Yang lagi ramai sekarang soal komentar pensiunan jadi beban negara oleh Menteri Keuangan Ibu Sri Mulyani, sebenarnya bukan begitu maksudnya. Hal tersebut mungkin hanya untuk keperluan efisiensi judul berita.Â
Meski demikian, itupun tidak salah. Wong namanya judul, ya harus ringkas dan menarik pula. Makanya, kalau jadi penikmat berita, yang rupanya ini kebiasaan sebagian besar dari kita, jangan hanya baca judul lalu kasih kesimpulan. Ada baiknya ikuti beritanya hingga tuntas. Agar tak salah persepsi.
Dikutip dari Kompas.com, 24/08/2022, secara rinci Bu Menteri mengatakan "pembayaran pensiunan seluruhnya mengandalkan APBN. Kondisi tersebut dinilai membebani APBN dalam jangka panjang".Â
Lebih lanjut kata Bu Menteri "(Dana) pensiunnya mereka enggak pernah membayarkan, tetapi yang membayarkan APBN penuh. Ini tidak kesimetrian dan memang akan menimbulkan suatu resiko dalam jangka yang sangat panjang".
Itu persisnya yang dikatakan beliau. Jadi, bukan mengacu pada person. Tapi kepada dana pensiun yang dibayarkan. Dipikir secara logis, itu memang masuk akal. Sekarang saja, masih kata Bu Menteri, dana pensiun mencapai Rp 2.800 Triliun yang seluruhnya mengandalkan APBN.Â
Terlebih, itu akan dibayarkan secara terus-menerus, bahkan ketika pegawai sudah meninggal, yakni untuk pasangan dan anak hingga usia tertentu. Ini akan menimbulkan suatu resiko dalam jangka yang sangat panjang. Apalagi nanti kalau di lihat jumlah pensiunan dapat makin meningkat. Tentu beban APBN akan lebih besar lagi.
Solusinya, negara punya rencana mengubah skema pembayaran pensiun. Dari yang semula berbentuk Pay As You Go menjadi Fully Funded. Dikutip dari CNN, 27 Agustus 2022, Pay As You Go punya model himpun iuran aparatur pemerintah lewat PT Taspen.
Jumlah dana himpun sebesar 4,75 persen dari gaji pokok ditambah tunjangan istri dan anak. Dipotong tiap bulan selama masih aktif menjadi aparat negara. Lalu ditambah dana APBN. Hasilnya, diberikan kelak ketika sudah pensiun secara bertahap yang juga dalam hitungan bulanan. Bukan sekaligus.
Adapun keuntungan Pay As You Go adalah :Â
Pertama, potongan tiap bulan tak terlalu besar karena dihitung berdasar gaji pokok plus tunjangan anak istri.Â
Kedua, ada kepastian secara finansial sebab diberikan secara rutin tiap bulan.Â
Ketiga, jangka waktunya lama atau untuk seterusnya hingga mencapai batas sesuai regulasi.Â
Keempat, mengikuti aturan kenaikan gaji ASN aktif.Â
Kelima, juga mendapat tunjangan gaji ketigabelas. Adapun kelemahan skema ini adalah, dana yang diberikan lebih kecil dibanding saat masih aktif.
Sekarang mari kita tengok jika menggunakan skema Fully Funded. Skema ini merupakan sistem pembayaran pensiun yang dilakukan secara patungan antara ASN dengan pemerintah selaku pemberi kerja.Â
Hanya saja, meskipun patungan, dana iuran yang dipotong dari gaji bulanan lebih besar dibanding " bantuan" dari APBN. Sementara untuk Pay As You Go, makin lama uang pemerintah justru banyak tersedot.
Keuntungan dari skema ini adalah, pertama, tidak membebani keuangan negara. Kedua, yang diterima oleh pensiunan sangat besar. Ketiga, pensiunan punya modal untuk buka usaha baru setelah masuk usia pensiun. Adapun kelemahannya adalah, pertama, iuran bulanan agak berat karena dihitung dari take home pay. Kedua, hanya satu kali untuk selamanya.
Pay As You Go cocok bagi pensiunan yang tidak ingin ribet. Begitu tak aktif sebagai PNS, sudah tak ada lagi niat melakukan aktifitas berat-berat. Maunya rileks main sama cucu atau kegiatan santai lainnya.Â
Sementara itu, Fully Funded sangat pas jika pensiunan adalah seorang kreatif yang senang menekuni dunia usaha. Uang pensiun yang jumlahnya ratusan juta bahkan hingga milyard-tan itu, bisa berkembang lebih besar lagi.
Didaerah saya, para pensiunan banyak aktif dibidang pertanian. Usaha ini ditekuni bahkan hingga jauh sebelum masuk masa pensiun. Caranya, kelebihan gaji dikumpulkan sedikit demi sedikit. Lalu mencari tawaran sewa tanah garapan.Â
Jika sudah dapat, biasanya ditanami padi atau komoditas lain. Sementara waktu cari buruh untuk ngurus. Dan sekali tempo, jika kelar kerjaan atau lagi liburan, baru tengok sendiri ke sawah.
Hasilnya lumayan. Bagusnya, hasil tersebut tidak untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi ditabung. Untuk sehari-hari diambilkan dari gaji atau dana pensiun.Â
Lama kelamaan, tabungan makin banyak. Kalau dirasa sudah cukup, cari tawaran beli tanah garapan sendiri. Demikian seterusnya skema itu dilakukan. Alhamdulilah, banyak yang sukses dengan cara ini. Bahkan setelah dibanding, hasil dari tanah garap jauh lebih besar daripada gaji apalagi dana pensiun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H