Mohon tunggu...
Zabidi Mutiullah
Zabidi Mutiullah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Concern pada soal etika sosial politik

Sebaik-baik manusia, adalah yang bermanfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Memecat Tenaga Honorer Bukan Pilihan Baik

11 Juni 2022   09:41 Diperbarui: 11 Juni 2022   10:02 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa itu outsourcing..? Mengutip Kompas.com, 24/01/2022, berdasar UU Nomor 13 Tahun 2003, outsourcing adalah penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui dua mekanisme, yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja. Outsourcing adalah lembaga penyedia jasa yang didirikan melalui persekutuan oleh dua orang atau lebih. Menurut saya, dari segi tujuan, outsourcing mirip sebuah perusahaan berbentuk CV. (commanditaire vennootschap) atau PT. (perseroan terbatas). Karena merupakan badan usaha atau perusahaan, maka tentu saja memiliki orientasi profit. Outsourcing didirikan untuk mencari untung. Bukan sebuah badan sosial apalagi pemberi amal.

Dalam konteks tersebut, memenuhi kebutuhan sumber daya manusia di instansi pemerintah lewat jasa outsourcing serta menghapus tenaga honorer, bukan pilihan tepat. Karena tidak mempertimbangkan prinsip efisiensi. Dari segi anggaran perlu dana lebih besar. Ini terjadi, lantaran biaya yang dikeluarkan oleh lembaga penyewa outsourcing bukan hanya satu item. Tapi banyak dan meliputi beberapa hal. Seperti dana untuk jasa, pajak, biaya operasional dan sebagainya. Sementara kalau menggunakan tenaga honorer, instansi pemerintah hanya mengeluarkan biaya honor dan pajak saja. Tidak ada tambahan biaya lain-lain.

Memang benar, merekrut tenaga kerja lewat sewa jasa outsourcing bisa lebih efektif. Instansi pemerintah sebagai penyewa, tidak direpotkan oleh soal tekhnis pencarian tenaga kerja. Cukup menyodorkan selembar kertas kepada outsourcing tentang kriteria dan spesifikasi yang dibutuhkan, beres sudah. Tinggal tunggu waktu. Beberapa hari kedepan, sumber daya manusia akan datang. Langsung siap kerja. Karena yang dipilih sudah professional. Sesuai syarat yang diajukan. Jika suatu ketika ada yang tidak memuaskan, cukup lakukan komplain pada outsorcing. Untuk kemudian diganti secepatnya oleh tenaga yang dianggap lebih baik.

Menggunakan jasa outsourcing memang lebih efektif. Tidak ribet, namun memuaskan. Tapi harus diingat, bahwa kewajiban pemerintah kepada rakyatnya bukan hanya berkutat pada soal efektifitas. Ada kewajiban lain yang harus diperhatikan. Yaitu kepentingan social dan aspek pelayanan. Dalam konteks kesejahteraan, kewajiban itu terkait dengan keadilan pemerintah untuk menyediakan lahan pekerjaan, agar pendapatan rakyat bisa merata. Tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang. Implementasinya, dengan cara penyediaan lapangan kerja. Lewat rekruitmen sumber daya manusia. Jadi, adanya tenaga honorer di instansi pemerintah sebenarnya bukan suatu masalah. Justru menjadi media bagi pemerintah dalam menjalankan kewajiban kepada rakyat.

Dalam setiap kebijakan, pemerintah seyogyanya tidak hanya mementingkan faktor efektivitas. Aspek efisiensi dan kepentingan social juga harus menjadi fokus perhatian. Mengapa, karena pemerintah adalah lembaga negara yang menaungi kepentingan seluruh rakyat. Bukan hanya satu kelompok atau golongan tertentu. Maka selayaknya, perhatian kebijakan tentang tenaga honorer yang saat ini sudah kerja di instansi pemerintah, tidak hanya fokus pada soal penataan dan jumlah gaji. Tapi juga mempertimbangkan efisiensi anggaran dan aspek pemerataan pendapatan. Melihat hal ini, melibatkan jasa outsourcing dalam rekruitmen tenaga kerja, nampaknya hanya cocok bagi lembaga swasta. Kalau di instansi pemerintah, justru kontra produktif. Menimbulkan beberapa problem.

Tentang keputusan pemerintah tegas melarang rekruitmen tenaga honorer baru, bisa didukung. Kalau perlu ada sanksi bagi instansi yang membandel. Seperti yang dikatakan Pak Menteri, bahwa Pejabat Pembina Kepegawaian yang tetap mengangkat pegawai non-ASN akan diberikan sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tidak hanya dari internal, juga akan dijadikan temuan pengawas eksternal. Namun, untuk tenaga honorer yang selama ini sudah ada, tidak perlu diberhentikan. Rencana memecat mereka harus dikaji ulang. Karena menimbulkan problem sebagaimana diatas tadi.

Soal upaya penataan dan perbaikan honor, bisa diteruskan. Tapi bukan dengan cara memberhentikan tenaga honorer. Menurut saya, ada cara yang lebih manusiawi. Misal merekruit mereka secara otomatis menjadi ASN atau PPPK. Menggunakan kriteria lamanya waktu pengabdian atau faktor umur sebagai syarat. Bisa pula kedua-duanya. Jumlahnya, disesuaikan dengan kebutuhan dan banyaknya ASN yang pensiun. Berapa jumlah kebutuhan dan berapa banyak yang pensiun, sebesar itu pula tenaga honorer yang diangkat secara otomatis. Dengan pola ini, lama-lama tenaga honorer itu akan habis juga. Soal profesionalisme dan kemampuan, bisa di atasi lewat pendidikan, bimbingan dan pelatihan. Kebijakan ini jelas lebih baik dan menguntungkan. Dibanding memecat atau diberhentikan. Apalagi, tenaga honorer itu sudah punya pengalaman bertahun-tahun kerja di instansi pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun