Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies Capres Nasdem, Jangan Bergembira Dulu

4 Oktober 2022   07:21 Diperbarui: 4 Oktober 2022   07:32 1375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anies Baswedan, | Foto: Kompas.com/Adhyasta Dirgantara

Partai Nasdem secara resmi memilih Anies Baswedan sebagai capres untuk ditarungkan pada pilpres 2024. Keputusan Nasdem disampaikan sendiri oleh Ketumnya Surya Paloh

Dikutip dari Kompas.com, 03/10/2022, kata Paloh “Pilihan capres Nasdem adalah yang terbaik daripada yang terbaik. Inilah akhir Nasdem memberikan seorang sosok kepada Anies”.

Tentu keputusan Nasdem yang lebih cepat dari waktu yang direncanakan itu membawa kabar gembira bagi pendukung Anies. Penantian lama yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Anies mendapat labuhan partai. Sebuah kondisi yang merupakan syarat mutlak bagi seorang politisi untuk bisa maju menjadi kandidat calon presiden.

Cuma kepada para pendukung Anies, terutama partai Nasdem dan para pengurus lain, saya sarankan sebaiknya jangan terlalu lama bergembira. Mengapa, karena dalam konteks pendaftaran capres ke KPU, kondisi partai Nasdem tidak sama dengan potensi yang dimiliki oleh PDIP maupun Koalisi Indonesia Raya atau KIR milik Gerindra PKB.

Ingat, Nasdem hanya sendirian. Perolehan suaranya cuma 9.05 persen. Sangat jauh jika dihadapkan pada ketentuan pengajuan capres cawapres yang hingga 20 persen. Sementara PDIP dan KIR sudah memenuhi syarat. Maka rasa gembira tak kunjung tuntas seperti saran diatas, bisa menyebabkan ternina bobok. 

Ini berbahaya bagi keberlanjutan pencalonan Anies dan Nasdem sendiri. Bisa-bisa, lupa melakukan langkah lanjutan untuk melobi parpol lain, agar jumlah persentase suara masuk kriteria KPU.

Sebaliknya, untuk sementara ini bagi pendukung PDIP dan Gerindra PKB sudah dapat bernafas lega, walaupun juga tentu tak boleh lengah. Karena perkembangan kedepan masih belum tahu akan seperti apa. 

Dari sudut pandang syarat elektoral, parpol milik Megawati dan koalisi besutan Prabowo Cak Imin telah masuk kriteria. PDIP cukup 20 persen dan gabungan suara Gerindra PKB mencapai angka 22.26 persen.

Lalu kapan partai Nasdem dan para pendukung Anies bisa bergembira..? Jawabnya, saat sudah ada kepastian tentang parpol yang mau bergabung dengan Nasdem dan suaranya cukup. 

Ini juga sebagai dukungan bagi Anies dalam hal mencari cawapres. Sebagaimana disampaikan Paloh, bahwa soal kandidat cawapres Anies dipersilahkan untuk mencari sendiri.

Lha bagaimana hendak menentukan pendamping jika suara belum cukup. Tentu ini merupakan problem tersendiri. Dan pada situasi inilah sebenarnya yang cukup berbahaya, baik bagi Nasdem maupun Anies sendiri. 

Jika tak piawai melakukan lobby dan kaku berdiplomasi, akan percuma itu keputusan partai Nasdem. Bisa-bisa, pencalonan Anies bagai otopia, hanya mimpi disiang bolong.

Ada istilah dalam dunia politik yang hingga kini masih diakui kebenarannya. Bahwa tak ada kawan yang abadi, kecuali kepentingan abadi. Melakukan lobby dan diplomasi dalam politik, berarti juga harus bisa memenuhi permintaan calon kawan. Masalahnya sekarang, bisakah partai Nasdem dan Anies memberikan sesuatu terhadap keinginan parpol yang hendak dirangkul menjadi teman koalisi..?

Menarik satu atau dua partai ke Nasdem tentu tak bisa gratis. Sekali lagi, harus ada semacam kompensasi yang menjadikan calon koalisi tertarik gabung ke Nasdem dan dukung Anies sebagai capres. 

Dalam konteks politik untuk pilpres 2024, kompensasi tersebut mungkin berupa syarat jadi cawapres Anies, permintaan dana operasional, porsi menteri di kabinet jika sudah menang dan sebagainya. Namun apapun jenisnya, yang penting dapat memikat parpol lain.

Untuk tahu lebih detail bagaimana kemungkinannya, mari kita flashback kebelakang tengok data persentase hasil suara pemilu legislatif tahun 2019. Berturut-turut secara ranking ada PDIP sebesar 19.33%. Lalu Gerindra 12.57%, Golkar 12.31%, PKB 9.68%, Nasdem 9.05%, PKS 8.21%, Demokrat 7.77%, PAN 6.84% dan terakhir di nomor buncit ada PPP sejumlah 4.52%.

Untuk kemungkinan dijadikan teman koalisi oleh Nasdsem, mari kita pisahkan yang sementara ini sudah relatif “solid” dan yang masih ngambang. Untuk kelompok solid, ada PDIP yang bisa berangkat sendiri. Juga ada KIR hasil gagasan Gerindra PKB yang bahkan sukses mengikat pertemanan dalam bentuk MoU. 

