Nah, dana milyrad-tan hingga trilyunan tersebut justru berpotensi pindah jalur, jika pilkada jadi dirubah ke pemilihan tidak langsung. Yang tadinya untuk dana kampanye, kebutuhan atribut, biaya operasional tim sukses dan amplop, lalu berubah aliran ke para anggota DPRD. Sebagai apalagi kalau bukan dalam rangka mempermulus, mempermudah, memperlancar dan memenangkan pertarungan.
Jadi, kalau bicara potensi sebagaimana dimaksud oleh MRP RI diatas, sebenarnya sama saja. Baik pilkada langsung oleh rakyat maupun tak langsung oleh anggota DPRD, sama-sama berpeluang membuka perilaku koruptif oleh calon pejabat daerah yang menang kontestasi. Dengan cara memanfaatkan jabatan dan kekuasaan setelah dilantik jadi gubernur maupun bupati.
Menurut saya, alasan MPR RI sangat naif. Tujuan yang ingin dicapai terlalu sempit jika harus mengorbankan pilkada langsung. Kalau alasannya adalah untuk mengurangi perilaku korupstif para pejabat daerah, maka yang perlu dibenahi sesungguhnya bukan model pilkadanya. Tapi perbaiki regulasi dan mental calon pejabatnya.
Perubahan regulasi dimaksud bisa tertuju pada upaya preventif mencegah korupsi. Misal amandemen jenis hukuman maksimal para koruptor. Dari putusan jumlah waktu tahunan atau seumur hidup seperti selama ini terjadi, menjadi vonis mati.Â
Di China, perubahan demikian sangat efektif menekan jumlah pejabat koruptif. Tentu sangat asyik dan menggembirakan kalau vonis mati berlaku di negara kita Indonesia.
Amendemen juga perlu dilakukan terhadap syarat calon peserta atau kandidat. Bagi calon yang punya status mantan narapidana, tak boleh diberi ruang untuk mencalonkan diri seumur hidup.Â
Pokoknya, siapapun orangnya, apakah pejabat, pengusaha atau orang biasa yang pernah divonis bersalah karena korupsi, berapapun nilainya, entah sedikit apalagi banyak, dianggap tak memenuhi syarat untuk jadi kandidat di perheletan pilkada.
Kalau mau usaha dan berpikir keras, banyak sebenarnya konsep yang bisa dijadikan media pencegahan korupsi. MPR RI bisa mengundang banyak pakar dari berbagai jenis disiplin ilmu, terutama ahli hukum, untuk menampung masukan.Â
Guna dijadikan landasan menyusun nomenklatur dalam regulasi, sebagai langkah strategis pencegahan korupsi. Tanpa harus, sekali lagi, merubah model pilkada dari langsung menjadi tak langsung.
Pilkada langsung sudah berjalan sekitar hampir empat periode. Dan selama ini, secara pelaksanaan relatif berlangsung dengan baik. Beberapa tahun kedepan, saya yakin akan bertambah lebih lagi lagi.Â
Seiring meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang politik. Kalau dirubah kembali dipilih oleh anggota DPRD, jelas merupakan langkah mundur. Akibatnya, pilkada langsung sulit mencapai kata sempurna.