yang menimbulkan kerugian secara phisik macam pencurian atau perampokan dengan kekerasan, jadikan saja sebagai delik biasa.
Sehingga, polisi dapat menangkap, menyidik dan membawa pelaku KDRT ke sidang pengadilan, tanpa lagi terikat oleh adanya pengaduan dari seseorang. Kewenangan demikian saya kira bisa lebih melindungi pasangan dari aksi main kasar salah satu diantaranya. Keuntungan lain, akan membawa ketenangan bagi calon suami istri yang punya rencana hendak membina rumah tangga dengan seseorang.
Kasus aduan KDRT yang dilaporkan oleh Lesti Kejora yang kemudian dicabut lagi, saya kira patut dijadikan momentum untuk diadakan koreksi. Baik oleh Lesti sendiri maupun penegak hukum, para pembuat undang-undang dan masyarakat luas. Khusus pada Lesti, setelah kasus KDRT sebaiknya yang bersangkutan lebih banyak merenung. Dibanding hanya memikirkan soal cinta sejati dan harta benda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H