Jadi, baik PDIP maupun KIR, keduanya tinggal tunggu siapa parpol yang  hendak mau begabung. Ada ya syukur. Tak adapun bisa jalan terus.

Jika Nasdem ingin menarik PDIP atau KIR, saya kira sangat sulit. Kendalanya banyak sekali dan sangat prinsip. Seperti soal kandidat. Baik PDIP dan KIR sudah ditentukan capresnya. 

Tak mungkin keduanya menurunkan level menjadi cawapres hanya demi menuruti kemauan Nasdem untuk manaikkan Anies sebagai Capres. Sama-sama capres, lebih tak mungkin lagi. Ini ibarat menunggu datangnya lebaran kuda kata mantan presiden kelima RI Pak SBY.

Fix, PDIP dan KIR kita keluarkan dari kemungkinan gabung ke Nasdem. Sekarang masih ada Golkar, PKS, Demokrat, PAN dan PPP. Kita lihat Golkar dulu. Meski tak begitu kuat sebagaimana PDIP, level Golkar juga ada di atas Nasdem. 

Ketumnya Erlangga Hartarto didorong jadi capres sama dengan Anies. Sementara perolehan suaranya, jauh diatas Nasdem. Maukah Golkar jadi “orang” kedua..? Saya kira tak kan mau. Masak partai tiga besar turun pangkat ada dibawah partai menengah. Gengsi dong.

Selanjutnya, mari kita lirik PKS, Demokrat, PAN dan PPP. Sekedar diketahui, jika Nasdem hendak pilih salah satu diantara keempatnya untuk menarik vox pop lebih besar, tidak bisa kalau hanya satu partai. Karena suaranya tak cukup memenuhi syarat presidential threshold. 

Buktinya, gabungan suara Nasdem dengan PKS hanya dapat 17.76%. Demokrat 16.82%. PAN 15.89%. Dan gabungan suara dengan PPP lebih kecil lagi, cuma sebesar 13.57%. Semuanya tak memenuhi syarat.

Baru bisa masuk kalau keempatnya “diambil” dua parpol. Saya hitung, gabungan Nasdem dengan dua parpol diantara keempatnya, siapapun itu, dapat memenuhi syarat presidential threshold. Yang sudah pernah “dicoba” adalah gabungan Nasdem, Demokrat dan PKS. Cuma sebagaimana kita tahu bersama, rencana ketiganya nampaknya kandas. Kabar yang beredar, katanya sich karena ada ketidak cocokan soal kandidat cawapres.

Naah, sekarang tinggal kemungkinan gabungan Nasdem dengan PAN dan PPP. Dimaklumi, partai “punya” Zulkifli Hasan dan pemilik baru Pak Mardiono tersebut sudah ada di Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB. 

Persoalannya, jika PAN dan PPP tetap di KIB, sulit bagi Nasdem masuk lalu menyodorkan nama Anies sebagai capres. Mengapa, karena disitu ada Golkar. Ini situasi yang tak jauh beda dengan usaha Nasdem untuk menarik Golkar seperti gambaran diatas tadi.

Maka kalau ingin PAN dan PPP bergabung, Nasdem harus bisa meyakinkan keduanya untuk keluar dari KIB. Pertanyaanya, bisakah itu terjadi..? Jawabnya, bisa ya bisa pula tidak. Kalau iya, maka Nasdem tentu harus punya tawaran sangat menarik. Utamanya soal kompensasi cawapres, dana operasional dan porsi menteri dikabinet atau yang lainnya sesuai kesepakatan diantara mereka.

Lalu sekarang, kira-kira siapa diantara PAN dan PPP yang mau dengan tawaran salah satu, salah dua atau malah maunya salah tiga..? Kondisi ini yang sangat dilematis. 

Jangan-jangan, baik PAN maupun PPP sama-sama ingin cawapres. Atau kalau tidak, bisa ajukan dana kompensasi yang cukup menggiurkan. Untuk tawaran porsi kabinet, menurut saya kurang begitu menarik. Karena kadar kepastiannya masih fifty-fifty. Ya kalau menang. Kalau kalah, kan bisa “tak dapat” apa-apa.

Seumpama dapat cawapres dan kompensasi dana di awal, tentu lebih menguntungkan. Naik jadi cawapres Anies berakibat elektoral terdongkrak. Dapat dana operasional diawal, lumayan bisa tak kesulitan finansial untuk kepentingan konsolidasi partai kedepan. 

Jika sesuai permintaan, saya tebak tentu jumlahnya bikin melongo kita-kita yang ada dibawah, masih bisa diterima dengan senang hati. Meskipun nantinya kalah saat bertarung di pilpres 2024.

Bagaimana Nasdem, sudah siapkah dengan berbagai kemungkinan di atas..? Kalau melihat patronase Nasdem dan mentor Anies, ditambah beberapa kader dan kolega yang lain, bisa jadi Nasdem sudah siapkan itu semua. Masak politisi sepuh jebolan Golkar sekelas Yusuf Kalla yang merupakan mentor Anies dan Surya Paloh pemilik berbagai media yang ada dibelakang Anies tak mampu memenuhi itu semua. Nonsen kan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun