Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pilihan Tak Sesuai, Biaya Kuliah Jadi Mahal

5 Agustus 2022   09:05 Diperbarui: 8 Agustus 2022   01:26 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mahasiswa sedang mengalami masalah saat ujian, Foto Dok Pexels via Kompas.com

Mahal artinya punya harga tinggi. Namun ini relatif. Sebab terkait dengan persepsi, kebutuhan dan sesuatu yang hendak dibeli. 

Bagi orang kaya yang duitnya tak terhitung, setinggi apapun harganya tentu bukan masalah. Pasti terbeli. Sedang yang duitnya hanya sedompet, mungkin masih pikir-pikir. Cuma, ini tergantung orangnya juga. 

Baik kaya maupun cuma sedompet, kalau lagi butuh, ya pasti dibeli juga. Meskipun proses pemenuhannya beda. Yang kaya langsung ambil saat itu juga. Sementara yang sedompet, bisa jadi butuh waktu.

Pun demikian dengan barang. Mahal tidaknya bersifat relatif. Biasanya tergantung perbandingan. Barang sama tapi kualitas bagus, harga tinggi dianggap wajar. Tapi kalau pas-pasan apalagi jelek, dibawah hargapun tetap dianggap mahal. 

Makanya kita harus curiga, jika ada seller jual barang, tapi jor-joran kasih diskon besar hingga harganya setengah lebih murah di banding seller lain. Jangan-jangan barang palsu atau KW-10. Menurut saya, soal biaya kuliah juga seperti itu. Mahal tidaknya tergantung kredibilitas lembaga, jurusan dan kebutuhan mahasiswa.

Banyak faktor penyebab mahalnya biaya kuliah. Secara umum, saya melihat ada dua. 

Pertama karena gengsi. Universitasnya tergolong bonafit. Alumninya banyak yang menjadi pejabat penting, orang terpandang dan pengusaha sukses. Akibatnya, menjadi tujuan dominan diantara universitas-universitas lain. 

Baik orangtua maupun calon mahasiswa, sangat mengidamkan masuk di sini. Saat mengisi cek list nama kampus yang dinginkan dalam berkas pendaftaran, menjadi pilihan utama.

Kedua, karena fakultas atau jurusan. Yang tergolong mahal adalah Fakultas Penerbangan atau Aviasi, Kedokteran, Seni dan Broadcasting. Tentu Anda sudah paham, berapa biaya masuk fakultas-fakultas tersebut. Berkisar puluhan hingga ratusan juta rupiah. 

Jangan banding dengan biaya di fakultas lain ya. Sangat jauh. Bagai langit dan bumi. Misal Teknik Pengairan, Ilmu Perpustakaan, Teknologi Bioproses, Pendidikan Olahraga, Ilmu Sejarah, Agribisnis, Pengolahan Hasil Perikanan, Teknologi Industri Pertanian, Akuakultur, dan Akuntansi Keuangan Publik. Di sini, biayanya cuma kisaran lima ratus hingga satu jutaan.

Melihat kondisi di atas, rasanya tidak fair menuding sebuah universitas dianggap berbiaya mahal dan karena itu tidak perlu dipilih atau sebaliknya. Tanpa melihat faktor-faktor di atas tadi. 

Seyogianya, hal-hal tersebut juga dijadikan pertimbangan saat hendak pilih universitas atau jurusan. Jangan asal pilih. Apalagi karena ikut-ikutan. Ingat, tujuan pendidikan adalah untuk mengenali potensi dasar yang diberikan Tuhan. 

Yang dengan pendidikan itu, lalu dikembangkan. Agar jadi modal mengarungi kehidupan dunia. Kebanyakan, manusia-manusia sukses di dunia ini lahir dari pilihan pendidikan yang benar. Meskipun ada juga yang salah pilih tapi tetap sukses.

Misal comedian Cak Lontong. Masuk jurusan tekni, tapi jadi pelawak. Saat memberi sambutan di ITS ketika menerima penghargaan, dia mengatakan sebagai lulusan ITS yang tersesat di jalan yang digeluti sekarang ini. Bukan jadi "insinyur", tapi justru seniman.

Sebuah profesi yang sangat bertolak belakang dibanding gelar sarjana yang disandang Cak Lontong. Dalam sebuah acara, Pak Nuh mantan Menteri Pendidikan, bahkan memperkenalkan lulusan ITS tersebut sebagai alumni yang sukses di jalan yang sesat. Demikian Cak lontong.

Pada posisi lain, ada juga yang tanpa sedikit pun menyentuh pendidikan tinggi, namun sukses diakui kredibilitasnya secara keilmuan. Bahkan disejajarkan dengan mereka yang punya gelar professor doctor. Contoh Gus Baha atau KH. Bahauddin Nursalim. 

Seorang ulama alim 'allamah yang berasal dari rembang Jawa Tengah. Meskipun lulusan non formal pesantren dan tak bergelar sarjana S-1 sekalipun, beliau punya jabatan mentereng di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 

Gus Baha dipercaya sebagai Ketua Tim Lajnah Mushaf Quran. Sebuah jabatan yang sebenarnya pantas diemban oleh lulusan pendidikan tinggi macam ahli tafsir Prof. Doktor Quraish Shihab.

Tapi perlu Anda ingat. Bahwa yang begitu itu tidak banyak. Hanya dapat dihitung pakai jari. Bisa jadi, itu semacam "hadiah" dari Tuhan. Yang tidak sembarang orang bisa mendapatkannya. Kecuali mereka yang terpilih. 

Karena itu, pengecualian macam Cak Lontong dan Gus Baha jangan dijadikan pedoman atau tips menjadi orang sukses. Dalam konteks pendidikan, seyogianya harus tetap bersikap wajar. Yakni pilih universitas dan jurusan yang sesuai dengan potensi dan kondisi keuangan.

Yang patut diambil dari mereka berdua adalah semangatnya. Biarlah Anda diterima masuk hanya di universitas biasa-biasa saja. Acuhkan juga cibiran orang karena biayanya murah. Asal ketika lulus nanti, Anda betul-betul dapat menyerap ilmu secara maksimal dan potensi terkembang sempurna. Hingga akhirnya, Anda dibutuhkan dan "dikejar-kejar" banyak pihak. Mengapa? Karena tenaga dan keterampilan anda menjadi prioritas yang mereka cari.

Anda jangan maksa cari universitas karena gengsi dan kejar nama. Hingga berakibat biaya kuliah mahal. Nanti pasti jadi masalah. Tentukan yang sesuai potensi dan kondisi dana. Agar hasil pendidikan sesuai harapan dan tidak putus tengah jalan. 

Berbiaya mahal tapi salah pilih, hasilnya tidak maksimal. Bisa jadi, keterampilan yang didapat nanggung. Jika begini, selamanya Anda tidak akan pernah jadi professional. Sebaliknya, jangan paksakan masuk pendidikan tinggi yang berbiaya mahal, kalau itu diluar jangkauan ekonomi. 

Meskipun sesuai dengan potensi dan memang itu yang diidam-idamkan. Mengapa, karena muncul kemungkinan tidak selesai. Risikonya, bukan ilmu dan gelar sarjana yang didapat. Tapi keluar dari universitas. Sayang bukan...?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun