Kasihan sekali bapak ini. Uangnya sekitar 100 jutaan dihabisi rayap. Hewan kecil yang juga disebut anai-anai atau semut putih itu, rupanya punya standard super tinggi. Mengalahkan para konglomerat. Kalau mereka cukup menikmati hasil olahan bahan mentah, si rayap yang juga doyan menelan kayu, justru makan alat tukarnya, yakni uang.
Ya benar, bagaimana tak kasihan. Sebagaimana laporan Kompas.com 13 September 2022. Ada seorang bapak bernama Samin. Punya profesi sebagai penjaga sekolah di SDN Lojiwetan Pasar Kliwon Solo, Jawa Tengah, mengalami nasib sial. Uang hasil jerih payah dari usaha jualan yang ditabung selama 2.5 tahun, ludes tinggal sobekan kecil-kecil akibat di "doyani" rayap.
Disarikan dari sumber yang sama, disamping sebagai penjaga sekolah, Pak Samin dan istri ada usaha sampingan buka usaha kantin. Gaji sebagai penjaga dipakai untuk kebutuhan sehari-hari. Sementara hasil dari kantin ditabung. Lumayan, sehari bisa mengumpulkan uang  antara 100 hingga 200 ribu.
Sayang Pak Samin salah pilih tempat. Tak menerapkan prosedur money safety yang benar. Bukannya cari bank konvensional, hasil kantin justru ditabung dalam dua celengan plastik. Satunya warna hijau. Yang lain ungu. Dua-duanya taruh di tempat tidur. Si rayap nampaknya ngerti juga. Bahwa kalau cuma makan tempat peraduan Pak Samin, kurang bergengsi. Berapa sich harga maksimalnya. Paling cuma ratusan ribu. Mending pilih uang di celengan yang ratusan juta. Lumayan. Bisa meningkatkan pamor sebagai makhluk super kaya.
Anda tahu, uang itu ternyata untuk keperluan setor ibadah haji. Kata Pak Samin menerangkan, "Saya kan punya keinginan daftar haji. Saya punya rejeki sedikit demi sedikit tak masukin ke kaleng itu, kurang lebih sudah 2.5 tahun sebelum covid". (Kompas.com, 13/09/2022). Terus terang, ini niat disertai usaha yang betul-betul luar biasa mulia. Saya yakin, melihat upaya Pak Samin, kelak Allah SWT berkenan memberi beliau anugerah pahala sangat besar. Amiinn..
Sekarang, bagaimana nasib Pak Samin selanjutnya soal niat haji ke tanah suci..? Secara kewajiban sudah gugur. Artinya, Pak Samin dianggap telah menyelesaikan rukun islam kelima itu, meskipun yang bersangkutan belum melaksanakan ibadah haji. Mengapa, karena dalam ajaran islam, niat lebih utama dibanding amal atau perbuatan.
Dikutip dari penjelasan NU Online, 4 November 2018, soal implementasi niat digambarkan sebagai berikut. Pertama, ada seorang muslim punya niat melakukan amal baik dan diberi kesempatan oleh Allah untuk melaksankannya. Maka kepadanya diberi pahala yang makin lama tambah meningkat. Dimulai dari hitungan 10 kebaikan, lalu naik jadi 700 dan akhirnya hingga berkali-kali lipat tak terhitung.
Kedua, seorang muslim punya niat melakukan amal baik dan ada kemampuan untuk mewujudkan. Namun karena halangan tertentu yang dibenarkan oleh syarak, niatnya tak jadi dilaksanakan. Maka kepada yang bersangkutan, Allah SWT tetap memberi pahala. Tapi nilainya hanya satu saja. Cuma, meskipun hanya satu, kedudukan pahalanya masih punya nilai sempurna.
Ketiga, seorang muslim punya niat melakukan kebaikan, namun tidak punya kemampuan. Maka kepada yang bersangkutan Allah SWT tetap memberikan pahala sebagaimana seorang muslim yang sanggup melaksanakannya. Ukuran disini bukan karena ada halangan. Tapi karena kekuatan untuk melaksanakan niatnya memang tak ada. Contoh, hendak pergi haji tapi tak punya cukup uang.
