Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Memecat Tenaga Honorer Bukan Pilihan Baik

11 Juni 2022   09:41 Diperbarui: 11 Juni 2022   10:02 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel Utama Kompasiana tentang rencana pemerintah hapus honorer dan diganti outsourcing, menarik dibahas. Tayang pada 9 Juni 2022, artikel itu memuat pernyataan Bapak Tjahjo Kumolo, bahwa mulai tahun depan Kemenpan RB akan menghapus tenaga honorer dan menggantikannya dengan tenaga outsource. Alasannya, sebagaimana disarikan dari berita KompasTV, Selasa, 7 Juni 2022, rekruitmen tenaga honorer tidak tertata rapi. Menurut Pak Menteri, ketidakjelasan sistem rekrutmen berdampak pada pengupahan yang kerap kali di bawah UMR. Penataan tenaga non-ASN, lanjut Tjahjo, adalah amanat UU. No. 5/2014 tentang ASN yang disepakati bersama DPR RI.

Ditegaskan juga, penataan tenaga non-ASN dan penghapusan honorer adalah untuk membangun SDM yang lebih profesional dan sejahtera. Serta memperjelas aturan dalam rekrutmen. Harapannya, pengangkatan tenaga non-ASN nanti sesuai dengan kebutuhan instansi. Sepintas, ada tiga alasan pokok rencana dihapusnya tenaga honorer. Pertama, karena system rekruitment yang tidak memiliki regulasi jelas. Kedua, upah relative dibawah UMR. Ketiga, membangun SDM ASN profesional.

Beberapa alasan tersebut cukup masuk akal. Mengingat, rekruitment tenaga honorer yang dilakukan selama ini, memang terkesan sembarangan. Bahkan bisa jadi ada yang asal comot. Tidak bisa dibantah pula, untuk alasan tertentu kesejahteraan honorer yang kuantitas kerjanya hampir sama dengan ASN, kurang diperhatikan. Tak jarang, ada diantara mereka yang nyambi cari kesibukan lain. Agar ada tambahan uang belanja. Akibatnya, arah kegiatan menjadi tidak fokus. Hingga berakibat pada berkurangnya sikap profesionalisme kerja.

Namun demikian, yang lebih urgent untuk dibicarakan soal langkah Kemenpan-RB adalah dampak dari rencana tersebut. Pastinya, tahun depan jumlah pengangguran bisa bertambah. Mengingat, banyak tenaga honorer yang merupakan lulusan sekolah atau perguruan tinggi, tidak memiliki kemampuan menciptakan lapangan kerja sendiri. Yang bisa mereka harapkan hanya "belas kasih" penentu kebijakan, untuk bisa kerja di kantor instansi pemerintah.

Betul memang, jika diberhentikan tenaga mereka bisa disalurkan lewat jalur tes ASN atau PPPK. Tapi sebagaimana diketahui, kuotanya terbatas. Sementara total seluruh lulusan, jumlahnyan sangat banyak. Melebihi kuota ASN dan PPPK. Terlebih, alumni yang di produksi oleh sekolah atau perguruan tinggi, durasinya terjadi tiap tahun. Sementara rekruitmen ASN dan PPPK, hanya ada dalam skala dua tahunan atau bahkan lebih. Sehingga, terjadi overload. Kebutuhan ASN dan PPPK tidak seimbang dibanding banyaknya lulusan. Akibatnya, tidak semua peserta tes bisa diterima masuk kerja di instansi pemerintah.

Melihat fakta tersebut, menata tenaga honorer dengan cara diberhentikan tidak serta merta menyelesaikan masalah. Yang ada, makin tambah masalah. Ini tentu tidak sesuai dengan tujuan pemerintah mengurangi pengangguran. Malah sebaliknya, menghapus tenaga honorer justru menambah pengangguran itu sendiri. Pada sisi lain, harus diakui bahwa hingga saat ini usaha pemerintah membuka peluang kerja bagi anak-anak usia produkstif, belum juga maksimal.

Memang benar, mengutip Kompas.com, 09/05/2022, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia pada Februari 2022 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun lalu. Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, pada Februari tahun ini jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang, turun dari 8,75 juta orang pada Februari 2021.

Meskipun turun, angka pengangguran pada awal tahun 2022 masih lebih tinggi dibanding sebelum pandemi Covid-19. Pada Februari 2020 jumlah pengangguran hanya 6,93 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka/TPT sebesar 4,94 persen. Pada saat bersamaan, jumlah angkatan kerja juga bertambah sebesar 4,2 juta orang, yang tidak semuanya bisa diserap oleh pasar. Belum terjadi penghapusan saja, sudah sebesar itu. Bagaimana nanti jika tenaga honorer sudah dihapus. Pastinya, angka-angka soal pengangguran akan lebih meningkat lagi.

Dihadapkan pada data tersebut, alasan Kemenpan RB tentang upah honorer yang dibawah UMR dan penataan honorer, patut didiskuasikan lebih lanjut. Dalam hal ini, pasti serba sulit. Muncul semacam dilema yang sama-sama kurang menguntungkan. Saat tenaga honorer dihapus pada 2023 nanti, tidak terelakkan jumlah pengangguran akan bertambah. Tetap dibiarkan, gaji mereka kecil. Tidak sesuai aturan pemerintah tentang pengupahan.

Namun, jika pilihan sulit tersebut disodorkan kepada para honorer, saya yakin mereka akan loyal kerja di instansi pemerintah, walau gaji kecil. Lha daripada nganggur tidak ada kesibukan yang bisa mengasilkan uang, lebih baik tetap sebagai honorer. Mereka baru mau berhenti atau rela dipecat, kalau pemerintah dapat memberi kepastian peluang kerja ditempat lain. Lalu, bagaimana dengan usulan rekrut tenaga kerja model outsourcing..? Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum memutuskan kebijakan ini. Utamanya kalau ditinjau dari sisi efisiensi anggaran dan kewajiban pemerintah terhadap warganya.

