Secara kelembagaan, Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantingpres dan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR tengah mengkaji kembalinya pilkada, dari yang sekarang langsung oleh rakyat, balik ke model semula dipilih oleh anggota DPRD. Kajian ditujukan pada sejauh mana efektivitas pilkada langsung pada kesejahteraan masyarakat. Atau justru malah makin menyengsarakan, akibat terbukanya ruang korupsi lebih besar (Kompas.com, 11/10/2022).
Sebenarnya, pilkada yang sudah berlangsung sejauh ini bagus. Menghasilkan pimpinan daerah yang sesuai dengan vox pop yang berkembang di publik. Tidak seperti kondisi sebelumnya. Dimana pimpinan daerah, baik gubernur maupun bupati, merupakan titipan atau paksaan dari orang atau kelompok tertentu.
Saya lihat rakyat juga cukup puas. Merasa terayomi dan aspiranya di indahkan. Tidak seperti ketika masih dipilih oleh DPRD. Yang ada ketika itu, kepala daerah merupakan kehendak anggota, bukan keinginan rakyat. Sementara rakyat hanya jadi penonton. Bukan penentu. Padahal, mereka ini yang merasakan langsung dampak kinerja kepala daerah. Bukan anggota DPRD.
Memang harus diakui, pilkada langsung menyedot anggaran lebih besar dibanding tidak langsung. Biaya besar bahkan keluar dari kedua belah pihak. Pertama pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Komisi Pemilihan Umum atau KPU Daerah sebagai penyelenggara. Kedua, pihak yang bertarung. Dalam hal ini para calon gubernur atau bupati.
Nah, biaya besar oleh para kontestan itulah yang di maksud oleh MRP RI diatas tadi sebagai potensi terbukanya ruang korupsi. Mungkin ini mengaca pada kasus maraknya gubernur dan bupati yang tertangkap KPK karena menggarong uang rakyat. Disinyalir, garongan dilakukan untuk mengganti biaya yang telah di keluarkan dulu saat masih dalam proses lobby politik dan kampanye.
Tapi dalam pandangan saya, alasan demikian layak diperdebatkan. Mengingat para kepala daerah yang divonis bersalah karena korupsi, tidak terbatas pada mereka yang dipilih langsung oleh rakyat. Tak sedikit pula gubernur atau bupati, yang diciduk oleh KPK justru merupakan produk anggota DPRD, terutama pada rentang pemilihan tahun 2003 hingga 2008.
Jadi, apakah gubernur atau bupati dipilih oleh DPRD atau oleh rakyat, bukan jaminan hilangnya perilaku koruptif oleh kepala daerah. Namanya bukan jaminan, maka adanya perubahan arah pilkada sebagaimana diwacanakan oleh Wantingpres dan MRI RI tidak akan menyelesaikan masalah. Malah bisa jadi dapat menimbulkan masalah baru yang mungkin lebih pelik.
Misal adanya perubahan arah sebab-sebab munculnya perilaku koruptif. Ketika pilkada langsung oleh rakyat, para kandidat diharuskan menyusun serangkaian program kampanye, membuat atribut pengenalan calon sekaligus juga membentuk tim sukses. Belum lagi kebiasaan kasih amplop kepada pemilih. Rakyat memang tidak minta. Tapi para kandidatlah yang “ikhlas” memberikan.
Anda tahu, beberapa kegiatan tersebut butuh dana sangat besar. Kabarnya, seorang kandidat yang bertarung di tingkat kabupaten sebagai calon bupati, harus mampu menyediakan fresh money sekitar puluhan hingga ratusan milyard rupiah.
Sementara untuk tingkat provinsi sebagai calon gubernur, sekitar ratusan milyard hingga trilyunan. Bisa dibayangkan berapa banyak perputaran dana disuatu daerah ketika sedang berlangsung ajang pilkada.
Nah, dana milyrad-tan hingga trilyunan tersebut justru berpotensi pindah jalur, jika pilkada jadi dirubah ke pemilihan tidak langsung. Yang tadinya untuk dana kampanye, kebutuhan atribut, biaya operasional tim sukses dan amplop, lalu berubah aliran ke para anggota DPRD. Sebagai apalagi kalau bukan dalam rangka mempermulus, mempermudah, memperlancar dan memenangkan pertarungan.
Jadi, kalau bicara potensi sebagaimana dimaksud oleh MRP RI diatas, sebenarnya sama saja. Baik pilkada langsung oleh rakyat maupun tak langsung oleh anggota DPRD, sama-sama berpeluang membuka perilaku koruptif oleh calon pejabat daerah yang menang kontestasi. Dengan cara memanfaatkan jabatan dan kekuasaan setelah dilantik jadi gubernur maupun bupati.
Menurut saya, alasan MPR RI sangat naif. Tujuan yang ingin dicapai terlalu sempit jika harus mengorbankan pilkada langsung. Kalau alasannya adalah untuk mengurangi perilaku korupstif para pejabat daerah, maka yang perlu dibenahi sesungguhnya bukan model pilkadanya. Tapi perbaiki regulasi dan mental calon pejabatnya.
Perubahan regulasi dimaksud bisa tertuju pada upaya preventif mencegah korupsi. Misal amandemen jenis hukuman maksimal para koruptor. Dari putusan jumlah waktu tahunan atau seumur hidup seperti selama ini terjadi, menjadi vonis mati.
Di China, perubahan demikian sangat efektif menekan jumlah pejabat koruptif. Tentu sangat asyik dan menggembirakan kalau vonis mati berlaku di negara kita Indonesia.
Amendemen juga perlu dilakukan terhadap syarat calon peserta atau kandidat. Bagi calon yang punya status mantan narapidana, tak boleh diberi ruang untuk mencalonkan diri seumur hidup.
Pokoknya, siapapun orangnya, apakah pejabat, pengusaha atau orang biasa yang pernah divonis bersalah karena korupsi, berapapun nilainya, entah sedikit apalagi banyak, dianggap tak memenuhi syarat untuk jadi kandidat di perheletan pilkada.
Kalau mau usaha dan berpikir keras, banyak sebenarnya konsep yang bisa dijadikan media pencegahan korupsi. MPR RI bisa mengundang banyak pakar dari berbagai jenis disiplin ilmu, terutama ahli hukum, untuk menampung masukan.
Guna dijadikan landasan menyusun nomenklatur dalam regulasi, sebagai langkah strategis pencegahan korupsi. Tanpa harus, sekali lagi, merubah model pilkada dari langsung menjadi tak langsung.
Pilkada langsung sudah berjalan sekitar hampir empat periode. Dan selama ini, secara pelaksanaan relatif berlangsung dengan baik. Beberapa tahun kedepan, saya yakin akan bertambah lebih lagi lagi.
Seiring meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang politik. Kalau dirubah kembali dipilih oleh anggota DPRD, jelas merupakan langkah mundur. Akibatnya, pilkada langsung sulit mencapai kata sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H