Pada kasus Pak Samin, bisa masuk dua ketegori sekaligus. Bisa yang kedua, maupun ketiga. Penjelasannya demikian. Awalnya, beliau ini tergolong sebagai muslim yang dianggap mampu beribadah haji. Sebab sudah berhasil mengumpulkan uang sebagai ongkos. Namun belum dapat berangkat, karena terhalang tak bisa setor biaya haji karena uangnya dimakan rayap.
Tapi disamping itu, beliau sebenarnya juga tergolong sebagai muslim yang punya niat, tapi tak mampu melakukannya. Mengapa demikian..? Karena saat ini, Pak Samin sudah tak memiliki harta benda lagi untuk dipakai sebagai keperluan naik haji. Jadi, posisi Pak Samin sekarang sudah seperti muslim lain yang tak punya kewajiban melaksanakan rukun islam terakhir itu.
Baik ukuran ada niat tapi belum terlaksana karena terhalang, ataupun ada niat namun tak punya kemampuan melaksanakan, sama-sama bernilai positif bagi Pak Samin. Jika mengacu pada keduanya, maka Pak Samin sudah dianggap melaksanakan ibadah haji. Jika diukur dari yang terakhir, beliau ini sejajar posisinya dengan para jamaah yang sudah pulang dari melaksanakan ibadah haji.
Bahkan kalau melihat kondisi ekonomi Pak Samin yang tergolong bukan konglomerat, hanya seorang penjaga SD yang gajinya tak seberapa, keyakinan saya beliau ini tergolong sudah haji mabrur. Walaupun, sekali lagi, belum pernah menginjakkan kaki di tanah suci. Mengapa, karena niatnya untuk bisa datang ke Mekkah Madinah memerlukan usaha amat sangat berat. Disamping harus aktif menjaga sekolah, masih ditambah mesti buka kantin bersama istri.
Beda dengan konglomerat yang secara financial sangat cukup. Kalau yang ini, tiap saat bisa setor uang haji. Mau besok kek, nanti atau sekarang juga, tinggal datang ke Bank, beres dah. Bagi golongan ini, setor ongkos haji yang jumlahnya cuma puluhan juta, merupakan hal sepele. Tapi sebaliknya bagi Pak Samin, uang puluhan juta mesti diperjuangkan dengan cara mengencangkan ikat pinggang seketat mungkin dan rajin mengumpulkan uang hingga tahunan lamanya.
Lepas kewajiban melaksanakan ibadah haji seperti Pak Samin, berlaku juga bagi calon jamaah yang sudah setor ongkos ke bank, namun belum juga berangkat, sebab ada ketentuan kuota dari pemerintah Arab Saudi. Kita sudah maklum, bahwa tidak semua umat islam seenaknya bisa berangkat kapan saja ke Arab Saudi untuk berhaji. Karena ada keterbatasan tempat, mereka harus tunggu belasan hingga puluhan tahun.
Naah, golongan muslim seperti mereka ini, kalau pada suatu ketika (naudzubillah semoga kita panjang umur) meninggal dunia dan belum sempat berhaji, maka menurut saya posisinya dihadapan Allah sebenarnya punya nilai yang sama dengan seorang muslim yang sudah pernah melaksanakan syarat dan rukun haji di Mekkah Madinah.
Jadi, bagi Pak Samin dan kaum muslimin yang sudah punya kuota haji, tak perlu resah dan khawatir jika hingga saat ini belum berangkat akibat ada batasan. Biar dah nunggu sangat lama. Itu tak mengapa. Karena hakikatnya anda semua sudah gugur kewajiban. Jika masih bersikeras tetap berangkat perkara ingin sekali ziarah ke makam Nabi Muhammad, laksanakan saja ibadah Umroh. Saya kira, ini sikap terbaik daripada menyesali uang yang sudah kadung disetor namun belum ada kepastian kapan dipanggil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H