Apa itu outsourcing..? Mengutip Kompas.com, 24/01/2022, berdasar UU Nomor 13 Tahun 2003, outsourcing adalah penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui dua mekanisme, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja. Outsourcing adalah lembaga penyedia jasa yang didirikan melalui persekutuan oleh dua orang atau lebih. Menurut saya, dari segi tujuan, outsourcing mirip sebuah perusahaan berbentuk CV. (commanditaire vennootschap) atau PT. (perseroan terbatas). Karena merupakan badan usaha atau perusahaan, maka tentu saja memiliki orientasi profit. Outsourcing didirikan untuk mencari untung. Bukan sebuah badan sosial apalagi pemberi amal.

Dalam konteks tersebut, memenuhi kebutuhan sumber daya manusia di instansi pemerintah lewat jasa outsourcing serta menghapus tenaga honorer, bukan pilihan tepat. Karena tidak mempertimbangkan prinsip efisiensi. Dari segi anggaran perlu dana lebih besar. Ini terjadi, lantaran biaya yang dikeluarkan oleh lembaga penyewa outsourcing bukan hanya satu item. Tapi banyak dan meliputi beberapa hal. Seperti dana untuk jasa, pajak, biaya operasional dan sebagainya. Sementara kalau menggunakan tenaga honorer, instansi pemerintah hanya mengeluarkan biaya honor dan pajak saja. Tidak ada tambahan biaya lain-lain.

Memang benar, merekrut tenaga kerja lewat sewa jasa outsourcing bisa lebih efektif. Instansi pemerintah sebagai penyewa, tidak direpotkan oleh soal tekhnis pencarian tenaga kerja. Cukup menyodorkan selembar kertas kepada outsourcing tentang kriteria dan spesifikasi yang dibutuhkan, beres sudah. Tinggal tunggu waktu. Beberapa hari kedepan, sumber daya manusia akan datang. Langsung siap kerja. Karena yang dipilih sudah professional. Sesuai syarat yang diajukan. Jika suatu ketika ada yang tidak memuaskan, cukup lakukan komplain pada outsorcing. Untuk kemudian diganti secepatnya oleh tenaga yang dianggap lebih baik.

Menggunakan jasa outsourcing memang lebih efektif. Tidak ribet, namun memuaskan. Tapi harus diingat, bahwa kewajiban pemerintah kepada rakyatnya bukan hanya berkutat pada soal efektifitas. Ada kewajiban lain yang harus diperhatikan. Yaitu kepentingan social dan aspek pelayanan. Dalam konteks kesejahteraan, kewajiban itu terkait dengan keadilan pemerintah untuk menyediakan lahan pekerjaan, agar pendapatan rakyat bisa merata. Tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang. Implementasinya, dengan cara penyediaan lapangan kerja. Lewat rekruitmen sumber daya manusia. Jadi, adanya tenaga honorer di instansi pemerintah sebenarnya bukan suatu masalah. Justru menjadi media bagi pemerintah dalam menjalankan kewajiban kepada rakyat.

Dalam setiap kebijakan, pemerintah seyogyanya tidak hanya mementingkan faktor efektivitas. Aspek efisiensi dan kepentingan social juga harus menjadi fokus perhatian. Mengapa, karena pemerintah adalah lembaga negara yang menaungi kepentingan seluruh rakyat. Bukan hanya satu kelompok atau golongan tertentu. Maka selayaknya, perhatian kebijakan tentang tenaga honorer yang saat ini sudah kerja di instansi pemerintah, tidak hanya fokus pada soal penataan dan jumlah gaji. Tapi juga mempertimbangkan efisiensi anggaran dan aspek pemerataan pendapatan. Melihat hal ini, melibatkan jasa outsourcing dalam rekruitmen tenaga kerja, nampaknya hanya cocok bagi lembaga swasta. Kalau di instansi pemerintah, justru kontra produktif. Menimbulkan beberapa problem.

Tentang keputusan pemerintah tegas melarang rekruitmen tenaga honorer baru, bisa didukung. Kalau perlu ada sanksi bagi instansi yang membandel. Seperti yang dikatakan Pak Menteri, bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian yang tetap mengangkat pegawai non-ASN akan diberikan sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tidak hanya dari internal, juga akan dijadikan temuan pengawas eksternal. Namun, untuk tenaga honorer yang selama ini sudah ada, tidak perlu diberhentikan. Rencana memecat mereka harus dikaji ulang. Karena menimbulkan problem sebagaimana diatas tadi.

Soal upaya penataan dan perbaikan honor, bisa diteruskan. Tapi bukan dengan cara memberhentikan tenaga honorer. Menurut saya, ada cara yang lebih manusiawi. Misal merekruit mereka secara otomatis menjadi ASN atau PPPK. Menggunakan kriteria lamanya waktu pengabdian atau faktor umur sebagai syarat. Bisa pula kedua-duanya. Jumlahnya, disesuaikan dengan kebutuhan dan banyaknya ASN yang pensiun. Berapa jumlah kebutuhan dan berapa banyak yang pensiun, sebesar itu pula tenaga honorer yang diangkat secara otomatis. Dengan pola ini, lama-lama tenaga honorer itu akan habis juga. Soal profesionalisme dan kemampuan, bisa di atasi lewat pendidikan, bimbingan dan pelatihan. Kebijakan ini jelas lebih baik dan menguntungkan. Dibanding memecat atau diberhentikan. Apalagi, tenaga honorer itu sudah punya pengalaman bertahun-tahun kerja di instansi pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun